8. Wahana Bermain^

272 44 0
                                    

Sembari menunggu Harin yang katanya mau membeli sesuatu dan Artha tak boleh tahu, Artha iseng membuka aplikasi Instagramnya.

Instastory dari akun-akun yang ia ikuti berderet di bagian atas, Artha hanya menggesernya tak peduli hingga akun Harin pun terlihat. Artha berhenti, tangannya bergrak menyentuh ikon bulat itu.
Entah sejak kapan rasa ingin selalu tahu tentang cewek itu hadir.

Ada 2 Instastory. Pertama foto Harin dengan Alvaro. Wajah mereka berdempetan dengan Alvaro yang tersenyum biasa sementara Harin menyengir lebar dengan mata yang dipejamkan erat. Mereka terlihat bahagia dan entah mengapa ada bagian dalam diri Artha yang merasa terganggu karena itu.

Namun ada cerita lain di balik foto itu. Harin memejamkan matanya begitu erat semata-mata hanya ingin menyembunyikan mata sembabnya. Begitu pun dengan Instastory yang kedua. Sebuah kalimat panjang yang pada intinya berterima kasih pada Alvaro yang selalu ingat pada Ulang Tahunnya. Harin bukan ingin memberitahu orang-orang bahwa haru ini dia ulang tahun. Sebelumnya ia juga tak pernah mengumbar tentang hal itu.
Harin hanya ingin mengatakan pada mereka bahwa Harin itu 'ada'.

"Lama ya?"
Harin datang dengan sebuah paperbag. Wajahnya terlihat lebih cerah. Artha ingat ucapan kakaknya, bahwa belanja adalah solusi terbaik untuk mendongkrak mood cewek.

"15 menit, ya... Lumayan lah." ucap Artha yang memandangi jam tangannya.

"Eh hari ini lo sibuk nggak?" tanya Artha tiba-tiba.

"Kenapa emang?"

"Gue harus ke suatu tempat dulu, jadi nggak bakal bisa anterin lo langsung."

Harin terlihat berpikir sejenak. "Oh nggak papa, gue bisa naik bis dari sini."

"Nggak!" sambar Artha terlalu cepat hingga membuat Harin kaget sekaligus bingung.

"Maksudnya lo pergi sama gue, jadi lo juga harus pulang sama gue," jelas Artha yang kurang bisa diterima nalar Harin.

"Gimana sih? Kan katanya lo mau pergi?"

Artha mendesis. "Ngomong sama lo nggak bisa apa nggak rinci dulu? Pokoknya lo harus ikut. Buruan naik."

Harin berdecak mendengar 'perintah' itu. Mungkin Artha itu reinkarnasi dari Hitler. Seenaknya sendiri! "Hobi lo emang maksa gini ya?"
Harin menghentakkan kaki sebelum akhirnya menurut untuk masuk ke dalam mobil.

Pertanyaannya, kenapa Harin selalu menurut ya?

oOo

Harin terbengong beberapa saat, ia bahkan nyaris lupa menutup mulutnya yang menganga. Harin menatap ke arah depan dan Artha secara bergantian.
Cowok itu tidak bercanda? Tempat yang Artha tuju adalah sebuah wahana bermain. Memangnya ia punya kepentingan apa di tempat seperti ini?

"Yuk masuk," ajak Artha.

"Ngapain?"

Artha menatap wajah Harin, ada sedikit kilatan kesal di sana. "Menurut lo apa yang orang-orang lakuin di tempat seperti ini? Ya seneng-seneng lah."

"Mak--" ucapan Harin terpotong karena Artha yang sudah lebih dulu menariknya masuk mendekat tempat karcis.

Harin hanya terbengong-bengong ketika pegawai karcis itu memasangnkan sebuah gelang di tangannya. Pun ketika Arrha membawanya masuk dan berbaur dengan orang-orang lainnya. Tentu, sekarang hari minggu tempat seperti ini pasti ramai dikunjungi.

"Bentar... Bentar... Kita mau ngapain?" Harin yang masih belum mendapat pencerahan kembali bertanya.

Tuk! Tuk! Tuk!
Artha mengetuk kepala Harin tiga kali.

"Ki-ta se-neng-se-neng Harin sayang."

"Tapi gue--"

"Lo nggak suka?"

Harin menggeleng. Bukan sih, tapi....

"Ada kenangan buruk ya?" tanya Artha yang sepertinya paham atas perubahan raut cewek itu.

"Semua orang pasti punya Rin, tapi bukan berarti lo harus benci sama apa pun yang berhubungan dengan itu." Artha menembak tepat sasaran. Tubuh Harin tiba-tiba tegang.

"Lo benci sama seseorang, bukan berarti lo juga benci udara kan? Lo harus tetap bernapas meski tau lo berbagi oksigen yang sama dengan orang itu. Lo harus tetap hidup. Sesuatu memang pernah menyakiti lo, tapi bukan berarti lo juga ikut nyakiti diri sendiri."

Harin menunduk, menutupi mata basahnya dengan rambut. Ia kenapa harus cengeng di saat seperti ini sih?

"Cewek nangis minta ditenangin kan? Sorry ya, gue nggak maksud lancang." izin Artha kemudian menarik Harin ke dalam pelukannya.
Cewek itu tak menolak, ia hanya menggunakan dada Artha untuk meredam tangisnya.

Ini lah sisi Harin yang Artha lihat ketika makan es krim di depan minimarket malam itu. Harin yang sebenarnya rapuh dengan segudang masalah yang tersembunyi di balik wajah cerianya.

oOo

Setelah merelakan kaus depannya yang Harin jadikan lap air matanya, ia juga relakan wajah tampannya dilempari tatapan-tatapan mengecam dari orang-orang yang lewat. Samar-samar Artha mendengar celetukan mereka "Cowoknya gila! di tempat umun malah bikin ceweknya nangis."
Ini Artha salah apa ya? Niatnya kan baik. Artha tak menyakiti Harin, ia berani bersumpah.

"Rin...." panggil Artha pelan setelah merasa cewek itu sudah lebih tenang.

"Pelukannya di tempat yang lebis sepi aja yuk?" ajak Artha yang langsung ia rasakan sebuah tinjuan di dadanya.

Harin menjauh. Dengan mata dan hidung yang memerah. Tangannya mengusap air mata asal sementara tatapannya begitu tajam mengarah pada Artha.

"Ngelunjak ya lo!"

Artha mengernyit bingung. Dia salah lagi? Otaknya memutar kembali kejadian-kejadian ke belakang dan membelalak ketika sadar bahwa kalimatnya barusan bisa membuat Harin salah paham.

"Lo salah paham Rin, bukan itu maksudnya. Sumpah maksud gue itu biar lo puas nangisnya tanpa peduliin orang-orang yang lewat. Lo dengar kan mereka ngomong apa buat gue? Demi apapun gue nggak masalah baju gue dijadiin lap ingus lo tapi--"

Bugh!

Artha mengaduh bagitu Harin memukul perutnya. Tenaga cewek itu tak main-main. Pantas saja dia bisa seri dengan Vinda saat itu, padahal kalau cewek normal mungkin sudah habis di tangan Vinda.

"Gue nggak ingusan ya!" Harin menghentakkan kaki kemudian melangkah pergi.

Artha melongo, jadi tinjuan barusan itu adalah hadiah karena Artha membahas ingus?
Sekali lagi hanya karena ingus? :'

Cewek harus ya punya harga diri setinggi itu?
Maksudnya.... Argh...

"Rin tunggu!"
Artha mengejar Harin. Meskipun Harin bukan bocah 8 tahun, tapi bukan hal baik membiarkan dia keluyuran sendiri di tempat seramai ini. Apalagi Artha yang membawanya kemari.

"Kulit lo belum pulih Rin, orang-orang bakal bilang nggak pernah liat lo kalo gue nunjukkin foto!"

Dan langkah Harin semakin lebar setelah Artha mengucapkan itu.

Ck! Dia salah lagi ya?

22122019

Skenario [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang