11. Tentang Mereka^

246 42 1
                                    

Harin melangkahkan kaki lunglai, punggung tangannya bergerak mengusap air mata di pipi. Keadaannya bisa dibilang kacau, luka di sikutnya sama sekali belum ia gubris hingga darah yang meleleh sudah hampir mengering.

Harin berhenti di depan pintu bercat putih dengan tulisan 'Harin dilarang masuk'.
Kemarin-kemarin tulisan itu tak lebih dari sebuah guyonan atas kejengkelan Alvaro karena Harin yang sering seenaknya pada kamar cowok itu. Harin tak pernah peduli akan tulisan itu, tapi entah kenapa sekarang tulisan itu malah terasa menampar-nampar Harin.

"Al...." Harin mengetuk pintu. Ketukan yang terjeda-jeda oleh ragu.

"Maaf Al....." ucapnya dengan suara tercekat.

Bruk!

Tubuh Harin kehilangan topangan. Tubuhnya merosot ke lantai. Kepalanya menunduk dan mulai terisak.
Alvaro selalu ada untuknya, mendengar semua masalahnya, tapi Harin sama sekali tak bisa berbuat apa-apa untuk dia, malah mungkin Harin yang membuat cowok itu dalam masalah.
Vinda melakukan ini karena dendam padanya kan?

"Rin."

Isakan Harin berhenti sejenak. Ia mendongak dan melihat Alvaro berdiri di ambang pintu.

"Al... Maafin gue," ucap Harin seraya menundukkan kembali wajahnya, tak berani menatap cowok itu.

"Maaf...." ulangnya lirih.

Alvaro berjongkok, melihat Harin dengan tampilan acak-ackannya itu. "Kenapa nangis?"

"Maafin gue, Al...."

"Kenapa minta maaf?" tanya Alvaro lagi. "Gue yang salah, gue bikin lo terluka."

"Tap--"

"Sttt...." Alvaro mengangkat telunjuknya. "Maaf. Gue yang harusnya minta maaf."

Harin malah semakin ingin menangis. Meskipun Alvaro terlihat baik-baik saja, hatinya sama sekali tak bisa tenang.

"Kita obatin dulu yuk." Alvaro membawa Harin untuk duduk di sofa. Tak lupa ia juga membawa kotak P3K dari dalam rak.

"Jangan nangis, kalo nangis berarti gue pengobat yang buruk."

Cepat Harin menepis-nepis air mata di wajahnya, ia bahkan berusaha menarik senyuman. Menurut layaknya anak kecil.

Alvaro menyuruh Harin untuk menunjukkan sikutnya. Ia mulai membersihkan luka itu dengan kapas yang sudah ditetesi cairan antiseptik.

"Nggak teriak-teriak lagi sekarang?" tanya Alvaro mengingat kejadian 6 tahun lalu dimana Hatin menangis meraung-raung ketika Alvaro mengobatinya yang terjatuh dari sepeda.

"Kan lo yang ajarin. Masa mau cengeng sama yang kayak gini. Meski perih, fungsinya kan untuk nyembuhin."

Alvaro tersenyum tipis. Ia mengambil obat merah, kain kassa, juga plester. Dengan telaten ia membalut luka itu.

"Yang di tangan cuma baret doang, biarin aja biar cepet kering." Alvaro merapikan kotak P3K kemudian menyimpan kembali pada tempatnya.

"Mandi dulu gih," putusnya setelah menelaah keadaan Harin keseluruhan. Keadaannya kacau.

Harin cemberut. "Ngusir nih?" Setidaknya itu menafsirkan bahwa Harin sudah lebih baik. Alvaro lega.

"Kalo udah mandi, kita beli es krim."

Harin bangkit. "OK! Tungguin ya." Harin berjalan cepat ke arah pintu.

Soal es krim Harin memang selalu antusias, Alvaro ingin minta maaf karena sampai sekarang ia tak bisa mewujudkan keinginan Harin untuk makan es krim bersama.

Skenario [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang