15. Topeng^

238 40 0
                                    

Artha mendatangi backstage. Suara dari MC menjelaskan bahwa penampilan DC berakhir.
Artha melihat cewek yang tengah ditunggunya itu. Dia tersenyum cerah seolah rasa lelah tak akan menyaingi rasa bangganya yang berhasil menampilkan dengan baik.

"Hai." Hari menyapanya. "Gimana penampilan gue?" tanyangya kemudian meminum air mineral yang tadi disodorkan oleh panitia.

"Kenapa harus semua bagian itu lo ambil, bahkan lagu cowok pun." Harus ada yang menyadarkan Artha bahwa barusan ia bersikap protektif.

"Ya karena gue mampu," jawab Harin. Jawaban yang bukan Artha harapkan. Lalu apa Artha?

"Maksud lo gue harus I wanna know know know what is love? Sarangi eotteon neukiminji." Harin bernyanyi sambil menari, apa cewek itu tak ada capeknya?

"Gitu? Itu mah centil dance, bukan sexy dance. Gue nggak bisa yang centil-centilan gitu, keliatannya malah kaku."

Nggak bisa? Terus yang tadi gigit bibir dan mengedipkan mata apa? Yang barusan menari solo di depannya apa?

"Eh lo nggak nurutin gue buat bawa tissu ya?"

Artha diam dan mengernyit. Tissu?

"Lo pikir gue nyuruh bawa tissu buat apa? Nggak liat abis tampil gue keringetan gini?"

Iya kah? Tadi Artha sudah mikir ... sudahlah.

"Ke atap aja yuk. Cari angin, makin panas di sini."
Ucapan Harin memang bersifat ajakan tapi sebelum Artha menyetujui apa pun, cewek itu sudah membawanya ke sana.

Harin berjalan begitu tenang, bahkan, ketika melewati tangga yang tanpa penerangan. Tak nampak sedikit pun takut pada cewek itu.

Sementara ketika di atap, hanya ada satu lampu kecil berwarna kuning. Jangan juga berharap akan pemandangan langit bertabur bintang. Bias cahaya dari hiruk-pikuk kota seperti kabut yang menghalangi.

"Duh ... capek banget." Harin duduk selonjoran dan sedikit memijat-mijatnya kakinya pelan.

Artha ikut duduk di sampingnya kemudian mendesis. "Baru nyadar lo?" sinisnya.

"Gue manusia kali, bukan mesin." Bibir Harin sedikit mengerucut.

Artha memandanginya. Cewek itu masih dengan pakaian terakhirnya yang kurang bahan itu, dan kemana jaketnya yanga tadi?
Artha lebih baik jika Harin memakai itu.

"Kenapa lo harus ngelakuin itu?" pertanyaan itu tercetus juga. Sekarang ia sadar terlalu protektif untuk ukuran dia yang bukan siapa-siapa.

"Nari?"

Artha mengangguk, "Gerakan-gerakan erotis itu." Artha menggeleng-geleng untuk membuang bayangan-bayangab Harin di atas panggung.

Harin tertawa kencang. "Emang yang kayak gitu masuk erotis?"

"Iyalah Harin. Ya Ampun...." Artha menggeleng-geleng. Bagaimana Harin bisa sesantai itu?

"Bagus deh." Suara Harin merendah.

Apanya yang bagus? Dia yang bisa nari atau--

"Menurut lo moral gue sebobrok apa? Gue ... cewek senakal apa?"
Harin tak menoleh pada lawan bicara, ia hanya menatap nyalang pada langit yang kelam.

"Menurut gue," suaranya terjeda dengan otak yang berpikir. "Lo nggak seburuk yang orang-orang lihat."
Setelah kenal Harin, tahu tentang keseharian dia. Artha sangsi kalau mengatakan Harin itu cewek nakal, liar, atau sebagainya. Dia tak seperti itu.

"Ini bukan karena gue pernah ngajak lo makan di pinggir jalan, jadi tiba-tiba lo berpandangan gue cewek baik, sederhana, gitu kan?"

Artha menggeleng dan menarik senyum kecil. "Bukan itu aja sih, gue pernah cap lo buruk waktu Satya nunjukkin foto lo dan maksa gue buat anter-jemput lo itu. Tapi setelah gue kenal, lo nggak seburuk itu."
Artha menoleh, menatap Harin dalam.

"Itu cuma topeng kan?" Sorot angkuh, sikap liar, bahkan wajah baik-baik sajanya.

Harin mengehela napas, ia menekuk lutut kemudian memeluknya.

"Apa gue nakal beneran aja ya?" gumamnya yang masih bisa ditangkap telinga Artha.

"Jangan ngaco deh!"

Harin tersenyum. "Gue putus asa," ucapnya yang kontras dengan ekspresinya.

"Ada ya orang putus asa sambil senyam-senyum?" Sebelah alis Artha terangkat.

"Kalo nangis, gue udah keseringan." Harin menyimpan dagunya pada lutut.

"Tapi kayak gini juga bikin ngeri. Lo nggak bakal nekad kan?" Merealisasikan kenakalan itu?

"Ya kalo gini mulu, gue juga bisa nekad, Tha. Orang tua gue nggak pernah deket sama gue seperti lo, mereka nggak pernah liat asli gue gimana. Lo sendiri yang bilang seburuk apa pandangan lo ke gue sebelumnya," Harin menjeda, menatap Artha dengan sorot itu lagi. "tapi reaksi mereka?"

Harin mengepalkan tangannya kemudian meninju permukaan beton yang kasar. Artha cepat menggenggam tangan cewek itu ketika hendak melakukannya untuk kedua kali. Artha tak akan membiarkan cewek itu melukai dirinya sendiri.

"Mereka nggak pernah sekali pun negur gue atas kelakuan gue itu. Mereka ngerti nggak sih kalo gue butuh figur mereka? Gue butuh bimbingan mereka, gue butuh dididik meski gue cuma anak haram." Bahu Harin naik turun seiring dengan emosi yang mulai merambat dirinya.

"Sttt ... lo nggak boleh ngomong gitu,  Rin."

Harin menengadahkan wajahnya kemudian tertawa. "Gue pengen nangis sebenernya, tapi takut lo muak. Udah asal curhat, masa mau nangis juga."

"Kalo itu bisa bikin lo merasa lebih baik, kenapa enggak?" Tak ada salahnya kan?

Harin menggeleng. "Sorry ya, gue udah cengeng gini. Kebanyakan sendiri, jadi kalo ada orang di samping, suka pengen ngeluarin semua masalah gue."

"Tapi bukan salah gue sih, lonya aja yang nggak ada kerjaan masuk ke dalam hidup gue."

Artha menepuk-nepuk bahu Harin. Masalah cewek itu memang bukan masalah kecil. Sejauh ini Harin tergolong orang yang kuat menghadapinya.

"Ah pake tepuk-tepuk segala, gue suka makin cengeng. Lo kan bukan Alvaro yang bisa seenaknya gue minta peluk."

Artha terkaget. "Lo sering minta peluk sama Alvaro?" tanyanya penuh selidik dan entah kenapa seperti ada nada tak suka di sana.

"Iyalah, dia kan udah kayak Abang sendiri."

Meski Harin mengatakan itu, Artha masih tak bisa terima. Mereka tak ada hubungan darah dan bukan anak-anak yang bisa seenaknya berpelulan seperti teletubies.

"Gue nakal beneran boleh?"

Untuk kesekian kalinya Artha mengernyit tak mengerti ucapan Harin.

"Ah lo mah kelamaan."

Artha nyaris terjengkang saat Harin tiba-tiba memeluknya. Ia membelalak, tubuhnya berubah kaku.

"Pinjem tubuh lo bentar ya."

Artha bego! Tolol! Cupu! Harin cuma peluk tapi lo udah degdegan gini!

01012020

Skenario [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang