Halaman 10

2K 280 40
                                    

“Bisakah kalian jelaskan ini pada Ibu?”

Baik Sehun maupun Irene sama-sama meringis mendapati sang Ibu yang tiba-tiba datang ke rumah menuntut penjelasan mengapa kabar kehamilan Irene belum sampai di telinga sang Ibu juga Ayah.

Hanya jawaban sederhana, lupa.

“Apa sebegitu tidak berartinya Ibu di mata kalian?”, imbuh wanita yang memiliki hidung serta mata yang mirip dengan yang Irene punya.

Tentunya kalimat memojokkan itu hanya bersifat bercanda. Mendramatisir agar konversasi tampak lebih hidup.

“Maafkan kami, Bu...”, ujar Sehun dengan menggaruk tengkuknya dan tersenyum tidak enak.

Wanita itu semakin menjadi dramanya dengan menyilangkan tangan didepan dada, mengetukkan sebelah kakinya ke lantai berulang kali, “Hanya Sehun? Apa hanya Sehun yang minta maaf?”, sindirnya.

Astaga, apa benar dia itu Ibuku?, batin Irene.

Sedang Sehun masih tersenyum diantara kedua wanita itu.

“Tidakkah orang lain juga merasa bersalah disini?”, sindir wanita itu melirik kearah puterinya sendiri.

“Baiklah-baiklah! Hhh aku lupa untuk memberitahu Ibu soal ini. Kami pikir akan semacam memberi kejutan tapi, kelupaan sampai seterusnya.”, aku Irene lantas kekehannya terdengar di akhir kalimat.

Wanita paruh baya itu selanjutnya hanya memicingkan matanya menatap kedua insan itu bergantian.
“Ibu ampuni kalian kali ini! Awas saja jika nanti kalian berniat menyembunyikan sesuatu lagi dari Ibu!”, ancamnya kemudian kembali duduk.

“Maafkan kami, Bu. Kupastikan itu tidak akan terjadi.”, janji Sehun yang sudah rapi bersiap untuk pergi mengajar.

“Ya sudah. Kau mau berangkat kan? Bergegaslah, biar anak nakal ini bersama Ibu disini!”

Mendengarnya rasanya Irene ingin langsung melayangkan protes. Anak nakal katanya.

Sehun hanya terkekeh sebelum akhirnya pamit. Pria itu mencium tepat pada spasi antara kedua alis milik Irene. Menyalurkan rasa mengasihinya melalui ciuman lembut itu.
“Mungkin aku akan pulang sedikit terlambat. Apa Ibu tidak keberatan menjaga Irene sampai aku pulang? Bisa disini atau bisa Ibu ajak pulang ke rumah Ibu dan Ayah. Aku tidak bisa tenang meninggalkan Irene dan bayi kami sendirian...”, ungkap Sehun begitu saja.

Sedangkan Irene entah bagaimana merasa malu dengan tanda rona pada kedua pipi mulusnya.

“Ah begitu. Baiklah, kau tidak perlu khawatir soal itu...”, balas Ibu.

Setidaknya ketakutannya berkurang dengan kehadiran Ibu yang secara mendadak pagi ini. Sehun merasa lega.
“Kalau begitu aku berangkat!”

Mereka mengantar Sehun sampai di teras rumah. Hingga sepasang tungkai pria itu mendekati mobil namun, tiba-tiba berbalik arah.

“Ada apa? Apa ada yang tertinggal?”, tanya Irene.

Cup.

Rasanya seperti banyak sekali kembang api yang meledak-ledak didalam hati. Menimbulkan letupan-letupan yang tak mampu dideskripsikan hanya dengan sebuah kata. Satu gerakan sederhana yang mampu memacu degup jantung berdetak secara tak normal dan diakhiri perasaan yang hangat. Hangat layaknya belahan bumi yang baru memasuki musim semi.

Sehun, mencium perut yang masih rata itu.

Sekarang kondisi jantung Irene patut dipertanyakan!

𝙏𝙝𝙖𝙣𝙩𝙤𝙥𝙝𝙤𝙗𝙞𝙖Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang