08. Happiness🍎

331 37 37
                                    

Baru saja Jeno berdiri, lelaki itu tiba-tiba dikejutkan dengan kedatangan seseorang.

"Jeno, Nadia dimana?"

"Baru dateng main Jeno Jeno, dimana sopan santunmu sama mertua?" omel Kakek.

"M-maaf, Pa." Hanna menyalami tangan mertuanya terlebih dahulu sebelum atensinya fokus kembali pada Jeno.

"Nadia lagi makan sama Nenek," ucap Jeno.

Hanna mengangguk lalu segera menuju dapur.

Jeno tersenyum getir melihat punggung ibunya yang menghilang di balik tembok, wanita itu bahkan tak menanyakan kondisinya sama sekali. Padahal kentara jelas bahwa dirinya sedang tidak baik-baik saja, tapi ibunya itu seakan tak peduli. Lelaki itu akhirnya mengurungkan niatnya untuk pergi ke kamar dan memilih untuk duduk di sebelah kakeknya.

"Nggak jadi istirahat?" tanya Kakek.

Jeno menggeleng pelan, tangannya bergerak mengambil kue yang ada di toples kemudian memakannya, walaupun terasa hambar.

Kakek yang peka dengan keadaan cucunya itupun mengusap lembut kepala Jeno, "Hidup ini memang keras, Jen."

"Iya, Jeno tau."

Kakek mengangkat dagu Jeno dan memaksa cucunya itu untuk menatap wajahnya, "Apapun yang terjadi, jangan pernah berpikir untuk bunuh diri."

Jeno bergeming, menatap lurus mata sang kakek yang tampak sayu.

"Jeno? Kamu denger kan apa yang kakek bilang?"

Jeno bangkit dari tempat duduknya, "Iya, Kek. Tapi Jeno nggak janji."

Kakek menatap kepergian cucunya dengan was-was, pasalnya Kakek pernah berada di posisi Jeno dan satu hal yang terlintas di benaknya saat itu hanya bunuh diri.

"Pa, aku mau ajak Nadia pulang ya," ucap Hanna yang tiba-tiba datang.

"Sama Jeno?" tanya Kakek.

"Enggak, cuma Nadia aja."

"Kenapa cuma Nadia?"

"Aku takut Arga marah kalo aku ajak pulang Jeno."

Kakek menepuk kursi yang ada di sebelahnya, "Duduk sebentar, Papa mau bicara."

Hanna pun menuruti perintah mertuanya untuk duduk di kursi yang tadi sempat diduduki oleh Jeno.

"Papa penasaran, sebenarnya gimana kalian memperlakukan Jeno di rumah?"

Hanna terdiam, kepalanya perlahan menunduk.

"Inget, Jeno itu juga anak kandung kalian, walaupun kelahirannya nggak pernah kalian berdua harapkan. Dan inget, kamu sendiri yang melahirkan dia. Segitu terobsesinya kamu sama anak perempuan sampe ngelupain anakmu yang lainnya?"

"Maaf, Pa," pelan Hanna.

"Dan kasi tau suami kamu itu, jangan pernah lagi banding-bandingin Jeno sama Jeff, mereka berdua jelas berbeda. Punya kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Jangan sampai kalian nyesel kalo Jeno nekat bunuh diri."

"Jeno nggak mungkin punya pemikiran sempit kayak gitu, Pa."

"Itu menurut kamu kan? Apa kamu pernah memposisikan diri kamu sebagai Jeno?"

"Iya, nanti aku coba bicara sama Arga," ucap Hanna.

Kakek menghela napas, "Jeno sama Nadia biarin tinggal disini dulu selama beberapa waktu, biar suami kamu itu sadar kalo anak-anaknya itu berharga."

"Tapi Pa-"

"Sana pulang," usir Kakek.

"Pa.."

Sweet AppleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang