24. Skenario

209 36 2
                                    

"BTW kenapa lo pulang cepet, Al?" Mata Harin mengikuti Alvaro yang tengah berjalan membawakan susu kotak.

"Pengen aja." Alvaro menyerahkan susu kotak rasa vanila dan duduk di samping cewek itu.

"Oh...." Harin mengangguk. Sedikit membuat Alvaro mengernyit karena Harin biasanya bukan orang yang puas dengan jawaban seperti itu.

"Lo nggak kenapa-napa kan?" selidik Alvaro.

"Emang gue kenapa?" Harin balik bertanya.

"Selama gue pergi? Terjadi sesuatu?"

Harin menggeleng.

"Serius nggak terjadi apa-apa?" Alvaro sepertinya belum puas, ia berinsting bahwa Harin tak mengatakan apa yang sebenarnya.

"Gue bener nggak papa."

Alvaro menatap dalam Harin yang kini sudah bertopang dagu dan menatap ponselnya.

"Serius gue nggak papa, Tha."

Harin mengernyit heran ketika tiba-tiba Alvaro bangkit dan meninggalkannya. Harin sendiri hanya mengamati dalam bingung namun tak sampai bermaksud bertanya. Hingga Alvaro sampai di pintu kamarnya dan menolehkan wajahnya beberapa saat.

"Gue bukan Artha kalo lo lupa."
Alvaro pun menghilang di balik pintu, meninggalkan Harin yang kini tertegun.
Tangannya dengan refleks menutup bibir. Tuhan... Bagaimana ia bisa menyebut Alvaro dengan Artha barusan?

oOo

"Kita bisa bahagia."

Perkataan Artha terngiang di telinganya. Harin menggeleng pelan, Artha bohong, Harin tak bahagia apalagi ketika Alvaro sama sekali tak memperdulikan panggilannya. Cowok itu tetap berdiam diri di dalam kamar.
Harin tahu ini salahnya, tapi egonya berkata kalau ini haknya. Harin berhak untuk melakukan apa pun yang dikehendakinya. Sementara di sisi lain kenyataan menamparnya. Sudah konsekuensinya apa pun langkah yang ia ambil tak akan bisa semulus atau sebaik yang orang pikirkan.

Harin memegangi kepalanya, wajahnya menunduk. Ia harus apa?

Harin berjalan sedikit sempoyongan, mengarah pada sebuah lemari kabinet. Tanganya meraba-raba ke bagian dalam hingga akhirnya berhasil menangkap sebuah botol kecil.

Alvaro marah, Artha tak akan ke sini karena ada Alvaro, lalu harus pada siapa Harin berharap sekarang?

"Rin...."

Harin sontak berbalik dengan menyembunyikan botol dalam genggamannya ke belakang tubuh.

"Gibran," ucapnya menatap cowok berperawakan jangkung yang tiba-tiba berada di dalam rumahnya.

"Gue minta maaf."

Gibran tak punya salah, untuk apa dia meminta maaf?

"Gue yang bikin Alvaro sadar akan perasaannya," aku Gibran. Ya Gibran penyebabnya, ia yang membuat Alvaro mengerti maksud pandangannya pada Harin.
Tapi ini sudah terlanjur, terlalu telat juga untuk meminta maaf. Kenapa tak malam itu saja ketika untuk pertama Gibran melabraknya.

"Alvaro sahabat gue, lo sahabat gue. Gue pengen yang terbaik untuk kalian."

Harin mengerti ke mana obrolan Gibran itu berlanjut.

"Gue nggak maksud bikin lo semakin terbebani, semakin tertekan, tapi gue mohon Rin...." Gibran menatap Harin dalam "Tetap di samping Alvaro."

Harin tak merespon, ia diam membantu dengan tatapan kosong pada lantai.

"Gue nggak bermaksud kalo orang baru itu nggak perlu dihargai. Tapi Alvaro udah lebih mengenal lo, lebih baik daripada Artha."

Gibran ingat pada malam itu. Ketika Alvaro meneleponnya dengan suara panik. Mengatakan kalau Harin tidak sedang baik-baik saja. Ia menyuruh Gibran untuk datang ke rumah Harin.
Gibran bergegas, ia juga khawatir ketika melihat story yang cewek itu bagikan. Bukan sebatas mengikuti ucapan Alvaro yang kala itu masih di Medan, tapi sebagai sahabatnya tak ingin hal buruk terjadi pad cewek itu.

Gibran tak menyayangkan ketika ia tiba dan menemukan Artha yang tengah memeluk Harin yang basah. Ia sangat berterima kasih pada cowok itu, seandainya Artha tak datang dengan dirinya yang jelas terlambat, entah keadaan Harin yang seperti apa yang akan ia temui.

Gibran memilih pulang, dengan mengirim sebuah kebohongan sebagai pesan pada Alvaro.

'Harin baik-baik aja, dia cuma mau nyari perhatian orangtuanya.'

Gibran tak akan mungkin mengatakan yang sebenarnya, terutama tentang Artha.

Namun pesan dari Alvaro beberapa saat lalu, membuat Gibran tercekat. Menamparnya yang sudah berani berbohong.

'Setelah lomba, gue pulang saat itu juga. Gue liat Harin nggak baik-baik aja. Ada Artha di sana. Sebenarnya ada kekeliruan apa, Gib?'

Bangkai yang disembunyikan akan tercium juga.
Gibran bergegas datang kemari, mendapati Alvaro yang mematung tanpa suara, sebelum akhirnya terpaksa melimpahkan beban pada Harin, lagi.

"Gue mohon, Rin. Cuma lo yang bisa di sisi Alvaro." Ya, untuk kesekian kalinya Gibran membuat semuanya seolah tanggung jawab Harin.

"Maaf ya, Rin." Dan untuk kesekian kalinya juga kalimat itu terucap. Tapi apa memang berarti sebagai mana fungsinya?

"Gue pulang dulu."

Entah berapa lama setelah sosok Gibran hilang dari hadapannya. Harin berbalik ke arah wastafel. Ia membuka penutup botol kecil yang sedari tadi disembunyikan itu.

Dengan suara napasnya yang terdengar berat, Harin menumpahkan puluhan tablet obat ke dalam wastafel. Ia menyalakan keran beriring dengan tangisnya yang sudah tak bisa tertahan.

Kenapa skenario yang Tuhan tulisakan untuk dirinya seperti ini?

Skenario [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang