Sekembalinya dari pendakian di Gunung Gede, kehidupan Raras dan Wisnu kembali ke jalur yang sama dengan sebelumnya. Yang sedikit berbeda adalah sekarang keduanya membiasakan untuk lari pagi sebelum memulai aktivitas pekerjaan masing-masing. Karena di area apartemen mereka sudah tersedia lintasannya, mereka tidak perlu jauh-jauh. Begitu selesai lari, keduanya akan berburu sarapan yang setiap pagi tersedia di kawasan apartemen tersebut.
Seperti pagi ini, Wisnu memilih untuk sarapan dengan bubur ayam, sedangkan Raras memilih lontong sayur. Karena lapak berjualan bersebelahan langsung dengan taman kecil, keduanya duduk di atas rumput, bersama dengan pengunjung lain.
"Udah seminggu ini kamu pesen lontong sayur. Memangnya nggak bosen?" Tanya Wisnu, keheranan dengan selera makanan Raras.
"Kalau aku belum bosen, aku masih akan pesen ini."
Kenyataannya, yang berburu sarapan setiap pagi adalah Wisnu, karena menu sarapan yang dia pilih setiap hari selalu berubah. Berbanding terbalik dengan Raras, yang sejak keduanya mengatur jadwal lari pagi hingga sekarang, selalu memesan menu yang sama yaitu lontong sayur.
"Pilihannya banyak, Ras. Memangnya kamu mau coba yang lain?" Raras bersikeras menggelengkan kepala. "Cobain ini bubur ayam aku." Wisnu juga bersikeras mengulurkan sesendok untuk menyuapi Raras.
Raras awalnya menolak. Melihat orang-orang di sekitar mereka menatap dengan senyuman penuh makna, Raras menjadi malu. Dengan kerutan di kening, Raras membuka mulut untuk menyambut suapan dari Wisnu.
"Enak, kan?" Wisnu bertanya dengan wajah penuh kepuasan. "Besok kamu pilih sarapan yang lain, deh."
Begitu selesai menelan makanan di dalam mulutnya, Raras semakin cemberut. "Nggak mau. Aku masih suka lontong sayur."
Jawaban Raras membuat sepasang orang tua yang duduk paling dekat dengan keduanya tertawa. Wisnu dan Raras menoleh dan mendapati keduanya tersenyum pada mereka.
"Kalian pasti pengantin baru, ya?" Tanya si Nenek yang kemungkinan sudah berusia diatas tujuh puluh tahun, begitu juga dengan si Kakek – suaminya.
Raras merasa canggung dan hanya tersenyum singkat lalu mengangguk dengan sopan. Berbeda dengan Wisnu yang ikut tertawa dan menyapa dengan ramah pasangan tersebut.
"Kok Nenek, tahu? Kelihatan banget, ya?" Responnya dengan ramah.
"Auranya pengantin baru memang beda. Persis saat kita masih jadi pengantin baru. Ya, kan, Pa?" Kini si Nenek bertanya pada suaminya, yang dijawab dengan anggukan kepala.
"Nenek sama Kakek tinggal di apartemen ini juga?"
Si Kakek menggelengkan kepala. "Kami tinggal di perumahan belakang sana. Setiap dua hari sekali kita membiasakan diri untuk jalan santai. Dan baru hari ini kita berjalan cukup jauh sampai sini."
"Kalian sudah menikah berapa lama?" Si Nenek bertanya lagi.
"Tiga bulan, Nek." Kali ini Raras yang menjawab.
"Daritadi kita perhatiin kalian. Yang suami banyak bicara, sedangkan istrinya lebih banyak diam mendengarkan. Sangat berbeda sama kami."
Wisnu tertawa, lalu mengangguk mendengarkan. "Istri saya memang hemat bicara, Nek." Wisnu tidak melewatkan kesempatan untuk menggoda Raras.
Raras yang kesal karena ucapan Wisnu, secara spontan mencubit lengan Wisnu pelan, namun tetap membuat Wisnu meringis. "Kamunya yang terlalu banyak bicara." Ucap Raras, pelan.
Melihat bagaimana Wisnu dan Raras berinteraksi, Si Nenek dan Si Kakek kembali tertawa.
"Sudah ada rencana mau punya anak berapa?" Tanya Si Nenek.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mister Destiny
Roman d'amourRaras dan Wisnu, dua orang dengan niat berbeda, yang bersatu atas nama pernikahan dan sama-sama belajar untuk menyatukan tujuan