20. 'Kejutan'^

229 36 1
                                    

Harin membanting pintu kamarnya. Matanya memerah dan berkaca-kaca sementara tangannya sudah terkepal di kedua sisi tubuh.

Harin memejamkan matanya. "Keputusan lo udah bener Rin, keputusan lo udah bener," Harin merapalkan kalimat itu berulang-ulang. Menegaskan pada dirinya bahwa ia tak seharusnya merasa sedih.

"Bego! Kenapa lo nangis sih?" Meski menekan untuk tak menangis, nyatanya air mata tak bisa berkompromi, pipinya kini sudah basah.

"Lo cuma sama Alvaro Rin, bukan ke neraka! Dari sudut mana pun Alvaro nggak ada minusnya! Harusnya lo bersyukur!" Harin memukul-mukul kepalanya sendiri. Gibran berkali-kali mengatakan bahwa menerima cinta Alvaro itu tidak susah. Alvaro yang sudah sempurna dan mereka yang sudah dekat lama.
Tapi apakah Gibran tahu bahwa keputusan yang Harin ambil ini tidak hanya soal satu titik. Ada Artha.

Harin nyaman dengan cowok itu, sedang ia juga tak mau membuat Alvaro kecewa.
Harin ingin egois, bolehkah kedua cowok itu tetap ada dalam hidupnya?

oOo

"Kok mendadak sih?" tanya Harin seraya memasukkan baju-baju Alvaro ke dalam koper.
Alvaro sendiri sedang mengumpulkan apa saja yang akan ia bawa di dekat koper itu.

"Nggak mendadak, emang jadwalnya besok berangkat."

Harin menatap Alvaro dan bertolak pinggang. "Terus kenapa nggak ngasih tau gue?"

Alvaro menyimpan snapback sebagai benda terakhir yang ia bawa.

"Apa bedanya ngasih tau sekarang sama jauh-jauh hari? Lo mau bikinin rendang buat gue bekel?" tanya Alvaro dengan senyum jenaka yang mengikutinya.

"Ya enggak gitu juga." Harin menghentakkan kaki kesal. "Yaudah ah!"

Harin menggeser tubuhnya, memberi ruang bagi Alvaro agar mudah menutup kopernya.

"Seminggu lagi di sananya?" tanya Harin lagi.

"Sekarang 10 hari."

"Itu lomba apa liburan sih?" Harin mendengus.

"Katanya sekalian. Tapi lo tau sendiri ujung-ujungnya gue cuma di kamar juga." Alvaro terkekeh.

Harin mangut-mangut kemudian berjalan ke arah meja belajar. Ia mulai merapikan buku-buku juga perangkat tulis lainnya yang kebetulan dalam posisi berantakan.

"Rin...." Suara Artha terdengar serius.

"Hmmm?"

"Gue mau ngomong."

Degh!

Gerakan tangan Harin terhenti. Mendadak tubuhnya terasa dingin seolah vonis mati untuknya akan segera dibacakan.

"Ya ... ngomong aja," Harin berusaha terlihat biasa dengan kembali merapikan meja itu.

"Nanti, setelah gue pulang dari sana."

Apa hal ini bisa membuat Harin bernapas lega?

oOo

Harin tiba di sekolah sekitar pukul 9. Sebelumnya ia sudah izin pada Guru karena mengantar Alvaro ke bandara.
Keadaan di luar kelas begitu sepi, hanya satu-dua orang yang mungkin tengah izin ke toilet. Sisanya tengah mengikuti pembelajaran di dalam kelas.
Ah tidak, ada beberapa anak yang tengah dihukum di lapangan dengan Pak Rahman berwejangan di depannya.
Mereka menunduk seolah mendengarkan, padahal aslinya tak peduli.
Kalau dihukum di lapangan seperti ini biasanya karena kesiangan. Dan Artha menjadi salah satu dari mereka.

Langkah Harin melambat begitu Artha mendongak dan pandangan mereka bertemu. Tak berlangsung lama karena cowok langsung mencari objek lain.

Harin pun tersenyum tipis. Mungkin memang seperti ini yang terbaiknya.

oOo

Harin baru sadar bahwa selama ini ia terlalu bergantung pada Alvaro. Alvaro baru saja 3 hari pergi dan Harin merasa ia kembali menyedihkan seperti dulu. Duduk sendiri, ke kantin sendiri, bahkan tak ada satu pun orang yang bisa ia ajak bicara ketika sudah pulang.
Perkataan Gibran benar. Harusnya Harin sangat-sangat beruntung karena dicintai oleh seorang Alvaro.

Sudahlah, Harin tak ingin memikirkan hal itu lagi. Hanya terus bernapas, itu saja cukup untuk Harin pikirkan.

Alvaro:
Besok gue lombanya.

Pesan masuk dari Alvaro itu sedikit membuat wajah Harin menampilkan tanda hidup. Setidaknya untuk berdecih kecil setelah berjam-jam datar seperti patung.

Harin:
Yaudah, istirahat sana. Jangan bales lagi.

Harin melempar ponselnya ke samping. Ia membaringkan kepalanya pada pinggiran sofa dan menatap langit-langit yang gelap. Ini sudah jam 10 malam, namun rasa kantuk belum juga menghampirinya. Malah bayangan-bayangan Artha yang menghindar dan membuat dirinya merasa kosonglah yang datang.

Harin menggeleng-geleng cepat untuk mengenyahkan pikiran itu.

Ting!

Harin berdecih, ia sudah menyuruh Alvaro untuk tidak membalas lagi, kenapa diabaikan? Dasar menyebalkan.

Tubuh Harin menegak begitu pesan yang ia terima bukanlah dari Alvaro. Melainkan nomor tanpa nama dengan kode negara +82. Tubuh Harin berkeringat dingin, bahkan sebelum ia membuka isinya.

Harin banyak belajar, ketika dia menghubungi, artinya bukan hal baik untuk Harin.

+82 234 ****:
Desember nanti Mama tak bisa datang ke Indonesia. Mama hamil dan dokter bilang tak boleh banyak melakukan aktivitas dan bepergian jauh.

Harin merasa seluruh oksigen di Bumi ini habis hingga ia tak bisa bernapas lagi.

"Haha...." Harin mulai tertawa, bahunya terguncang dengan air mata yang meluncur dengan deras tanpa bisa dibendung.

oOo

Artha membuka kulkas, kepalanya sedikit melongok ke dalam sebelum memilih soda kaleng. Artha duduk pada kursi dan mulai menuntaskan dahaganya seraya melirik jam dinding yang kini menunjukkan setengah 12 malam.

Pandangan Artha mengedar pada sekitar yang sepi. Tentu saja orangtua serta kakaknya sudah tidur sekarang. Hanya dia sendiri yang bermetamorfosa menjadi kelelawar belakangan ini.

Artha membuka ponsel, mengabaikan chat sampah dari dua temannya yang 'katanya' menghibur.
Artha beralih pada aplikasi yang membuat orang-orang berlomba menyuguhkan potret terbaik.
Sayangnya bukan itu tujuan Artha sekarang. Ia langsung mengetikkan nama Harin di kolom pencarian.

Artha akui meski ia sering membuang muka ketika tanpa sengaja bertemu dengan Harin, diam-diam ia memperhatikan cewek itu dari jauh, termasuk dari media sosial.

Memang tak selalu ada foto baru, tapi Artha senang melihat foto-foto lama cewek itu.
Ck! Lihatlah betapa menyedihkannya Artha yang bertepuk sebelah tangan ini.
Apakah Artha sebaiknya menerima hiburan dari kedua temannya itu? Jangan pernah berkhayal!

Artha melihat tanda adanya story yang dibagikan oleh akun Harin. Ini story pertama dis setelah beberapa hari menghilang.

Artha membelalak melihat isinya. Unggahan foto selfie dengan bidikan dari perut ke atas. Yang membuat Artha kaget adalah Harin yang hanya memakai bikini. Matanya terlihat sayu dengan senyuman sebelah kiri yang lebih mirip seringai.
Ada sebuah caption yang juga ditulis di sana.

'Awesome night, I could DIE in this moment'

Artha yakin 'I could die in this moment' yang Harin maksud bukan ungkapan terlalu senang yang sering orang luar lakukan.
Harin mengkapital kata DIE.
Harin sedang tidak baik-baik saja!

012020

Skenario [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang