Artha memacu motornya dengan kecepatan tinggi, beruntungnya keadaan yang sudah malam membuat kendaraan lain berkurang.
Artha terus memikirkan Harin, apa yang terjadi pada Harin? Bagaimana keadaannya sekarang? Apa cewek itu melakukan hal nekad?Artha mengingat foto tadi, di belakang Harin terlihat sebuah kolam. Artha tak tahu itu di mana, apakah rumah Harin punya kolam atau tidak, tapi ia tak ada solusi lain selain menuju sana.
Artha menghentikan motornya, ia berjalan cepat ke arah rumah Harin. Lehernya menjenjang melihat keadaan rumah yang gelap. Artha mundur beberapa langkah sebelum berlari ke samping rumah. Keadaannya masih tak terlalu terang, hanya lampu temaram kecil di sudut taman.
Artha sedikit melepas lega, ketika menemukan sebuah kolam di belakang rumah Harin. Semoga ia bisa menemukan Harin ketika menyusuri tepi kolam dengan pandangan mengedar.
"Rin...." gumam Artha mendapati Harin yang terbaring meringkuk di balik bangku. Dengan pakaian minim dan keadaan basah.
"Rin...." Artha berjongkok dan mulai menepuk pipi cewek itu.
"Nghh...." Harin melenguh. Ia menyingkirkan rambut dari wajahnya kemudian menatap Artha. Matanya mengerja-ngerjap.
"Papa?" gumamnya, namun kemudian ia menggeleng sendiri. "Artha ya?" Harin bangun dan menepuk-nepuk pipi Artha dan tertawa.
Artha bisa menciun aroma alkohol yang pekat. Apa selain meminum, Harin juga mengguyurkannya pada badan?"Lo mabuk Rin."
Harin mengusap wajahnya. "Kaget ya?" Mata sayu itu menatap Artha. "Gue emang seburuk perkiraan lo di awal." ungkapnya.
"Gue bahkan punya banyak obat kalo lo mau tau. Selama ini cuma jadi koleksi. Dan sekarang Alvaro nggak ada, gue bebas." Harin merentangkan kedua tangannya kemudian tertawa.
"Gue bobrok banget ya kalau nggak ada Alvaro?"
Artha tahu ia salah situasi, tak sepatutnya ia merasa terganggu ketika Harin mengucapkan nama cowok itu di keadaan yang seperti ini.
"Alvaro selalu ada buat gue. Di saat nggak ada satu pun orang di samping gue, dia berusaha keras untuk di samping gue padahal itu ketakutan terbesarnya."Artha akui hatinya tak terima Harin membagus-baguskan Alvaro seperti itu. Tapi ia ingat kalau tujuannya ke sini adalah untuk kondisi Harin, bukan perasaannya sendiri.
"Tapi gue nggak cinta sama Alvaro." Harin menunduk, ucapannya terdengar lirih. "Gue nggak mandang dia sebagai cowok." suara Harin nyaris tak terdengar. Bahkan setelah itu Harin berguman-gumam tak jelas sebelum akhirnya mendongak dengan tiba-tiba.
"Lo kenapa harus datang ke hidup gue sih?!" Harin setengah memekik pada Artha. Tatapannya menajam.
"Pilihan lo itu datang saat umur gue 10 tahun dan nggak sama sekali!" Harin menekan-nekan dada Artha dengan jari telunjuknya. Mata itu kembali bertemu dengan Artha.
"Harusnya sekarang lo itu nggak ada di sini. Mau jadi pahlawan?" Harin terkekeh.
Artha tak memperdulikan ocehan cewek mabuk itu. Ia membuka jaketnya. Bukan terganggu akan penampilan Harin, tak punya otak namanya kalau ia berpikir ke sana. Sekarang sudah tengah malam, dan udara sangat menusuk, Harin bisa sakit.
"Ih apaan sih!" Harin menepis tangan Artha ketika hendak memasangkan jaket itu pada tubuhnya.
"Harusnya lo seneng gue kayak gini, bukan malah ditutupin."
Harin bangkit, ia menepis tangan Artha yang hendak menghentikan.
"Diam lo! Nggak usah ngikutin!"
Harin berjalan ke arah kolam dengan langkah sempoyongan. Itu membuat Artha khawatir, bagaimana kalau ia kehilangan keseimbangan dan tercebur ke kolam.
Harin berhenti di depan kolam, tubuhnya berbalik ke arah Artha yang masih di tempat.
Harin tersenyum dengan satu tangan terangkat untuk melambai. Perlahan tubuhnya condong ke belakang dan
BYUR!
Artha membelalak dan langsung berlari hingga suara air yang ditimpa itu terdengar untuk kedua kali.
Artha sedikit kesulitan membawa tubuh Harin. Tentu, yang dilakukannya untuk mengakhiri hidup, tak mungkin ia melakukan gerakan berenang. Bahkan mungkin ia tak perlu repot menahan napas dan sengaja menghirup airnya.
Artha berhasil membawa Harin ke tepi, keadaannya sudah tak sadarkan diri. Tanpa berpikir lagi Artha menekan-nekan dada Harin. Sedikit panik ketika Harin sama sekali tak bereaksi.
Ia meraih wajah Harin, sebelah tangannya mengangkat dagu sementara sebelahnya lagi mengapit hidung, ia melakukan napas buatan.Satu kali, dua kali, dan Artha merasa lemas karena terlalu lega ketika Harin terbatuk dan memuntahkan air.
Harin terbatuk-batuk cukup lama dengan paru-paru yang terasa perih. Artha membantu Harin terduduk dan mengusap punggung cewek itu.
"Lo kenapa nolongin gue sih?" ucap Harin seraya masih memegangi dada.
"Bunuh diri itu bukan pilihan, Rin."
Harin mengusap wajahnya dengan frustasi. "Gue tau, gue juga nggak nempatin sebagai pilihan, itu keharusan."
Artha menggeleng, "Lo masih di bawah pengruh alkohol, lo ngelantur."
Artha meraih tangan Harin untuk pergi dari sana, namun untuk kesekian kalinya Harin menepis itu."Gue sepenuhnya sadar dengan apa yang gue lakuin. Lagipula buat apa gue hidup, Tha?"
Air wajah Harin berubah. Seolah ia sudah tak punya lagi topeng yang bisa ia pakai hingga raut terluka itu pun terpampang nyata."Gue nggak asal ikuti emosi. 6 tahun gue hidup sendiri, gue rasa itu cukup buat gue ngerti, bahwa hidup gue nggak berarti." Harin menunduk dan mulai terisak. Membiarkan Artha melihat bagimana rapuhnya ia.
"Gue hadir di antara Mama dan Papa ketika mereka SMA. Gue nggak diharapkan, Tha." Harin menelan ludahnya yang berubah susah seperti menelan batu.
"Gue dirawat nenek, dan mereka sibuk lanjutin belajar. Sayangnya nenek meninggal pas gue kelas 2 SD. Gue sedih sekaligus senang. Sedih karena kehilangan orang yang paling ngerti gue dan seneng karena akhirnya gue bisa tinggal sama Mama Papa."
Harin terdiam sejenak, tangannya sibuk meremas-remas. Artha tahu yang Harin lalui bukanlah hal yang mudah."Tapi gue salah. Meskipun gue udah tinggal sama mereka, mereka nggak pernah punya waktu buat gue. Gue iri sama temen-temen gue yang cerita keseruan mereka di taman bermain bareng keluarga mereka. Gue pengen rasain naik wahana-wahan yang mereka ceritain. Dan lo tau berapa lama gue menunggu keinginan itu terwujud?" Harin memejamkan matanya dan menggigit bibir, berusaha mengalihkan sakit yang teramat di dadanya.
"2 tahun Tha! Gue nunggu 2 tahun buat pergi ke taman bermain. Gue seneng meski mereka terlambat mengabulkannya, gue masih lapang dada buat bersyukur. Tapi apa yang setelahnya gue dapet, Tha?" Harin menatap mata Artha. "Mereka pisah!"
Artha mengusap kepala Harin untuk menenangkannya yang sudah mulai kewalahan dengan emosi yang dirasakan.
"Ketika naik bianglala, ketika tubuh gue mulai terbawa tinggi, itu terakhir kalinya gue liat Papa. Dia pergi, tanpa pamit, satu patah kata pun."
Harin mengerang."Dan Mama pun pergi beberapa minggu kemudian. Gue sendirian Artha! GUE SENDIRI!"
Harin memukul-mukul tubuhnya dengan membabi buta. Hingga Artha harus memegangi tangan cewek itu agar tak terus menyakiti diri.
"Sampai saat ini, mereka nggak pernah nemuin gue lagi. Gue hancur, bahkan gue berniat mati dari dulu. Gue bertahan karena gue pikir gue masih punya harapan. Mama bilang bakal datang saat liburan, sebelum anak dia dari suami barunya masuk SD. 5 tahun gue nunggu buat itu, tapi hasilnya apa?"
Kekecewaan itu begitu besar terlihat."Dia bilang dia nggak bisa ke sini karena dia hamil lagi! Dia begitu menjaga calon anaknya sampai lupa KALAU GUE JUGA ANAK DIA!"
Harin berubah histeris, tubuhnya sudah tak terkendali bahkan setelah Artha memeluknya, tubuh itu masih bergerak-gerak.
Artha paham Harin tak butuh dihibur sekarang, semuanya tak akan berguna. Ia hanya bisa terus mendekap Harin dan berharap bisa membuatnya merasa lebih baik.
"Kenapa di saat gue yakin gue bakal bahagia, gue selalu kecewa, kenapa Tha?"
012020
KAMU SEDANG MEMBACA
Skenario [Tamat]
Novela JuvenilArtha kalah taruhan, temannya memaksa ia untuk mengantar-jemput seorang cewek yang sering mereka stalk di Instagram sebagai hukuman. Cewek itu Harin, yang Artha lihat dari postingannya saja cewek itu sudah punya gandengan. Menuruti keinginan Satya...