Menarik napas, membuang napas, menarik napas, membuang napas. Sedari tadi, hanya itu yang berhasil Artha tangkap dari Harin. Cewek itu tak bisa tenang, kadang menggerak-gerakan kaki, kadang juga menggigiti kuku.
"Mau minum nggak Rin?"
"Hah?" Harin menoleh refleks, cukup menjelaskan bahwa ia memang terlalu fokus pada perasaannya sendiri.
"Mau minum nggak?" Artha mengulanginya lagi.
"Enggak kok." Setelah menjawab itu Harin kembali pada kegiatan semula. Gelisah.
Artha melihat sekitar, suasana ramai akan orang yang berlalu lalang, namun itu sama sekali tak menarik perhatian Harin.
"Rin?"
"Ya...." jawab Harin, tanpa menoleh.
"Harin...." panggil Artha lagi. Sementara kali ini Harin menanggapi dengan gumaman.
"Sayangnya Artha."
Harin menoleh, "Kenapa Artha?"
Artha tersenyum sebelum mencubit pipi Harin dengan gemas.
"Ih Artha! sakit tau." rengek Harin. Bibirnya sedikit mengerucut tak terima.
"Siapa suruh jadi centil gitu? Harus dipanggil sayang dulu baru noleh."
Harin berdecak kecil. Apa cowok itu tidak peka kalau Harin itu tengah gugup?
"Sini tangannya."
"Buat apa?"
Artha tak menjawab, ia mengambil tangan Harin kemudian menggenggamnya.
"Jadi apa yang bikin pacarnya Artha ini gelisah terus?" tanyanya.
Harin menggigit bibirnya. Memang sedari tadi masalah itu terus bercokol di kepalanya. Harin gentar dengan rasa pesimisnya. "Harus ya kita pergi ke sana?" ucapnya nyaris seperti bisikan.
"Kenapa harus nggak harus?"
Harin memejamkan mata, "Gimana kalau gue nggak diterima di sana?"
"Bagus dong."
Harin mengenyit dengan jawaban spontan Artha itu. "Apanya yang bagus?" ucapnya bernada sewot. Jawaban Artha itu sama sekali tak membantu kegelisahannya.
"Kalo kehadiran lo nggak diharapkan, dia bakal stress sendiri. Efek fatalnya ke kandungannya. Sukurin kan! Siapa suruh udah bikin kesayangan Arthanya ini sedih." Jelas Artha dengan logika tanpa pikir dua kalinya.
Harin menarik tangannya dan mendesis, sementara Artha sudah tertawa.
"Belajar di mana sih otak licik gitu?"
Artha menghentikan tawanya dan kembali meraih tangan Harin, tatapan lembutnya ia berikan pada Harin. Satu hal positif yang Harin temukan setelah mereka bersama, di balik raga petakilannya, sebenarnya seorang Artha itu adalah sosok yang dewasa dan berpikiran jauh.
"Kalau kita nggak coba, kita nggak bakalan tau gimana Mama kamu sebenernya. Dia emang sejahat yang dipikirin selama ini, atau situasi membuat dia terpaksa membuat citra yang bikin kamu salah paham."
Seperti ucapan itu. Tidak ada yang salah, namun karena Harin yang memang tak sepraktis Artha, Harin masih punya kata Tapi untuk menyanggah.
"Berdiam dalam hujan itu bukan pilihan. Kita bisa berjalan, meskipun tetap basah, tapi akhirnya bisa berteduh."
Harin terdiam, memikirkan. Sebelah tangan Artha terangkat untuk mengusap kepala gadis itu.
"Percaya deh."
KAMU SEDANG MEMBACA
Skenario [Tamat]
Teen FictionArtha kalah taruhan, temannya memaksa ia untuk mengantar-jemput seorang cewek yang sering mereka stalk di Instagram sebagai hukuman. Cewek itu Harin, yang Artha lihat dari postingannya saja cewek itu sudah punya gandengan. Menuruti keinginan Satya...