3. Bukan Satu-satunya

1.9K 313 106
                                    

Kadang ada benarnya yang orang-orang katakan. Kalau kita terlalu sibuk dengan satu hal, maka masalah yang lainnya tidak akan terurus dengan baik. Karena Juna memang sedang merasakannya belakangan ini. Bukan cuma dirinya yang sadar akan kesibukan itu, Kairan bahkan mengkontaknya dan bertanya kenapa belakangan ini dirinya jarang bertemu Juna di kantor.

Jawabannya hanya satu, karena Juna sibuk. Ayahnya terlalu mengandalkan pria itu untuk mengurus segala hal, hingga tugasnya sebagai konsultan pajak dibelakangi dulu. Hari ini bahkan Juna tidak bisa ke kantor lagi karena akan menjadi volunteer atau relawan khusus dari perusahaan ayahnya. Juna diberitahu untuk bangun pagi dan nantinya akan diantar ke salah satu panti asuhan yang memakan waktu dua jam dari rumahnya.

Benar saja, sudah menghabiskan waktu kurang lebih dua jam, mobil perusahaan ayahnya baru berhenti di lahan parkir belakang gedung tua. Juna turun dari sana dan langsung melihat ke sekeliling. Pemandangan pertama yang dilihatnya adalah bangunan dengan warna yang hampir pudar, banyak rerumputan liar tumbuh disekitarnya, dan suasana terasa sunyi dari luar. Ayahnya mungkin bukan orang yang sempurna, tapi cukup pintar untuk memilih mana yang harus dibantu dalam hal ekonomi dan kebutuhan seperti ini.

"Udah disiapin semuanya kan?" Juna bertanya ke sekretaris ayahnya yang memang mengatur segala hal dari mulai barang bawaan hingga perintilan sekecil apapun.

"Udah, mau masuk sekarang aja?"

Juna mengangguk, lalu berjalan paling depan untuk memimpin. Begitu berada di halaman depan, Juna melihat cukup banyak anak kecil yang tinggal disini. Perempuan dan laki-laki berbaur, bermain bersama di halaman depan dengan senyum yang tergambar masing-masing di wajah mereka.

"Mas Juna ya?" Seorang wanita paruh baya menegurnya begitu Juna tanpa sadar terlalu menikmati pemandangan para bocah-bocah yang sibuk bermain

Dengan anggukan sopan, Juna memberikan uluran tangan lebih dulu, yang langsung disambut dengan bahagia.

"Mas Juna... udah dewasa banget sekarang. Tambah ganteng..." Wanita paruh baya itu membalas uluran tangannya sambil terus memuji Juna.

"Saya Mama Atas, dulu yang jagain mas waktu masih piyik, disuruh Pak Farez." Bersama logat jawanya yang kental, orang yang mengaku sebagai Mama Atas itu menjelaskan agar Juna setidaknya mengingat kenangan saat masih kecil.

Farez itu nama ayahnya dan Juna sedikit demi sedikit mulai mengerti kemana obrolan mereka mulai berlanjut. Namanya Mama Atas, dipanggil seperti itu karena tinggalnya di atas perumahan komplek. Sejak kecil Juna sudah tidak tinggal bersama ibu kandungnya, makanya dia dirawat oleh Mama Atas yang dengan senang hati menerimanya hingga umur Juna menginjak enam tahun.

"Iya saya inget sekarang..." Juna menjawab kaku.

Lalu sebelum berlanjut ke obrolan yang lebih jauh, Mama Atas menyuruhnya masuk untuk berkumpul dan mengobrol bersama. Juna duduk di dalam ruang tamu sedangkan staff ayahnya sibuk menyusun benda-benda yang dibawa mereka untuk diberikan kepada para anak di panti asuhan ini.

"Diminum Mas Juna," Sambil memberikan secangkir teh hangat, Juna menyeruputnya perlahan. Merasa tenang begitu melewati dua jam perjalanan membosankan di dalam mobil.

"Udah lama ya Bu panti asuhan ini?"

Mama Atas mengangguk dengan wajah sumringah.
"Ayah kamu gimana kabarnya? Ibu cuma bisa kirim email sama beliau..."

Juna tertawa mendengar ucapannya barusan, lalu menanggapi dengan sejujurnya.
"Baik bu sampe sekarang, Ayah juga ngomong katanya mau banget dateng tapi gak bisa gara-gara kerjaan."

"Iya ibu ngerti, yang penting-"

Ucapan Mama Atas berhenti begitu saja saat seorang anak kecil menendang bola kearah mereka dan menyebabkan gelas diatas meja pecah. Juna spontan menggeser tubuhnya sebelum air panas dari teh mengenai kulitnya yang terekspos.

SentimentallyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang