Halte Bundaran Senayan, Mei 2017.
Pada pergantian waktu menjelang malam dini hari, Juna tidak mengerti kenapa dirinya harus menuruti permintaan bosnya untuk tidak membawa mobil tadi pagi. Katanya, hari ini perusahaan tempatnya bekerja menetapkan peraturan baru setiap satu bulan sekali akan diadakan hari tanpa membawa kendaraan pribadi, melainkan karyawan-karyawan kantornya di suruh menaiki kendaraan umum. Bebas, asal jangan taksi katanya. Semacam tindakan ramah lingkungan mungkin?
Juna tidak mau terlalu repot mengurusi hal itu, jadi dia hanya bisa menurut serta pasrah saat kini tubuhnya sedang sibuk berdiri menunggu transjakarta yang akan melakukan pemberhentian di halte untuk menjemput para penumpang. Sambil melirik ke arah arlojinya, Juna tersenyum saat melihat satu transjakarta yang dari jauh sudah bisa terlihat saat ini. Setelah berhenti, buru-buru pria itu naik dan masuk ke dalam. Kurang lebih ada sekitar 30an orang di dalam sana. Oleh karena itu dirinya tidak bisa menempati kursi karena kebetulan sudah lebih dulu ditempati oleh orang-orang yang lebih awal berada disini.
Seraya menahan keseimbangan lewat tiang silver di depannya, Juna menghela nafas. Halte tujuannya masih cukup jauh dan kakinya cukup pegal karena tidak terbiasa berdiri lama. Sambil melirik ke sekitar, pandangan Juna jatuh pada satu perempuan yang berada kurang lebih dua meter depannya. Duduk manis diam tanpa berbicara sedikitpun karena sibuk membaca sebuah buku.
Juna pikir dirinya enggan teralihkan karena wanita di depannya itu memiliki perawakan yang sempurna. Bahkan, semua lelaki yang ada disini juga diam-diam terlihat melirik wanita itu. Mencuri pandang untuk melihat penampilannya yang jelas-jelas terlihat mengesankan. Dilihat dari luarannya saja sudah dapat disimpulkan bahwa wanita itu cantik, memiliki penampilan modis yang tidak ketinggalan jaman, rambutnya terurai tapi tidak berantakan, dan dari raut wajahnya yang kelihatan cukup dingin, Juna dibuat tambah gamblang dengan pikirannya.
Dia ada hasrat untuk mau mengenal wanita itu lebih dekat. Tapi buru-buru Juna kendalikan melihat sepertinya wanita itu sendiri tidak bisa sama sekali mengalihkan pandangannya dari buku yang sedang dibacanya. Karena sudah melewati banyak halte, suasana di dalam transjakarta mulai sepi sebab banyak penumpang yang mulai turun. Alhasil, Tuhan seperti mengizinkan dirinya untuk membuat suatu perkenalan singkat karena kursi sebelah wanita itu kosong. Juna berdeham sebentar sebelum akhirnya berani mengambil tempat duduk tepat di samping wanita tersebut.
Dia meliriknya sekilas pada buku yang digenggam erat oleh wanita di sampingnya. Kemudian detik itu dia baru sadar kalau kemungkinan besar, wanita di sampingnya ini bukan warga asli Indonesia melainkan warga Jepang. Juna tidak bodoh-bodoh amat untuk bisa membedakan mana tulisan Jepang, China, dan Korea. Dia tahu walaupun kadang masih keliru dan suka tertukar, tapi malam ini entah kenapa semuanya terlihat jelas dan bisa disimpulkan begitu saja tanpa satupun pertanyaan yang pria itu ajukan.
Emang orang Jepang kayaknya, pikirnya waktu itu.
"Are you a tourist?" Sadar karena bibirnya tiba-tiba spontan bertanya pelan, Juna mengumpat di dalam hati. Tapi umpatan itu seketika hilang saat merasakan pandangan wanita tersebut akhirnya teralihkan dan menatapnya balik dalam diam.
"Kamu nanya saya?"
Juna sepertinya akan terkena serangan jantung. Wanita di sampingnya menoleh dan bertanya balik, masalahnya dia menjawab pakai bahasa Indonesia, membuat pria itu kembali merasakan segelintir perasaan memalukan yang sedang dideritanya sekarang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sentimentally
Narrativa generalePsychology says, you realize you love someone when you want them to be happy, even when it's not with you. Tapi tidak untuk Axelio. Kalau dia sadar sedang berada dalam fase mencintai seseorang, maka dia tidak akan rela membiarkan orang yang dicintai...