7. Kejutan

255 43 0
                                    

Harin memang meminta Artha untuk menjelaskan semuanya pada Vinda. Tapi bukan berarti ia juga harus dibawa menemui cewek itu kan?

Cowok itu mengacau di Minggu pagi Harin. Untuk hari minggu jam 8 itu ukuran yang pagi sekali, Harin masih betah bergerumul di kasur bukan dipaksa ikut menemui Vinda seperti ini.

Di sini sekarang, di halaman rumah Vinda yang rindang. Harin memilih duduk di atas kap mobil sementara 5 meter di depannya Artha dan Vinda sudah saling berhadapan.
Oh iya, kondisi cewek itu tak jauh berbeda dengan Harin, sedikit mengurangi rasa kesalnya atas cakaran yang pastinya akan berbekas di wajahnya itu.

"Gue ke sini cuma mau klarifikasi biar kejadian kemarin nggak keulang lagi." Setelah beberapa kali menghela napas, Artha akhirnya bersuara juga. Hubungan mereka terlalu aneh. Kalau sudah tak cinta untuk apa bertahan, kalau sudh tak dicinta untuk apa terus mengejar.

"Jadi, kita nggak jadi putus?" tanya Vinda dengan mata yang penuh binar harap.
Sayangnya Artha langsung mematahkan harapan itu di detik selanjutnya.

"Soal itu, kita nggak bisa bersama lagi."

Vinda membuang muka, terlihat matanya berkaca-kaca meski ia tutupi dengan wajah galaknya.

"Terus?" tanyannya dengan kesan tak peduli. Mereka berakhir, tak ada yang penting lagi kan?

"Gue sama Harin nggak ada hubungan. Gue kalah taruhan dan disuruh antar-jemput dia selama seminggu. Harin juga udah punya pacar, jadi jangan jadiin dia kambing hitam. Ini keputusan gue sendiri, gue harap lo bisa ngerti."

Perkataan Artha begitu menusuk, hingga Vinda hanya bisa mematung tanpa menoleh ke arahnya bahkan ketika cowok itu pamit dan meninggalkannya.

"Gya, bisa ketemu di kafe biasa nggak?"
Setelah memgucapkan kalimat itu pada ponselnya, Vinda berteriak kesal.

oOo

"Ke mana?" tanya Harin ketika menyadari jalan yang Artha ambil tak mengarah ke rumahnya.

"Kita cari sarapan dulu."

Kening Harin samar-samar berkerut. "Cari makan ngapain jauh-jauh?"

Ia menepuk bahu Artha, "Berhenti! Berhenti!"

Meskipun bingung, Artha pun menepikan mobilnya.
Harin terlebih dulu turun yang mau tak mau diikuti cowok itu.

"Mau bubur ayam? Ketupat? Nasi uduk juga ada tuh." Harin menunjuk satu persatu gerobak pedagang kaki lima yang berjejer di pinggir jalan. Artha mengernyit dan memandangi sekitar.

"Serius nih makan di sini?" tanya Artha tak yakin. Apa Harin yang seperti ini bisa makan di pinggir jalan?

"Apa? Gengsi lo? Emang lo udah ngasilin berapa duit? Semua dari ortu lo kan?"

Ada lagi tentang Harin yang akan mengejutkan Artha sekarang?
Pertama tentang cewek itu yang bersikeras menolak tumpangannya, mematahkan ucapan orang-orang bahwa dia adalah cewek gampangan.
Diberi alkohol tapi dia tetap santai, menohok Artha yang pernah mengira dia manja.
Dan sekarang makan di pinggir jalan, rasanya malu Artha pernah menyebutnya 'Tuan Puteri' dalam arti sindiran.

"Lama banget sih mikirnya, yaudah kita makan bubur aja."
Harin menarik Artha kemudian duduk di bangku plastik yang disediakan. Itu pedagang terdekat dari posisi mereka sebelumnya.

"Dua ya, Bang."
Setelah mengucapkan itu Harin memilih untuk membuka ponselnya. Ada beberapa chat masuk dari Fanya dan anak DC yang lain. (Ya memang siapa lagi? Teman Harin kan hanya mereka.)

Mempunyai insting yang tajam, Harin merasa diperhatikan. Dan benar saja ketika ia mendongak, Artha tengah memperhatikannya.

"Apa?" tanya Harin memutar mata. Ada yang salah lagi dengan penampilannya?

Artha menggeleng kemudian tersenyum yang membuat Harin sedikit merinding. Mungkin pertanyaan yang tepat, Ada yang salah dengan cowok itu?

"Kalo nggak ada apa-apa ngapain ngeliatin kayak gitu? Horor tau!"

Artha terkekeh, kedua tangannya kini bertautan. Wajahnya sedikit maju ke aah Harin. "Jadi apa yang bikin Harin di Instagram sama yang di depan gue berbeda?"

"Harin di Instagram bening, dan Harin di depan lo dekil." Harin memutar bola mata. "Gitu kan?"

Artha tertawa mendengar penuturan itu. Tentu Harin tahu, mengejeknya adalah sumber kebahagiaan cowok itu.

"Nggak liat nih kulit gue udah mau putih lagi?" Harin menunjukkan lengannya yang memang terlihat lebih cerah dibanding ketika pertama mereka bertemu.

"Jadi sebenernya lo putih?"

"Iyalah!"

Artha mangut-mangut seolah mengerti. "Lo ke Bali?" tanyanya lagi.

"Iya," jawab Harin pendek.

"Sama Alvaro?"

"Iya."

"Cuma berdua?"

"Iya."

"Sehotel?"

"Iya."

"Sekamar?"

"Lo kok nanya mulu sih?!"

Artha terkekeh, senang melihat wajah kesal Harin, senang menikmati wajah ditekuk itu. Sayangnya harus berhenti karena pesanan mereka datang.
Membuat Artha fokus pada mangkuk dan menikmati bubur ayam itu.

"Saran gue Rin, lo jangan ngelewati batas," ucap Artha di sela makannya. Nadanya terdengar serius.

"Batas apa?" suara Harin sedikit tak jelas karena ada makanan di mulutnya.

"Pacaran lo sama Alvaro, jangan terlalu berani."
Ia melihat foto-toto di akun cewek itu. Iya, Artha menstalknya. Tentunya banyak foto kebersamaan Harin dengan Alvaro. Bergandengan, berpelukan, bahkan ada foto di mana Harin duduk di pundak Alvaro. Dan entah gila hotpants atau apa, tak ada postingan Harin yang memakai celana panjang.

"Gue tau kali apa yang gue lakuin," ujar Harin dengan nada tak terima karena secara tak langsung Artha sudah menilainya serendah itu. "Lagian siapa yang pacaran sama Alvaro sih?"

UHUK!

Artha terbatuk. Dari semua fakta yang mematahkan persepsi awal Artha, ini yang paling mengejutkan.
Ini tak bercanda kan?
Mereka tak pacaran, lalu apa arti kedekatan mereka?

oOo

"Ya bagus sih kalo kalian nggak ada hubungan."

Vinda menatap temannya tajam, tak terima dengan apa yang barusan dikatakannya.

"Lo kok ngomong gitu sih, Ya?" suaranya setengah memekik. Melihat cewek itu berurat-urat rasanya bukan hal langka untuk dilihat.

"Ini emang jalan terbaik Vin. Lo tau nggak sih seberapa menyedihkannya lo?" Gya memutar-mutar telunjukknya di depan wajah Vinda.

"Lo maksa buat tetap di samping Artha, sementara Artha udah nggak punya rasa sama lo. Kasian gue," paparnya yang membuat Vinda berdecak. Tak habis pikir sahabatnya bisa bicara sekejam itu.

"Lo nyebelin! Sama kayak si Harin-Harin itu." Vinda mengepalkan tangan, otaknya kembali mengepul.

"Eits kok benci Harin sih? Kan katanya Artha udah jelasin."
Meskipun sahabatan, Gya bukan orang yang langsung dukung-dukung saja apa yang dilakukan sahabatnya. Pertimbangan itu perlu.

"Iya memang Harin nggak niat rebut Artha, tapi dia kan udah bikin gue cemburu dan muka gue jadi kayak gini." Vinda menunjuk plester-plester di wajahnya yang sedikit mengurangi aura kecantikannya.

"Dia harus rasain apa yang gue rasain," ujar Vinda yang syarat akan dendam di balik tangannya yang terkepal.

"Katanya lo juga udah cakar-cakar dia?" Gya sedikit membuang napas.

"Maksud gue cemburunya."

Gya mengernyit, apalagi kini Vinda sudah menatap serius ke arahnya. Ada kilatan rencana licik yang bisa Gya baca dari bola matanya.

"Lo tau Alvaro kan?"

21122019

Skenario [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang