16. My Apple🍎

345 39 16
                                    

Jeno termenung sendirian di atas ranjang rumah sakit. Matanya menerawang langit-langit rumah sakit dengan pikiran yang melalang buana entah kemana.

Napasnya sudah teratur sehingga ia sudah terbebas dari masker oksigen yang cukup menyiksa itu. Ia melirik jam dinding yang menunjukkan pukul 9 pagi, tidak ada yang datang ke rumah sakit untuk mengunjunginya. Jeno menghela napas pelan kemudian lebih memilih untuk memejamkan matanya, siapa tau saat bangun nanti sudah ada orang yang datang.

Jeno hanya tidur selama satu jam saja. Tepat jam 10 pagi ia terbangun kemudian merenung kembali. Sia-sia saja, tidak ada yang peduli padanya. Jeno mengambil posisi duduk karena berbaring terlalu lama itu sangat membosankan. Ia memutar tubuhnya dan membiarkan kakinya melayang tak menyentuh tanah. Satu hal yang disukai Jeno sedari kecil adalah duduk di tempat tinggi dan mengayunkan kakinya ke depan dan ke belakang.

Cause if you like the way you look that much
Oh, baby, you should go and love yourself~

Senandung kecil itu keluar begitu saja dari bibir Jeno. Jika disini ada gitar, ia pasti sudah memainkannya.

Pemuda itu tiba-tiba merasa lapar. Ia melihat sekeliling dan menemukan sebuah apel di atas nakas. Jeno meraih apel itu beserta piring dan pisaunya. Ia mengupas apel itu dengan perlahan, tenaganya belum kembali sepenuhnya, bahkan hanya untuk mengupas sebuah apel.

Jeno tersenyum melihat apel di tangannya sudah terbebas dari kulitnya, tanpa menunggu lebih lama, ia segera memasukkan apel itu ke mulutnya.

"Hm.. enak," gumamnya pelan.

Jeno sedang asik-asiknya makan apel ketika ada seseorang yang membuka pintu dengan rusuh dan membuatnya terkejut.

"KAK JENO?!"

Jeno menatap sedih apel kesayangannya itu mendarat begitu saja di lantai yang kotor akibat Nadia yang datang mengejutkannya.

"Oops, maaf kak," ucap Nadia.

"Datengnya bisa biasa aja nggak?" tanya Jeno.

"Enggak," jawab Nadia tanpa rasa bersalah. "Liat deh aku dateng sama siapa."

Jeno mengangkat alisnya kemudian pura-pura terkejut ketika melihat siapa yang datang bersama adiknya. "Ya ampun, Haira?"

"Hai Jeno!" sapa Haira sumringah.

"Ngapain kesini?" tanya Jeno ketus.

"Jengukin lo lah! Nih!" balas Haira kemudian menaruh sekantong plastik di pangkuan Jeno.

Jeno tertawa renyah melihat isi plastik itu. "Apel? Haha thanks."

Haira menghentak-hentakkan kakinya di lantai karena kesal dengan respon pemuda yang ada di hadapannya.

"Udah selesai kan? Pulang sana," usir Jeno.

Haira melongo mendengar pengusiran Jeno secara terang-terangan, matanya bahkan terlihat berkaca-kaca. "Lo ngusir gue?"

"Menurut lo?"

"Semoga cepet sembuh," ucap Haira singkat lalu pergi keluar.

Nadia menatap nanar sang kakak. "Kak Jeno kenapa usir Kak Haira?!!"

"Kakak nggak suka sama dia, jadi jangan pernah kamu jodoh-jodohin kakak sama dia, ngerti?"

"Ya tapi setidaknya hargai sedikitlah, Kak."

"Denger ya Nad, cewek itu ribet. Nanti kalo kakak baikin dia, dibilang kakak ngasi harapan ke dia terus PHP-in dia."

Nadia menghela napas kemudian memilih untuk duduk di sofa sembari memainkan ponselnya. Hening beberapa saat tak ada yang membuka suara di ruangan itu sampai tiba-tiba..



Brukk!!



Nadia terkejut ketika Jeno menjatuhkan kantong plastik yang sedari tadi berada di pangkuannya. Sontak Nadia menoleh dan melihat kakaknya itu menahan sakit sembari memegangi kepala, dari hidungnya pun keluar darah segar.

"Kak Jeno!" pekik Nadia.

Gadis itu segera berlari dan menahan tubuh kakaknya sebelum jatuh ke lantai. Nadia membaringkan Jeno di tempat tidur kemudian berkali-kali menekan tombol yang ada di sebelah ranjang Jeno.

Tatapan Nadia tak terlepas dari Jeno yang kelihatannya masih menahan rasa sakit. Dengan tangan bergetar, Nadia meraih tisu di atas nakas kemudian membersihkan darah yang mengalir dari hidung Jeno.

"Tahan Kak, dokternya sebentar lagi dateng," ucap Nadia berusaha menenangkan Jeno.

Cklek!

Seorang dokter masuk bersama asistennya. Dengan segera dokter itu memeriksa Jeno dan menyuruh Nadia untuk menunggu di luar.

Gadis itu duduk sendirian di depan ruang rawat kakaknya. Kepalanya tertunduk dan tangannya masih bergetar karena ketakutan. Kemudian setitik air mata terlihat menetes di pipinya.

"Kak Jeno nggak apa-apa kan?" gumamnya pelan.

Nadia menutup wajahnya menggunakan kedua telapak tangan, berusaha meredam isakannya yang tiba-tiba meledak. Ia sendirian, ia ketakutan.

"Nadia?"

Sontak Nadia mendongak dan melihat Kala yang sudah berdiri di hadapannya.

"Lo kenapa?" tanya Kala.

Nadia memeluk Kala alih-alih menjawab pertanyaan pemuda itu. Ia menangis di bahu Kala, setidaknya ada yang menemaninya saat ini. Sementara Kala yang tidak tau apa-apa pun hanya mengusap lembut surai Nadia.

"G-gue takut.. Kak Jeno.. dia.. dia.." ucap Nadia terbata.

Kala melepas pelukannya lalu memegang kedua bahu Nadia. "Dengerin gue, Kak Jeno nggak apa-apa, dia kuat kok."

"T-tapi-"

"Jangan khawatir, gue yakin Kak Jeno baik-baik aja," potong Kala.

Nadia hanya mengangguk kemudian kembali duduk ditemani Kala.

Pintu terbuka dan dokter pun keluar dari dalam ruangan.

"Gimana keadaan kakak saya, Dok?" tanya Nadia.

"Nggak perlu khawatir, kakak kamu nggak apa-apa. Nanti kalau dia sudah siuman, jangan lupa kasih obat yang ada di atas meja ya," pesan sang dokter.

"Baik dokter, terima kasih banyak."

Dokter tersebut mengangguk kemudian berlalu dari sana. Tanpa menunggu lama, Nadia dan Kala pun masuk ke dalam ruangan.

Nadia menarik kursi di sebelah ranjang Jeno, memperhatikan wajah pucat kakaknya itu yang tertidur lelap. Jujur saja, Nadia lebih senang melihat Jeno tertidur, karena dengan tidur setidaknya kakaknya itu tidak akan merasakan sakit.

Nadia menghela napas berat kemudian memungut apel yang masih berserakan di lantai dibantu oleh Kala. Akhir-akhir ini hubungan Nadia dan Kala pun membaik, tidak seperti biasanya yang selalu bertengkar. Mungkin Nadia tidak ada mood bertengkar dengan lelaki itu, mengingat yang ada dipikirannya saat ini adalah Jeno seorang.

Nadia melihat mata kakaknya yang perlahan terbuka. Mata itu telah kehilangan binarnya, semakin hari kian meredup. Bahkan akhir-akhir ini ia melihat mata kakaknya itu sering kali terlihat kosong, menatap ke satu arah.

"Kak Jeno? Bisa denger Nadia?"

Jeno mengangguk lemah.

"Ada yang sakit, Kak?" tanya Nadia.

Jeno menoleh ke samping dan menatap adiknya itu selama beberapa saat.

"Kenapa? Kakak baik-baik aja kan?" tanya Nadia khawatir karena kakaknya itu tak kunjung bersuara.

"Apel kakak dimana?" tanya Jeno.

Nadia mendengus kemudian refleks memukul lengan kakaknya. "BISA-BISANYA YA MIKIRIN APEL!!"

🍎🍎🍎















To be continued...

Sweet AppleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang