Stage 7

553 71 5
                                    

Ketika realitas menyita banyak waktu untuk sekedar berimajinasi T_T

Mungkin ada banyak typo di bab ini, harap dimaklumi


^_^

__________________________________________________

Raras duduk tenang di meja makan dengan semangkuk sup ayam sepiring nasi yang porsinya tinggal sepertiga lagi, ditemani segelas susu putih tanpa lemak yang selalu bisa membantunya tidur pulas setelah rutinitas seharian yang melelahkan. Karena waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam, sebagian besar penerangan di rumah sudah dimatikan, menyisakan ruang makan dan dapur saja. Kedua orang tuanya sudah masuk kamar sejak jam sembilan, Tania – adik bungsunya, setengah jam yang lalu sudah menyerah dengan tayangan TV yang tidak menarik baginya dan memutuskan menonton drama dari komputer di kamarnya, sedangkan Renata – adiknya yang usianya terpaut dua tahun darinya, belum juga pulang sampai sekarang.

Tidak sampai lima menit sampai Raras menghabiskan makan malamnya yang sangat terlambat. Ibunya sudah mewanti-wanti supaya dia tidak perlu mencuci piring bekas makannya. Tapi, karena Raras tidak pernah suka meninggalkan pekerjaan yang belum selesai, dia beralih ke westafel untuk mencuci piringnya, sekaligus dengan bekas piring yang sengaja ditinggalkan ibunya.

Terdengar suara motor berhenti di depan rumah, yang mungkin suara ojek yang mengantarkan Renata. Dugaan Raras benar. Terdengar suara kunci dan pintu yang kemudian dibuga secara perlahan supaya tidak membangunkan penghuni rumah yang sudah tidur.

"Assalamu'alaikum." Suara lirih Renata terdengar, tidak lupa memberi salam meski kemungkinan ada yang menjawab sangat kecil.

"Wa'alaikumsalam." Jawab Raras, sama pelannya namun cukup yakin akan didengar oleh Renata.

Renata terperankat ketika mendapati Raras masih berdiri membelakanginya menghadap westafel. Dia duduk di kursi yang tadi diduduki Raras, menaruh tasnya secara sembarang dan melepas jaketnya.

"Kok belum tidur, Mbak?" Tanya Renata, sembari menuang segelas air minum dan menenggaknya sekaligus.

"Mbak juga baru pulang. Kok lo malem banget pulangnya?" Raras sudah selesai mencuci piring, dan sedang mengeringkan tangannya dengan serbet. Kini dia berbalik menghadap Renata, namun masih berdiri bersandar pada westafel.

"Bos gue ultah hari ini. Dia traktir makan sekaligus karaokean. Semua karyawan wajib ikut. Apalah daya gue yang cuma budak korporat, Mbak."

Raras menarik ujung bibirnya sedikit. Dia berjalan menuju meja makan dan duduk di kursi berhadapan dengan Renata. Melihat adiknya bekerja begitu keras mengingatkan Raras ketika dia masih bekerja di perusahaan perbankan. Kehidupan Raras bahkan jauh lebih parah dari Renata. Ketika akhir bulan, dimana saatnya tutup laporan, Raras bahkan sampai rela tidak pulang ke rumah. Itulah yang mendasarinya untuk resign dan memulai bisnis dengan Maya. Kini, meskipun Raras tidak kalah sibuk ketika masih bekerja dengan orang lain, setidaknya Raras bisa mengatur jadwalnya sendiri. Dan itu jauh lebih menyenangkan jiwa perfeksionisnya.

Ada keheningan sesaat karena Raras yang tengah sibuk dengan ponselnya, dan Renata yang terlihat ingin mengatakan sesuatu namun dipenuhi keraguan. Raras yang merasakan kecanggungan adiknya, mendongak dan menangkap keterkejutan Renata. Raras menaikkan alis dan heran dengan keanehan adiknya.

"Ada apa? Lo punya sesuatu yang mau dibilang?"

"Mbak janji nggak akan marah, kan?"

"Hanya ada satu topik yang paling takut untuk disebutkan di rumah ini karena kalian berpikir gue akan marah. Biar gue tebak. Bayu? Alya? Atau dua-duanya?"

Mister DestinyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang