Warning: sedikit drama karena dik Jinan.
Sejak pukul 09:00 di Minggu pagi ini, Juna sudah mengendari Pajero hitamnya menuju kediaman Irina. Kemarin malam, Juna berusaha menghubungi wanita itu pada pukul 23:00. Menaruh harapan kalau saja Irina mengangkat teleponnya dan mereka dapat berbicara sebentar lewat panggilan telepon. Tapi Irina menolak panggilannya, enggan membalas pesannya pula, dan sekarang tidak bisa dihubungi. Lantas Juna memutuskan untuk secepatnya kemari.
Dan disinilah dirinya berada. Di depan gerbang rumah keluarga Irina yang pagi ini kelihatan cukup sepi. Namun saat beberapa detik setelah Juna baru saja mau menekan bel, seorang wanita paruh baya berpakaian daster rumahan keluar dari pintu utama. Juna tidak perlu menahan senyum lebih lama lagi, dia mengenal baik ibunda Irina yang kadang kala sering ditemuinya saat akhir pekan.
"Pagi tante," Sapa Juna berusaha menyunggingkan senyuman lebar. Biarpun hatinya sedang dalam kondisi penuh kekhawatiran, Juna tetap harus memaksakan bahwa dirinya baik-baik saja. Setidaknya di depan ibu kekasihnya.
"Eh Juna? Tumben pagi-pagi udah dateng. Masuk sini." Wanita paruh baya berambut pendek tersebut berlari kecil ke arah gerbang. Membukanya cepat untuk mempersilahkan Juna segera masuk.
"Iya. Mau ketemu Nana, tante..."
"Nananya masih di kamar, belum turun juga padahal udah diajak sarapan bareng tadi."
Lagi, pikiran Juna kalang kabut. Mendengar bahwa wanita itu mungkin saja melewati jam sarapannya membuat Juna semakin khawatir.
"Tante panggil dulu ya."
Juna mengangguk mantap dan menunggu di ruang tamu. Butuh waktu sekitar 10 menit lebih untuk menunggu kehadiran Irina yang belum turun menemuinya juga. Ibunda wanita itu bahkan belum terlihat lagi semenjak dia ke lantai atas kamar Irina. Juna tau kemungkinan besar Irina menolak untuk bertemunya, tetapi bagaimanapun juga hubungam mereka masih belum sepenuhnya berakhir. Dan hal itu merupakan kesempatan emas yang tidak lagi akan Juna sia-siakan. Dia hanya perlu menjelaskan semuanya secara jujur, dan Juna percaya, Irina akan memaafkannya mengingat wanita cantik itu memiliki banyak sikap positif yang dapat diandalkan.
Perlahan, suara sandal rumahan berbunyi dari atas sana. Juna menolehkan kepalanya untuk menatap ke arah tangga kediaman rumah Irina. Menemukan dua wanita yang kini sedang melangkahkan kaki turun. Satu dengan ekspresi senyum tenang, satunya lagi dengan wajah pendiam dan mata yang membengkak.
Juna tau Irina pasti akan turun menemuinya, dan dia cukup bahagia saat hal itu terbukti saat ini."Na..." Juna spontan berdiri, berujar dengan nada sehalus mungkin saat dia menatap Irina sekarang.
"Aku jalan ma," Tapi Irina justru enggan membalas sapaannya, hanya berbicara kepada ibunya untuk izin keluar rumah saat mengetahui Juna akan mengajaknya berbicara.
"Gak ganti baju dulu? Masa mau ngedate pake pajamas sama kardigan doang?" Komentar ibunya, yang Irina balas hanya dengan gelengan kepala pelan.
Kemudian Juna melihat Irina berjalan lebih dulu, meninggalkan ibunya dan Juna sendiri yang kini terlihat canggung. Masalahnya, Irina benar-benar menunjukkan pertengkaran yang jelas di depan ibunya, Juna jadi merasa tidak enak untuk hal itu. Juna juga segera izin ke ibunda Irina untuk pergi menyusul wanita itu yang sekarang sedang berada di depan mobil.
Sambil membuka pintu untuk Irina, Juna berbicara pelan. "Makasih ya, udah mau temuin aku."
Tapi tidak ada jawaban, Irina hanya masuk dalam diam begitu pintu mobil telah terbuka. Dia duduk tenang disusul dengan kehadiran Juna yang berada di kursi kemudi.
"Sarapan dulu ya Na, aku denger kamu belum sarapan tadi." Setelah saling berdiam diri dalam kurun waktu 10 menit, Juna mulai membuka pembicaraan saat mobilnya berjalan melewati lampu lalu lintas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sentimentally
Narrativa generalePsychology says, you realize you love someone when you want them to be happy, even when it's not with you. Tapi tidak untuk Axelio. Kalau dia sadar sedang berada dalam fase mencintai seseorang, maka dia tidak akan rela membiarkan orang yang dicintai...