"Papa sama Mama maunya pakai gaya modern aja, yang nggak ribet dan nggak harus memihak ke satu adat. Karena kamu sendiri tahu Papa dari Makassar, sedangkan Mama dari Aceh. Kenapa sekarang kamu maksa banget harus pakai adat Sunda?"
"Karena itu permintaan dari Nini aku. Aku cuma punya Nini, dan karena aku cucu tertua, Nini maunya pernikahan aku pakai adat Sunda."
Raras menelan dengan susah pada dua pasangan calon suami istri yang sedang mendiskusikan prosesi pernikahan mereka nantinya. Ini adalah pertemuan pertama, dimana mereka masih baru akan membicarakan konsep pernikahan. Dan perdebatan sudah terjadi. Belum lagi nanti kalau sudah membicarakan gedung, konsep undangan, souvenir, busana pernikahan, dekorasi, katering, bahkan sampai ke konsep fotografi dan musik.
Ini bukan pertama kalinya, tapi, entah kenapa Raras merasakan kepalanya berat dan ingin segera mengakhiri pertemuan kali ini.
"Mas, Mbak. Maaf sebelumnya. Tapi, kalau dari segi konsep acara saja kalian belum menemukan kesepakatan, kita mungkin nggak akan bergerak kemana-mana." Raras memberi saran dengan serius. Tanpa senyum.
"Ini masalah serius, Mbak. Kalau kita belum sepakat, acara pernikahannya mungkin nggak akan pernah terlaksana." Kata si calon suami, dengan nada ketus karena kelelahan berdebat.
Mendengar kata-kata kejahat itu, mata si calon istri mulai berkaca-kaca. Ya Allah. Tolong jangan sampai ada air mata. Tolong jangan hari ini.
"Jadi, kamu nggak mau melanjutkan rencana pernikahan kita? Ok, fine!"
Si calon istri menggebrak meja, membuat pengunjung kafe yang mereka tempati memandang ke arah meja mereka. Dengan air mata yang sudah menetes, si calon istri pergi meninggalkan meja mereka begitu saja. Dan si calon suami yang tidak kalah emosi, hanya duduk sambil mendekap tangan di dada. Tidak sedikitpun menunjukkan minat mengejar calon istrinya.
Raras merasa jengah. Dia sudah banyak melihat jenis pasangan. Tapi, belum pernah ada laki-laki yang egoisnya mengalahkan laki-laki di depannya ini.
"Mas, itu Mbak Lily nggak mau dikejar?"
"Untuk apa? Biarin aja. Biar dia intropeksi apa kesalahannya. Selama ini, aku udah ngalah sama dia. Sekali ini aja aku mau membahagiakan Nini di hari pernikahanku, dan dia malah ngotot begitu."
Oke. Aku ralat kata-kataku tadi yang bilang kalau dia laki-laki paling egois dari yang pernah aku kenal.
"Mas, boleh saya kasih saran?" Si calon suami meredakan emosinya, menegakkan kembali duduknya dan menatap Raras dengan antusias yang jauh lebih besar daripada membahas konsep acara dengan calon istrinya tadi.
"Prosesi pernikahan 'kan ada dua, acara ijab qabul dan resepsi. Di dua acara terpisah itu, kita bisa pakai dua konsep yang berbeda. Waktu ijab kita bisa pakai acara adat, dan resepsinya dengan konsep modern. Atau, sebaliknya juga nggak masalah. Saya juga sudah sering menangani perniakahan dengan perbedaan pendapat tentang adat, dan Alhamulillah, terselesaikan dengan baik. Kita hanya perlu duduk bersama dan bicarakan semuanya baik-baik. Tidak perlu pakai emosi."
Si calon suami menarik nafas panjang. Dia merenungkan kata-kata Raras. Matanya yang tadi masih diselimuti emosi, kini sudah lebih tenang dan perlahan melembut. Sepertinya dia juga sudah menyadari betapa kasar dan bodoh sikapnya tadi.
"Mbak Raras, saya minta maaf sekali atas sikap saya dan Lily yang kekanakan. Saya harus pergi sekarang untuk minta maaf ke Lily. Nanti, saya hubungi Mbak Raras untuk mengatur ulang pertemuan. Terima kasih."
Tanpa menunggu respon dari Raras, si calon suami sudah pergi. Begitu sumber masalah pergi, berat di kepalanya tidak juga menghilang, justru rasanya semakin sakit.

KAMU SEDANG MEMBACA
Mister Destiny
عاطفيةRaras dan Wisnu, dua orang dengan niat berbeda, yang bersatu atas nama pernikahan dan sama-sama belajar untuk menyatukan tujuan