Stage 3

601 73 2
                                    

"May, gue ambil cara lo."

Maya baru saja membuka mulut untuk memasukkan sesendok gado-gado ketika mendapati Raras tiba-tiba masuk dan duduk di karpet persis di depan Maya. Alih-alih memberi respon, Maya justru melanjutkan makannya dengan mulut penuh.

"Cara gue yang mana? Maksud lo kita tetap ikutin permintaan klien yang tempo hari maunya ngadain acara pernikahannya di rooftop meski cuaca lagi nggak bagus? Bukannya kita udah ambil keputusan final dan tetap pakai cara lo?"

Raras menggeleng. "Bukan masalah kerjaan, Maya." Raras melirik Maya dengan kesal.

"Bukan masalah kerjaan?" Maya semakin dibuat bingung. "Sejak kapan lo nggak ngomongin kerjaan kalau lagi disini?"

"Maksud gue, cara yang lo tawarin biar Bayu nggak merasa punya kesempatan untuk deketin gue lagi."

"Ohhhhh." Maya akhirnya mengerti maksud ucapan Raras. Tapi, dia semakin bingung. "Emangnya gue nawarin cara buat lo? Kok gue nggak inget?"

Raras menggaruk keningnya, tidak tahu harus melakukan apa lagi untuk menghadapi Maya yang kumat lemotnya.

"Gue harus punya pasangan baru supaya membuktikan kalau gue udah move on dari Bayu. Jadi, entah suatu hari mereka cerai, gue nggak akan berada di posisi yang salah. Remember?"

Maya menepuk tangannya sekali, kembali mengingat kata-kata yang dia baru ucapkan kemarin. Begitu menyadari bahwa kali ini Raras memilih mengambil tindakan yang benar, mata Maya berkaca-kaca.

"Lah? Kenapa lo jadi nangis gitu?"

Untuk mencegah supaya air matanya tidak menetes, Maya mendongakkan kepala dan mengerjapkan matanya beberapa kali. "Lo nggak tahu gimana khawatirnya gue, Ras, waktu dengar Bayu ngehamilin Alya dan pernikahan kalian yang tinggal menyebar undangan harus dibatalkan."

Raras terpaku. "Lo khawatir sama gue? Kenapa? Gue nggak apa-apa, kok."

"Justru itu! Kebanyakan orang akan marah dan murka dalam kondisi seperti itu. Wajar malah kalau lo datang ke Bayu dan Alya, terus lo acak-acak muka mereka. Tapi, apa yang terjadi waktu itu benar-benar membuat gue ketakutan, Ras." Maya berhenti sejenak untuk menarik nafas. "Lo diem. Lo nggak bereaksi apa-apa. Yang lo lakuin cuma melepas cincin pertunangan kalian, ngeberesin barang-barang pemberian Bayu dan seserahan lamaran kalian, dan secara langsung mengirimnya ke rumah orang tua Bayu. Lo nggak marah atau nangis. Itu yang membuat Tante Yuni dan gue khawatir, Ras."

Maya benar. Ketika Alya melempar bom tentang kehamilannya di acara keluarga di rumah neneknya, semua syaraf perasa Raras memang mendadak mati. Dia hanya terdiam mematung, tanpa bisa mengeluarkan satu tetespun air mata, meski dia ingin sekali. Semua amarah yang ingin dikeluarkannya juga terhenti di ujung lidah, hanya menyisakan helaan nafas panjang.

Raras sendiri tidak mengerti kenapa emosinya menolak untuk keluar. Sama seperti sebelum-sebelumnya, Raras memang terbiasa memendam sendiri emosinya. Entah itu kecewa, amarah, benci, atau justru bahagia. Karena menurut Raras, mengumbar emosi adalah bentuk kelemahan. Dan dia menolak menjadi salah satu karakter dengan penuh kelemahan.

Terkait masalah Bayu dan Alya, Raras memang sangat marah. Tapi, dia lebih marah pada dirinya sendiri. Sejak awal mengenal Bayu di tahun keduanya kuliah, Raras sudah tidak memiliki perasaan tertentu pada Bayu. Tidak ada satupun teman satu fakultasnya yang tidak tahu mengenai upaya Bayu mendekatinya. Setelah luluslah, Raras baru menerima perasaan Bayu dan mereka resmi berstatus pasangan kekasih.

Sejak itu, Bayu tidak banyak berubah. Meski mereka bekerja di tempat yang berbeda – saat itu Raras masih bekerja sebagai public relation di sebuah perusahaan pengembangan properti, mereka masih meluangkan waktu untuk bertemu dan menghabiskan waktu bersama. Meski awalnya Raras ragu, secara perlahan Bayu berhasil meyakinkannya bahwa dirinya adalah laki-laki yang pantas untuk menjadi pendampingnya. Apalagi, saat Raras keluar dari perusahaan tempatnya bekerja dan merintis usaha wedding organization bersama Maya, Bayu tetap seratus persen mendukungnya.

Mister DestinyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang