Janji traktiran sore pun terpaksa diundur menjadi malam karena Harin yang baru bisa pulang ke rumah jam 5 sore.
Sekarang jam setengah 8. Harin sudah siap dengan hoodie softpink kebesaran yang nyaris melahap semua rok tennis yang dipakainya.
Kakinya dibalut sepatu kets senada dengan rok putih. Jangan lupakan rambut yang ia gulung di atas, sedikit acak-acakan tetapi tetap terlihat lucu.Ah iya, satu lagi. Harin lupa untuk memakai anting. Ia mengambil anting berbentuk ring dengan 3 manik bulat yang menghiasinya. Ia memasangkannya pada bagian atas cuping telinga sebelah kiri.
Sempurna!
Setidaknya itu kepuasan Harin atas dirinya.
Harin bergegas melangkahkan kaki ke luar ketika suara motor Artha sudah terdengar di sana.
Hal yang pertama Harin dapati ketika berhadapan dengan cowok itu adalah tatapan aneh yang mengarah pada telinga kirinya."Gue punya 3 tindik di masing-masing telinga, di lidah juga, sama bibir sebelah kiri kalo lo mau tau," jelas Harin mengerti apa isi kepala Artha yang diam-diam mendakwanya.
Memang mempunyai tindik pada tempat yang bukan umumnya perempuan punya bukanlah hal lumrah. Sering dikaitkan dengan kenakalan, tapi Harin melakulannya bukan karena itu, ia hanya suka pada fashion.Termasuk memakai satu anting sekarang, bukan karena ingin gaya. Tapi membiasakan lagi lubang tindiknya yang sudah lama tak dipakai itu untuk pentas nanti, Harin mendapat anting yang sedikit ribet. Konsepnya memang seperti brandalan.
"Lo kok nggak bilang pake rok, kan gue bisa bawa mobil," ucap Artha begitu mengamati keseluruhan penampilan Harin.
Dia memakai rok tennis, selain pendek, modelnya yang belipit-lipit benar-benar tak disarankan untuk terkena angin besar seperti naik motor.Harin tak bisa ya memakai celana jeans biasa saja. Lebih aman buat Harinnya, juga dirinya. Artha laki-laki normal ya tolong ingatkan cewek itu.
"Ini kan gue yang traktir ceritanya. Gue juga tadinya mau jemput lo. Tapi lonya malah duluan kesini," jelas Harin seraya mengacungkan sebuah kunci mobil menerangkan kalau dia tidak sedang membual.
"Ya kalo traktir, traktir. Soal jemput itu urusan gue."
Bukannya berlebihan, tapi membayangkan Harin yang menjemputnya ke rumah, bisa digunjingkan Satya dan Vadi 7 hari 7 malam. Belum lagi Kakaknya yang cerewetnya bukan main."Nggak, itu tanggung jawab gue. Lo bisa percaya kok meski gue jarang pake mobil, gue dapet sim nggak pake tembak."
Tapi bukan itu masalahnya.
"Oh iya, motor lo masukin dulu gih."
Artha menghela napas, sebelum melakukan apa yang cewek itu katakan.
"Apa nggak gue aja yang nyetir?" tanya Artha begitu Harin membuka pintu di sisi kemudi.
"Lo nggak bakal mendadak jadi banci ya karena gue yang nyetir."
Artha mengalah, ia mencium kekeras kepalaan Harin bukanlah sesuatu yang mudah untuk dipecahkan.
"Kalo lo punya mobil sendiri, kenapa nggak pake sekolah? Apalagi lo ikut eskul. Jadi kalo Alvaro harus bimbingan--sebelum gue jadi kang ojek lo, lo nggak perlu naik angkutan umum."
Mobil Harin mulai melaju membelah jalanan, cewek itu terlihat santai. Jadi perkara SIM bukan hasil tembak itu bisa dipercaya.
"Kalo gue nikmatin semua fasilitas, yang ada mereka seneng. Cukup beliin ini-itu tanpa perlu ngerasa bersalah karena nggak nengok gue."
Artha memang tak terlalu tahu rincinya kisah Harin. Cewek itu tidak--mungkin belum--menceritakan jelasnya. Hanya sepenggal-sepenggal. Tapi sejauh ini Artha bisa paham bahwa mereka yang Harin maksud adalah orang tuanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Skenario [Tamat]
Teen FictionArtha kalah taruhan, temannya memaksa ia untuk mengantar-jemput seorang cewek yang sering mereka stalk di Instagram sebagai hukuman. Cewek itu Harin, yang Artha lihat dari postingannya saja cewek itu sudah punya gandengan. Menuruti keinginan Satya...