Harin menutup pintu rumahnya, ia bersandar sebelum akhirnya merosot ke bawah.
"Hh...."
Harin menghela napas besar, melepas topeng baik-baiknya yang ia pasang. Matanya menatap nyalang tak percaya. Napasnya benar-benar tak teratur seolah ada beban besar di pundaknya.Ya Tuhan.... Kejutan macam apa ini? Harin bukan orang bodoh yang tak bisa menafsirkan tindakan Alvaro tadi, tapi kenapa harus sekarang? Hari yang sama ketika Artha juga menyatakan perasaannya.
Harin merogoh ponselnya yang bergetar di saku piyama.
"Kenapa, Gib?"
'Gue di depan rumah lo.'
Harin kontan berdiri mendengar jawaban Gibran itu. Ia membuka pintu dan mendapati cowok itu berdiri di depan gerbang.
Harin mematikan sambungan telepon kemudian melambai pada Gibran sebagai tanda ia menyuruh cowok itu menghampirinya.
"Gib, Alvaro...."
"Iya gue tau, makanya gue ke sini."
Harin mengangguk, mereka memang mengenal baik satu sama lain. Gibran tak akan semata-mata datang kalau tak ada masalah, dia selalu datang ketika ada masalah yang tak bisa ditangani Harin dan Alvaro.
"Gue tahu, Alvaro chat gue."
Mereka memilih duduk di sofa. Rumah Gibran hanya berbeda beberapa blok dari sini. Begitu membaca pesan Alvaro, Gibran langsung berangkat.
"Oke, jadi lo udah sadar gimana perasaan Alvaro?"
Harin menangkup wajah, ia menghela napas seperti baru saja kehilangan kesempatan yang diinginkan.
"Jadi bener ya?"
Itu bukan pertanyaan. Harin hanya kehabisan kata untuk memberi tanggapan."Tadi Artha nembak gue," adu Harin. Meloloskan satu batu besar dari otaknya untuk diadili.
"Artinya cewek di postingan Artha itu bener lo."
Harin mengernyit.
"Artha post foto cewek, dari belakang. Tapi gue kenal lo bukan sebulan dua bulan, gue bisa tau itu lo."
Harin menghela napas lagi, penjelasan Gibran malah membuat bebannya bertambah berat.
"Gue harus gimana?" tanya Harin.
"Lo nggak harus pusing, kalo lo nggak punya rasa sama Artha." Sarkasme dari Gibran itu membuat Harin mengerang.
Gibran sedikit menggetakkan tubuhnya guna mendapatkan posisi duduk yang tepat. Kedua tangannya bertautan sementara ekspresinya berubah lebih serius.
"Gue tau lo suka sama Artha, dia banyak bawa hal baru buat hidup lo, lo seneng biasa jalan-jalan sama dia." Gibran menjeda.
"Itu cuma euforia, Rin. Karena lo nggak pernah ngelakuinnya sama Alvaro."
Harin bungkam, yang dikatakan Gibran tak sepenuhnya salah, tapi ini juga bukan hal yang bisa dijelaskan sesederhana itu.
Memang Artha banya melakukan hal yang tak bisa Alvaro lakukan, Harin juga mengaku pernah berkata "Alvaro nggak suka yang manis." atau "Alvaro nggak bisa ke tempat ramai." Tapi Harin tak pernah menganggap Alvaro kegagalan hingga ketika Artha melakukannya. Kesenangannya hanya berupa euforia. Tidak! Ini bukan euforia seperti yang Gibran katakan."Liat Alvaro, Rin. Lo mau hancurin usaha lo sendiri selama ini?" Gibran menohok.
"Inget semua usaha lo buat bikin Alvaro di titik sekarang. Lo sendiri yang dulu jelasin sama gue kalo Alvaro liat perempuan dari jauh pun udah ngamuk. Tapi sekarang? Alvaro udah biasa, meskipun nggak kontak fisik kayak sama lo. Itu karena siapa, Rin?"
Harin meremas ujung baju. Perkataan Gibran begitu menamparnya, mendakwanya sebagai orang tak tahu diri jika sampai dirinya sendirilah yang melukai Alvaro.
"Dan lo juga harus liat perjuangan Alvaro. Masalah Alvaro nggak sepele, Rin. Dulu dia liat es krim kayak monster mengerikan, tapi sekarang? Meskipun dia nggak makan, tapi dia selalu beliin buat lo. Menurut lo untuk sampai di titik itu semudah apa, Rin?"
Tampar lagi Harin! Tampar!
Ingin sekali rasanya membungkam mulut Gibran, membuat cowok itu berhenti mengatakan hal-hal yang membuat Harin terus tersudutkan seperti ini. Entah kenapa cara Gibran mengatakan membuat semua kebaikan Harin menjadi bumerang yang balik menyerangnya.
Baik? Benarkah Harin sebaik itu? Apa sebaiknya ia menyanggah saja? Bahwa ia tak sebaik itu.
Harin tak murni ingin membuat Alvaro sembuh, Harin yang terlalu kesepian hanya memanfaatkan kondisi cowok itu. Mendekatinya, kemudian menjadikannya tempat mengeluarkan keluh kesah. Harin bahkan memanfaatkan Alvaro untuk membuat orangtuanya berpikir Harin buruk dengan pose di Instagram.
"Lo tau jelas, Rin. Alvaro itu cowok normal."
Iya! Harin tahu. Bahkan ia sendiri yang akan melabrak siapa pun yang menyebut Alvaro menyimpang.
"Gue peka, Rin. Lo butuh waktu sendiri. Gue pulang dulu ya, tolong cermati lagi semuannya."
Harin menatap kepergian Gibran dalam diam. Semua yang cowok itu katakan kembali berputar di kepalanya.
Memang Harin hanya memanfaatkan kondisi Alvaro tapi bagaimana dengan Alvaro sendiri?
Dia berusaha keras untuk berdamai dengan es krim yang jelas-jelas merupakan hal yang dibenci Alvaro karena mengingatkan traumanya. Tapi karena es krim adalah kesukaannya, Alvaro rela melawan takutnya.
Lalu cowok itu tak mengeluh jika mendengar tangis cengengnya setiap malam. Ia tak protes pada Harin yang selalu datang untuk menceritakan kisah buruknya meski Alvaro tengah dalam keadaan sibuk.
Alvaro bahkan jadi satu-satunya orang yang selalu mengingat ulang tahunnya. Dia selalu menuruti keinginan Harin. Jauh berbeda dengan Harin, cowok itu tulus.
Lalu... Apakah Harin harus se-tak tahu diri membalas semua itu dengan kecewa?
oOo
Harin memandang ponselnya. Itu memang foto dirinya, dibidik dari belakang. Dengan gaya klasik dan filter artistik, orang pasti mengira Artha mencomot foto itu dari media lain.
Harin menghela napas, memasukkan ponsel pada saku kemudian meraih tasnya yang teronggok di atas kasur.
Ting!
Ponsel Harin bersuara, membuatnya harus kembali mengeluarkan benda itu.
Artha:
Berangkat bareng?Panjang umur, Harin tengah memikirkan tentang dia.
Harin:
Nggak usah.Artha:
Kenapa?Harin:
Gue berangkat sama Alvaro.
Udah di jalan.Harin membuka pintu depan, saat itulah tubuhnya kontan mematung. Artha ada di sana, di depan gerbang dan menatap ke arahnya.
Tanpa mengganti pandangan seutuhnya, Artha menempelkan ponselnya ke telinga. Selang beberapa saat ponsel di genggaman Harin bersuara. Nama Artha tertera di sana.
'Rin lo punya sodara kembar ya? Gue liat ada orang mirip lo depan pintu nih.'
Harin menghela napas. "Iya gue bohong, kenapa?"
Artha di seberang sana tersenyum. "Berangkat bareng, apa lagi?"
Harin memutuskan sambungan, menghembuskan beban yang menyumbat paru-parunya.
Kenapa harus seperti ini?
Kenapa tak dari dulu Alvaro suka padanya? Kenapa harus ketika Artha masuk ke dalam hidupnya?"Hey! Malah bengong."
04012020
KAMU SEDANG MEMBACA
Skenario [Tamat]
Teen FictionArtha kalah taruhan, temannya memaksa ia untuk mengantar-jemput seorang cewek yang sering mereka stalk di Instagram sebagai hukuman. Cewek itu Harin, yang Artha lihat dari postingannya saja cewek itu sudah punya gandengan. Menuruti keinginan Satya...