18

2K 220 38
                                    

Dikarenakan Provinsi Kaijou dan beberapa tempat lain mengalami bencana alam, sebagai seorang Kaisar, Akashi Seijuurou mulai disibukkan dengan cara penanggulangan yang tepat dengan para menteri selama beberapa hari terakhir dan mengirim pejabat ke daerah-daerah yang menderita untuk mendistribusikan biji-bijian dan bentuk lain dari bantuan bencana alam. Oleh karena itu, dia tidak punya waktu istirahat walau hanya sebentar selama siang hari. Bahkan ketika malam tiba, Akashi tidak bisa pergi ke Taman Merriment untuk menikmati saat-saat bersama dengan Kuroko Permaisurinya.  

Hari itu berjalan seperti biasa. Diruang pribadinya, Akashi sedang membaca laporan resmi yang dikirimkan salah satu pejabat daerah. Kedua mata dwi warnanya tampak fokus memperhatikan setiap baris huruf yang tertera disana, dalam laporan itu tertulis bahwa bantuan dasar sudah diberikan dan sudah tidak ada lagi kasus orang mati karena kelaparan. Cukup membuat hatinya tenang. Masa sulit telah terlewati.

Tiba-tiba Momoi masuk dengan tergesa. Beberapa kali kakinya tersandung ujung pakaiannya, wajahnya seputih hantu, dan dia bahkan lupa memberikan penghormatan kepada sang Kaisar. Gadis itu terengah-engah, tapi sebelum kata-kata yang tepat bisa dikeluarkan, dua garis air mata mengalir di wajahnya.

Sebelah alis Akashi naik, matanya menatap heran Momoi yang berdiri gemetar dihadapannya. Gadis cantik itu merupakan salah satu dari empat pelayan pribadi yang telah bersamanya selama bertahun-tahun dan mereka semua telah dilatih untuk tetap tenang dalam situasi yang paling kritis sekalipun. Melihat kondisi menyedihkan Momoi, Akashi berpikir sesuatu mungkin telah terjadi. Pikiran pertamanya adalah Kuroko, mengingat tepat setelah pernikahan mereka, dia telah menugaskan Momoi menjadi pelayan pribadi pria yang dicintainya tersebut.

Mungkinkah sesuatu yang buruk telah terjadi Kuroko-nya? Pikiran itu membuat Akashi tidak tenang. Dengan tergesa Akashi bangkit dari kursinya menghampiri Momoi, ia mencengkram pundak gadis itu. "Apa yang terjadi? Kendalikan dirimu, ceritakan semuanya dengan perlahan."

Air mata mengalir seperti hujan dari mata sewarna sakura Momoi, isak tangisnya membuatnya sulit untuk berbicara. Dengan tangan gemetar gadis itu menyerahkan selembar kertas yang telah dicengkeram sejak tadi pada Akashi.

Dengan kecurigaan yang tidak menyenangkan mengisi hatinya, Akashi mengambil kertas itu, sebuah puisi tertulis disana.

A few beats of the night-watch drum 

I am startled awake in the room, the candles have gone out, the dawn is cold

My dreams took me to Inner Mongolia, the sound of horses' hooves still ring in my ear

Autumn has come and the geese are travelling south 

I can no longer find a path back to my home, but my feelings remain 

My wings have been broken, but my spirit is untamed.

My life-long wish 

I have spent my youth pursuing, not realising that my hair has grayed

The sentimental moon still shines upon that destroyed country

An old acquaintance is before my eyes, but upon inspection 

I see that there is no will left in his heart

Looking back at the road, I have travelled

I see that although my clothes have become soiled, the lands remain unchanged.

War Prisoner (New Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang