Stage 9

506 77 3
                                    

Selamat membaca

^_^

__________________

"Jadi, Mas Wisnu ngajakin elo ke acara ultah keponakannya Hari Minggu besok?"

Bertemu Hari Senin, Raras tidak tahan memendam sendiri keresahannya dan memilih membaginya dengan Maya, sumber dari semua rencana tersebut. Dan seperti dugaan Raras, Maya bereaksi sama terkejutnya dengan dirinya kemarin.

"Luar biasa. Gerak cepat loh dia." Lanjutnya.

"Gue udah iyain, sih. Menurut lo gimana?"

Maya yang sedang mengetik laporan di laptopnya mendadak berhenti. Dia mengerjap beberapa kali, tidak mempercayai pendengarannya sendiri.

Raras, perempuan paling logis yang selalu dengan matang memikirkan segala hal, untuk pertama kalinya terlihat bimbang.

Jadi, dia manusia juga? Gue kira selama ini beneran robot.

"Waktu Bayu ngajak lo ketemu keluarganya, lo nggak pernah segamang ini, Ras." Celetuk Maya, yang baru telat disadarinya.

"Karena gue ngerasa bahwa gue udah terlalu mengenal Bayu, sampai nggak ada lagi yang bisa mengejutkan gue."

Maya memahami jawaban Raras. Harusnya dia tidak lagi membawa nama Bayu dalam percakapan mereka. Terkadang, mulutnya tidak bisa dikontrol, karena Maya masih sangat penasaran tentang perasaan Raras mengenai penghianatan Bayu dan Alya. Ketika Pandu mengutarakan niat ingin mengenalkan Raras dengan Wisnu, Maya memiliki cukup banyak keraguan. Wisnu dan Raras seperti dua hal bertolak belakang yang tidak akan bisa disatuan bahkan dalam satu kelimat sekalipun.

Tapi, melihat bagaimana Raras cukup ekspresif sejak mengenal Wisnu, Maya meyakinkan bahwa usahanya tidak akan menimbulkan kerugian apapun. Tugasnya hanya mengenalkan. Akan sejauh mana hubungan keduanya, dikembalikan lagi pada keputusan Wisnu dan Raras. Maya hanya bisa mendoakan.

"Kalo lo udah bilang iya, kenapa harus mundur? Raras yang gue kenal nggak pernah menarik kata-katanya."

Raras mengangguk. "Lo benar. Apapun nanti hasilnya, yang penting gue udah mencoba. Kalaupun nanti hubungan gue dan Wisnu nggak berhasil, seenggaknya gue mengenal orang-orang baru."

Maya menyukai keoptimisan Raras. Hanya saja, satu poin lebih menarik perhatiannya. "Wisnu? Lo ngak panggil dia pakai embem-embel Mas? Dia udah tiga dual oh tahun ini, sedangkan lo belum genap dua delapan."

Raras mengerutkan keningnya, terheran-heran karena Maya lebih tertarik pada hal paling tidak penting. "Gue nggak pernah berada di situasi dimana gue harus panggil nama dia."

"Dan bisa jadi, kunjungan lo ke rumah keluarganya akan jadi situasi pertama kalinya lo harus panggil nama dia." Maya memberikan tips pengalamannya. "Gini, deh. Waktu Nyokapnya nanya, 'apa yang kamu sukai dari Wisnu?'. Masa lo mau bilang, 'Wisnu baik, Tante. Sopan, rajin menabung, murah rejeki.' Iya begitu? Apalagi, ibunya pasti udah tahu umur lo berapa, dan begitu tahu lo nggak sopan karena nggak pake embel-embel saat panggil putranya, ibunya pasti kurang respek sama elo. Bukannya apa-apa, Ras. Ibu-ibu itu punya hal paling nggak penting yang bisa dijadiin celah untuk ngebenci calon menantunya. Apalagi, Mas Wisnu itu anak laki-laki pertama dan satu-satunya di keluarga mereka."

Hah? Anak laki-laki satu-satunya?

"Lo nggak pernah bilang kalau dia anak laki-laki satu-satunya." Berarti, keponakan yang dimaksud, anak adiknya?

"Masa?" Maya mengabaikan keberatan Raras. "Pokoknya, lo harus hati-hati. Ingat untuk tambahan 'Mas', sebelum namanya. Ini tips dari gue yang udah ngalamin gimana ketemu mertua yang bawel kayak Mamanya Mas Pandu."

Mister DestinyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang