🄷🄰🄿🄿🅈
🅁🄴🄰🄳🄸🄽🄶Kalau gak ada hukum negara, agama, dan alam mungkin aja, banyak sekali orang yang ingin bunuh diri, karena keadaan terlalu jahat kepadanya.
-Asha Asmita-Senyum Asha tampak di raut wajahnya ketika ia disambut oleh adik laki-lakinya yang berbeda itu, ia memeluk Asha sangat erat dan penuh kasih sayang.
"Eh, aku punya cokelat tau buat kamu. Kamu mau gak? Tunggu, ya aku ambil dulu," seru Asha antusias dan adiknya pun mengangguk bahagia.
Asha mengambil sebatang cokelat dari dalam tasnya lalu memberikan kepada adik laki-lakinya itu.
"Bilang 'makasih' dulu dong sama aku, gimana bilangnya?" kata Asha berharap.
Harapan Asha tak setinggi gedung pencakar langit, ia tahu bahwa adiknya itu tidak bisa berbicara lancar seperti manusia pada umumnya. Ia hanya tersenyum lalu mengajak bertosan dengan adik laki-lakinya itu.
"Naah, gitu dong. Itu namanya Galih udah jadi anak pinter, besok aku bawain cokelat lagi mau?" Asha berujar semangat saat Galih, adiknya itu mengangguk dan mau bertosan dengannya.
'Gue emang bukan Kakak yang baik buat lo, Galih. Tapi, gue bisa pastiin kalau lo bakalan selalu gue lindungi. Gue emang pengen banget ada orang yang bener-bener mencintai gue, tapi gue takut kalau nantinya dia ngelukain elo. Biar gue sendiri sementara waktu, sampai gue menemukan orang yang bisa nerima lo juga dengan tulus.' Asha membatin sedih ketika ia melihat Galih hidup tak bisa merasakan seperti manusia lainnya.
"Kak Asha sini duduk, kita mau ngobrol sama kamu." Laksmi, mama Asha memanggil dari arah ruang keluarga.
Tanpa berpikir panjang, Asha bergegas menghampiri ke dua orang tuanya yang sudah duduk di sofa ruang keluarga. Ia tertegun saat melihat ke dua orang tuanya menatap dirinya dengan tatapan serius, ia menghela napas panjang, sebab ia tahu nantinya mereka akan berbicara apa kepadanya.
"Besok siapin berkas heregistrasi pendaftaran ulang buat kuliah kamu, ya. Papa udah daftarin kamu di Universitas Danadyaksa Bayanaka di prodi informatika," ucap Arsyad, Papa Asha langsung pada intinya seraya memberikan secarik kertas pendaftaran kuliah.
"Papa, tau sendiri, 'kan itu kampus elit di Jakarta? Bayarannya juga gak main-main, Asha gak mau di sana apalagi di prodi yang gak Asha minati. Bukannya Asha udah bilang, kalau Asha bakalan coba di PTN dan di prodi Sastra Indonesia? Bakat Asha tuh gak di prodi pilihan Papa!" bantah Asha bernada kesal.
"Papa juga udah bilang sama kamu, 'kan? Kalau minat kamu itu sekedar hobi aja! Gak perlu dijadiin masa depan, mau jadi apa kamu setelah lulus dari sana? Almet dan nama kampus itu gak bisa dijual buat lamar kerja!" sentak Arsyad tanpa segan melontarkan nada tingginya saat berbicara.
"Gini nih jeleknya, Papa. Gak mau ngedengerin opini dari anaknya, Asha udah nurut buat rawat Galih seumur hidup Asha, tapi kenapa Asha minta mau masuk prodi yang Asha minati malahan gak bisa dituruti? Siapa yang egois hah?" Asha tak mau kalah, ia kembali membantah seraya mengambil tasnya yang ia taruh di atas sofa sebelumnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
STOP, SAY IDIOT! (TAMAT!)
Teen Fiction"Rantai kehidupan setiap orang itu berbeda-beda, jangan selalu merasa bahwa kamu orang yang paling sakit di dunia ini. Dunia belum jahat sama kamu, kalau kamu belum pernah ngerasain rasanya dikucilkan dan dianggap idiot juga oleh orang-orang di luar...