25. Dia Alvaro

229 35 0
                                    

Usia Harin saat itu masih 11 tahun, kelas 5 Sekolah Dasar. Tubuhnya sudah berbalut seragam kebesaran lengkap dengan tas punggungnya.
Namun ketika waktu bergulir pada pukul 9 pun, Harin masih di tepi jalan. Bahkan angkutan yang seharusnya mengantar entah sudah berada di mana karena tak ia hiraukan tadi.
Ia tetap berdiri, tanpa peduli kakinya yang pegal atau kulitnya terasa panas karena sengatan sinar Mentari.

"Ya Tuhan Non, kenapa nggak berangkat sekolah?" Pembantunya yang baru pulang dari pasarcberseru setengah jengkel. Pasalnya ini bukan kali pertama Harin melakukan hal itu.

"Harin nunggu Mama, Bi."

Wanita paruh baya itu menghela napas. Merasakan iba pada gadis kecil itu sekaligus mengutuk orangtuanya yang begitu tega meninggalkan anak sekecil ini tinggal bersama seorang pembantu yang jelas bukan siapa-siapa.

"Masuk yuk, nanti pusing kalau panas-panasan terus kayak gini."

Harin menggeleng. Ia berjalan ke arah gerbang rumah tetangganya. Ia berjongkok di sana yang teduh ternaungi pohon mangga.

"Yaudah, nanti masuk ya, Bibi buatin sup ayam." Wanita itu masuk ke dalam bersama belanjaannya. Harin bukanlah anak yang mudah dibujuk.

Harin tetap menatap jalanan. Menunggu Mamanya datang. Meski di usia 11 tahun ini ia sudah memgerti bahwa wanita itu tak mungkin datang.

"Aw...."
Harin memekik ketika merasakan sesuatu menimpa bagian belakang kepalanya. Harin bangkit dan berbalik yang kemudian mendapati sebuah bola basket kecil menggelinding di tanah.

"Pergi!"

Harin melihat ke sumber suara dan mendapati seorang anak laki-laki sebaya dengannya tengah menatap dengan raut marah.

"Pergi!"

Anak itu mengambil mobil-mobilannya. Melemparnya namun tak berhasil mengenai Harin.

Dia tak diam, kini beralih pada remot kontrolnya, kembali melempar dengan tanpa henti mengucapkan kata usiran itu.

Kali ini mengenai pelipis Harin, menciptakan luka yang mulai mengeluarkan darah. Namun Harin masih tak bereaksi, masih bergeming.

Anak laki-laki itu mengambil pot keramik berukuran kecil, kalau saja seseorang tak memangku tubuh Harin dan menjauhkannya dari tempat itu, dipastikan Harin sudah terkena pot keramik yang sekarang hancur di atas tanah.

"Kamu nggak apa-apa?" Pria dewasa yang tadi membawanya itu setengah berjongkok. Ia menepis dari yang meleleh menuju mata.

"Maafin anak om ya?" ucapnya penuh rasa bersalah.

"Harin cuma ikut neduh, Harin nggak jahat." Tahu kenapa Harin tadi hanya diam? Ia bingung tak mengerti mengapa anak itu menyerangnya.

"Iya, om tahu kamu nggak salah. Tapi Alvaro itu takut sama perempuan."

Jadi ekspresi anak tadi itu bukan marah? tapi takut? kenapa? Aneh.

Sejak hari itu Harin tetap tak berangkat sekolah. Namun bukan menunggu di tepi jalan, melainkan menghampiri rumah tetangganya. Yang menyerangnya karena katanya takut pada perempuan itu.

Harin mendatangi Alvaro dengan seruan untuk bermain, menganggap bahwa ucapan Ayahnya waktu itu tak pernah ada.
Alvaro tentu tak tinggal diam, seperti pertemuan pertama, Alvaro langsung melempar apa pun yang di dekatnya. Bedanya Harin menghindar, meski tak berhenti menyeruakan ajakan bermain.

Harin pantang menyerah, setidaknya di minggu kedua ia sudah bisa membuat Alvaro tak lagi melempar barang, hanya saja ketika melihat Harin Alvaro langsung menutup pintu, gorden, dan tak keluar-keluar meski Harin memanggilnya sampai suara serak.

Om Satria, Papa Alvaro berkata padanya. "Udah ya, jangan ganggu Alvaro."

Harin tak menyerah. Ia harus bisa membuktikan pada Alvaro bahwa dirinya tidak jahat dan Alvaro tak perlu takut padanya.
Dan karena obsesi itu, Harin sedikit terlupa dengan masalahnya.

Hari-hari betikutnya, Harin tak lagi berteriak memanggil Alvaro. Ia hanya bermain sendiri di halaman anak itu. Entah bermain bola, menggambar, atau beraepeda seperti sekarang. Sudah sekitar 9 kali Harin berputar di halaman luas itu.

"Hey Al!" sapa Harin ketika melihat Alvaro yang melihatnya dari atas balkon.
Harin tersenyum senang, rencananya berhasil, akhirnya bisa memancing Alvaro juga.

Sayangnya kesenangan itu tak bertahan lama, sepedanya menabrak pot besar yang membuatnya terjatuh dan terluka.

Harin menangis kencang, sikut dan lutut sebelah kirinya berdarah. Pembantunya tengah ke pasar, dan Om Satria jelas sedang bekerja.

Harin tak tahu harus bagaimana selain menangis. Kedua lukanya begitu perih. Hingga sebuah suara seketika membuatnya terdiam.

"Aku akan obatin, tapi kamu nggak boleh nangis dan bergerak sedikit pun."

Harin mengangguk, meskipun ketika Alvaro mengusapkan kapas beralkohol ia tetap menjerit. Namun setidaknya itu titik awal hubungan baik mereka. Alvaro mulai mengizinkan Harin masuk ke rumahbmeski duduk berjauhan. Harin tanpa berhenti mempromosikan diri bahwa berteman dengannya tidak akan merugikan. Alvaro bisa memanfaatkannya ketika ingin membeli buah potong pada penjual yang lewat di jalan, atau membeli komik di toko buku.
Semuanya berlangsung sampai sekarang.

Harin yang kesepian merasa terbantu dengan adanya Alvaro. Ia jadi punya tempat untuk mencurahkan bebannya. Sementara dari Alvaro tak dapat dipungkiri berkat Harin ia bisa menikmati dunia luar. Meski tak sepenuhnya sembuh. Setidaknya ketika di samping Harin ia merasa aman.

Seperti itulah hubungan mereka. Hingga Artha hadir dan Alvaro menggunakan emosi lain.

Skenario [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang