37

2.9K 264 16
                                        

Pada malam hari, angin bertiup kencang dari utara. Secara bertahap, keping-keping salju mulai melayang turun dari langit. Semua pelayan istana dan Kasim sudah ditarik untuk beristirahat, kecuali bagi mereka yang diperintahkan khusus untuk berjaga semalaman.

Di seluruh luas kompleks istana, hanya beberapa lampu yang masih bersinar redup dan tidak ada suara yang terdengar. Sungguh malam dingin nan sunyi. Bagi penghuni istana, ini adalah saat yang sangat baik untuk terbungkus di balik selimut.

Pada salah satu kamar paling indah di Taman Merriment, Akashi masih setia mengawasi Kuroko.  Tangannya dengan hati-hati menyeka tetesan keringat yang membasahi dahi kekasih tercinta. Api ketidaksabaran terbakar di dalam hatinya, rasa sakit yang Kuroko tunjukkan sudah berlangsung selama beberapa jam, tapi, tampaknya tidak akan menunjukkan tanda-tanda mereda untuk sejam kedepan.

"Tetsuya, jika kau kesakitan, berteriaklah. Kau bisa menangis, tidak perlu menahannya untukku. Kau tidak perlu khawatir, aku tidak akan berubah kembali menjadi pria pengecut seperti yang kau lihat sebelumnya, kau… tidak apa-apa berteriak, itu akan membuatmu merasa lebih baik." Akashi memeluk Kuroko hati-hati, agar kekasihnya itu tetap nyaman dan tidak merasa kesakitan.

Tangan mereka terjalin dan berusaha saling menguatkan. Di saat-saat seperti ini, mereka berdua menjadi pilar bagi sang pasangan, pilar di mana mereka bisa bersandar untuk mendapat dukungan.

"Tidak ... tidak masalah. Tidak ada... yang menyakitkan. Kau... kau tidak harus mempercayai apa yang dikatakan Chihiro." Kuroko diam-diam mengertakkan gigi, berusaha menahan rasa sakit yang menyerangnya. Sekuat tenaga memaksa untuk mengeluarkan sebuah senyum lembut pada suaminya.

Kuroko meremas tangan kaku Akashi, menawarkan sebuah kenyamanan sebelum berkata, "Seijuurou... Apakah kau tahu? Pada saat ini... Aku tidak memikirkan rasa sakitnya, aku memikirkan hal lain..." dia mengangkat kedua tangan mereka yang terjalin erat dan berkata, "Kau... Ketika kau melihat ini... apa yang kau pikirkan?"

Akashi tetap diam dengan wajah pucat pasi. Setelah waktu yang lama berlalu, Kuroko tiba-tiba tertawa dan berkata, "Kau benar-benar tidak tahu? Benar-benar... benar-benar..." Ia tertawa lagi.

Sebelum Kuroko bisa menyelesaikan ucapannya, Akashi menanamkan ciuman lembut di dahinya dan berkata, "Bagaimana mungkin aku tidak tahu apa yang kau bicarakan. Tetsuya, bagaimana mungkin aku tidak tahu? Aku akan terus memegang tanganmu, dan tumbuh tua bersama denganmu, sampai kematian memisahkan kita… aku tidak akan pernah melepas tangan ini."

Akashi membenamkan kepalanya di leher Kuroko, memeluknya erat. "Tetsuya, kita akan tetap bersama-sama seperti ini, sampai kita berdua menjadi tua. Selama aku hidup, aku tidak akan pernah mengecewakanmu; kau juga... kau juga tidak boleh lupa tentang kesepakatan kita untuk menjadi tua bersama-sama." Ucapnya serak karena menangis.

Kuroko yang awalnya hanya berniat untuk menenangkan Akashi, pada akhirnya ikut meneteskan air mata setelah merasakan lehernya basah karena air mata Akashi. Kuroko merasa dirinya kewalahan dengan emosi yang terus menggerogotinya, tapi tetap saja, dia harus berjuang menahan air matanya sendiri. Dia menarik nafas sejenak lalu tiba-tiba memberi Akashi sebuah ciuman di pipi dan berkata lembut, "Isi hati Tuanku sama dengan isi hatiku, dan kita tidak akan bertemu dengan kekecewaan lagi."

Kuroko selalu pendiam dan mandiri. Lagi dan lagi, dia memasang penghalang terhadap Akashi. Meskipun dia pernah mengakui cintanya pada pria itu, tapi itu karena dia sudah yakin bahwa dirinya akan mati dan karena itu dia membiarkan hatinya mengatakan yang sejujurnya. Tapi hanya waktu itu saja. Setelah waktu yang lama, Kuroko tidak pernah melakukannya lagi. Sekarang Kuroko tiba-tiba mengatakan kata sayang dengan cinta yang sedalam lautan, bagaimana bisa Akashi tidak kewalahan oleh kebaikan yang ditunjukan surga untuknya?

War Prisoner (New Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang