18 Promise🍎

325 38 18
                                    

Jeno menatap pantulan dirinya di cermin. Sudah rapi dengan seragam sekolah yang membalut tubuhnya. Hari ini ia memutuskan untuk pergi ke sekolah karena merasa kondisinya mulai membaik. Hanna sudah menghilang, mungkin ibunya itu pergi ketika ia sudah tertidur semalam.

"Loh? Kak Jeno mau sekolah?" Jeno terkejut ketika Nadia tiba-tiba masuk ke dalam kamarnya.

Jeno mengangguk, "OSN udah deket."

Nadia berjalan mendekati Jeno. "Nggak usah dipaksa kalo kakak masih sakit."

"Udah mendingan kok," balas Jeno.

"Yaudah, kalo gitu ayo sarapan dulu," ajak Nadia.

"Enggak. Kakak masih punya apel," ucap Jeno sambil menunjuk beberapa apel di atas nakas dengan dagunya.

"Tapi, Kak-"

"Udah sana keluar," usir Jeno sembari mendorong adiknya keluar kamar.

"Aku tunggu di bawah ya, Kak!!"

"Iya!"

Jeno mendudukkan dirinya di tempat tidur karena kepalanya tiba-tiba saja terasa pusing. Ia memejamkan matanya sejenak sembari memijat pelipisnya. Dari sekian banyak orang, kenapa Tuhan harus memilihnya untuk sakit seperti ini? Jeno ingin bahagia seperti anak-anak yang lain, Jeno ingin sehat seperti dulu.

Setelah dirasa pusingnya sudah mereda, Jeno memasukkan buku-bukunya ke dalam tas, tak lupa dengan beberapa obat yang terselip disana. Ia juga mengupas apel dan memasukkannya ke dalam kotak bekal. Akhir-akhir ini ia tidak nafsu makan dan hanya apel yang dapat menopangnya untuk tetap hidup. Prinsip Jeno, No Apple No Life.

Jeno menggendong ranselnya dan segera turun ke bawah. Di meja makan, sudah ada sang ayah beserta kakak dan juga adiknya.

"Gimana, Jen? Udah mendingan?" tanya Jeff.

Jeno tersenyum lalu mengangguk.

"Nadia udah selesai makan, ayo berangkat," ucap Nadia.

Lagi-lagi Jeno hanya mengangguk.

"Tunggu, biar Kakak yang anter kalian," ucap Jeff.

"Nggak apa-apa, Kak. Jeno naik motor aja biar nggak ngerepotin," balas Jeno.

Arga tersenyum miring, "Bukannya setiap hari kamu memang ngerepotin?"

Jeno hanya diam menunduk.

"Nggak ngerepotin kok, ayo!" ajak Jeff.

Jeff dan Nadia sudah keluar lebih dulu, sementara Jeno hendak berpamitan kepada sang ayah.

"Jeno berangkat sekolah dulu, Pa." Pemuda itu menyalami tangan ayahnya.

"Ya ya, belajar yang bener. Buat Papa bangga."

Perlahan senyuman mengembang di bibir Jeno. "Sebentar lagi ada OSN, Jeno janji akan kasi emas buat Papa."

"Oke. Papa tunggu."




***




"Hoho, akhirnya ketos kita sekolah juga. Gue udah kangen banget sama lo!" ucap Eric sembari memeluk Jeno erat-erat.

"Lepasin njir! Nalu diliatin sama yang lain!" kesal Jeno.

Eric melepaskan pelukannya lalu menatap Jeno lamat-lamat. "Lo sakit apa sih? Kok lama banget nggak sekolahnya?"

"Cuma demam," balas Jeno santai. "Dimana rapatnya?"

"Haira masih nyari ruangan, bentar lagi bakal dikabarin."

Jeno hanya mengangguk mendengar ucapan Eric.

"Bro, main basket yuk? Udah lama nih gue nggak dapet lawan tangguh kayak lo."

Jeno terdiam.

"Jeno? Ayo!" ajak Eric.

"Nggak dulu deh, Ric. Gue masih nggak enak badan."

Eric melemparkan bola pada Jeno, "Halah, cemen lo!"

"Nanti kalo gue sakit lagi, lo mau tanggung jawab?"

"Sebentar aja, No. Gue nggak akan minta lagi deh habis ini, please," Eric sampai memohon.

Jeno menghela napas pelan, kondisinya masih belum pulih sepenuhnya, tapi ia memilih untuk mengiyakan ajakan sahabatnya itu, siapa tau ini menjadi permintaan terakhir Eric yang bisa ia penuhi.

Lelaki itu menaruh tasnya di pinggir lapangan kemudian men-dribble bola ke arah Eric. "Tapi sebentar aja ya?"

"Iya Jenooo."

Akhirnya mereka pun memulai permainan. Jeno begitu kewalahan menghadapi sahabatnya, padahal biasanya dalam hitungan menit ia sudah bisa memasukkan bola, tapi tidak dengan hari ini.

"Payah lo," cibir Eric karena Jeno belum dapat memasukkan bola sekalipun.

Pemuda itu berhenti bermain, ia meremas dadanya yang terasa begitu sesak. Kemudian ia berlari ke pinggir lapangan untuk meminum beberapa obat.

"Jeno?" panggil Eric yang terlihat khawatir.

Jeno yang masih mengatur napasnya pun mengangkat jempol untuk mengisyaratkan bahwa dirinya baik-baik saja.

Eric mengambil posisi duduk di sebelah Jeno, dilihatnya wajah pucat sahabatnya itu yang sedari tadi mendunduk. "No, gue minta maaf. Gue kira sakit lo nggak separah ini," sesalnya.

Perlahan Jeno mengangkat dagu dan menatap Eric. "Gue nggak apa-apa."

"Seriusan? Muka lo pucet banget. Lo pulang aja ya? Biar gue yang gantiin lo rapat hari ini."

"Gue masih kuat kok."

"Tapi-"

Jeno meraih tangan Eric, "Jangan khawatir."

Lelaki yang menjabat sebagai waka 1 OSIS itu menghela napas pelan. "Oke. Tapi kalo lo nggak kuat jangan dipaksain."

"Siap bos."

"Apa agenda rapat hari ini?" tanya Eric.

Jeno mengalihkan pandangannya ke lapangan, ia menghela napas berat. "Gue mau nyerahin jabatan gue ke lo."

"HAH?! GILA LO?!!"

Jeno terkekeh pelan, "Jangan kaget gitu dong."

"GIMANA GUE NGGAK KAGET, JENO?! LO BENER-BENER UDAH GILAA!!"

"Gue masih waras kok," ucap Jeno kalem. "Gue percaya sama lo."

"T-TAPI KENAPA?!"

"Nggak usah ngegas napa."

Eric menghela napas, "Kenapa mendadak gini, No? Apa alasannya?"

"OSN udah di depan mata, gue mau fokus disana."

"Udah? Itu doang? Alasan lo nggak masuk akal!" kesal Eric.

"Gue udah nggak bisa lanjut di OSIS, Ric. Gue minta tolong sama lo."

"Iya, tapi kenapa? Kasi dong gue alasan yang jelas!"

"Apa alasan tadi kurang jelas?" tanya Jeno.

Eric mendecih, "Tahun lalu bahkan lo bisa handle OSN sama Porseni sekaligus. Kenapa tahun ini nggak bisa?"

"Gue.. gue takut."

"APA YANG DITAKUTIN SEORANG JENO PRADIPTA HAH?!!"

"Sesuatu yang nggak bisa gue kasi tau."

"Oh, oke. Gue nggak mau gantiin jabatan lo. Dan gue nggak akan dateng rapat hari ini!" Eric bangkit dari tempat duduknya lalu pergi begitu saja.

Jeno menatap punggung Eric yang semakin menjauh, ia membiarkan lelaki itu pergi.

🍎🍎🍎














To be continued...

Wah, gimana triple updatenya??

Sweet AppleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang