15. Hospital🍎

531 46 20
                                    

Nadia menatap tajam Jeno, matanya merah menyala menyiratkan bahwa gadis itu benar-benar marah saat ini. "Kenapa kakak sembunyiin ini dari Nadia?"

Sementara yang ditanya hanya diam, kepalanya tertunduk.

"JAWAB KAK!!" bentak Nadia.

Jeno yang duduk di tepi tempat tidur perlahan mendongak dan menatap Nadia yang berdiri di hadapannya. "Kakak cuma nggak mau kamu khawatir."

Nadia mendecih, "Sok kuat gitu ceritanya?"

Jeno menggeleng pelan.

Nadia melemparkan kertas yang berisikan logo rumah sakit itu ke wajah Jeno, "Nadia udah sering bilang ke kakak, kalo ada apa-apa itu kasi tau Nadia. Jangan sembunyiin apapun dari Nadia!!"

Jeno memejamkan matanya sejenak, kepalanya sedikit berdenyut karena teriakan adiknya. "Kakak minta maaf," ucapnya pelan.

"Aku bener-bener kecewa sama kakak!" ucap Nadia lalu pergi.

Jeno tak tinggal diam, ia mengejar adiknya yang berlari menuruni tangga. "Nad, tunggu! Dengerin kakak dulu!"

Sementara Nadia tak mempedulikan Jeno. Gadis itu terus berlari dan sesekali menyeka air matanya yang menetes.

"Nad, kamu mau pergi kemana?!" tanya Jeno. "Stop Nadia! Ini udah malem!"

"Jeno!" Seruan itu membuat Jeno berhenti. Ia menoleh ke belakang dan melihat sang ayah yang sedang menyilangkan tangannya di depan dada.

Jeno menelan ludah, "I-iya pa?"

"Kamu apain Nadia sampai dia pergi?" tanya Arga dingin.

"J-Jeno nggak-"

Buggh!

Belum selesai Jeno berbicara, sebuah pukulan sudah mendarat sempurna di perut pemuda itu. Jeno tersungkur ke lantai, merasakan sakit yang teramat dalam, padahal baru satu pukulan.

"A..ampun, P-pa.." lirih Jeno.

"Bisa nggak sih sehari aja nggak buat papa marah?" tanya Arga santai.

"A-akh!" Jeno meringis ketika sang ayah menendang perutnya.

"Dasar anak nggak berguna! Bisanya buat orang tua marah aja!" Arga lagi-lagi menendang perut Jeno sebelum akhirnya pergi entah kemana.

Satu pukulan dan kedua tendangan yang berikan Arga malam ini mampu membuat Jeno merasakan sakit yang luar biasa. Wajahnya yang sedari tadi pucat kian memucat dengan keringat dingin yang membasahi dahinya. 

Dengan sisa-sisa tenaga yang dimiliki, Jeno berusaha mengambil posisi duduk walaupun itu benar-benar menyiksa dirinya. Tapi ternyata keputusan Jeno salah, ia sekarang merasa mual karena mengambil posisi duduk. Jeno tak tahan lagi, akhirnya ia memuntahkan semua isi perutnya. Tapi sial, yang keluar malah cairan berwarna merah pekat yang sering disebut darah. Jeno terus-menerus memuntahkan darah segar hingga kaos putihnya berubah warna menjadi merah.

Di malam yang sunyi itu, Jeno terjatuh dan meringkuk di atas dinginnya lantai. Napasnya mulai tak beraturan dan dadanya terasa sesak. Apa malaikat kematian akan menjemputnya malam ini? Jika iya, Jeno akan bernegosiasi dengan sang malaikat. Ia akan meminta waktu lebih lama lagi untuk meminta maaf kepada seluruh keluarga dan juga teman-temannya.

Jeno sudah mati rasa, bahkan hanya menggerakkan jarinya pun ia tak bisa. Entah kenapa semakin lama, setiap tarikan napas terasa semakin berat. Perlahan matanya tertutup dengan setitik air mata yang jatuh di pipinya. Sedari tadi ia berdoa semoga ada orang yang menolongnya malam ini.






***






Mata cantik itu perlahan terbuka. Yang pertama kali Jeno rasakan ketika membuka mata adalah rasa sesak dan sakit luar biasa. Jeno tau ini di rumah sakit, bisa dilihat dari langit-langitnya yang berwarna putih bersih. Napasnya sudah teratur berkat masker oksigen yang terpasang. 

Sweet AppleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang