Halaman 14

1.6K 259 38
                                    

Irene memandangi tetes tiap tetes cairan infus yang turun dari kantongnya. Sudah berulang kali helaan nafas terdengar dari mulutnya. Ia sedih, sangat. Tapi, seperti apa kata Ibunya ini sudah musibah. Mau menyalahkan siapapun juga tidak akan pernah membuat keadaan membaik. Yang perlu ia lakukan adalah ikhlas menerima semuanya. Mungkin jabang bayi itu belum menjadi takdirnya dan Sehun. Tuhan pasti akan menggantinya suatu saat nanti.

Bukan cuma ia yang sedih, pun Sehun pasti sama terpukulnya. Dini hari beberapa jam yang lalu cukup membuktikan bahwa Sehun pun juga merasakan hal yang samaㅡpria itu bahkan terisak sembari tak henti menyalahkan diri sendiri.

Sudah cukup!

Jika begini terus ia bukan hanya semakin menenggelamkan dirinya sendiri pada dasar kesedihan tapi, juga turut menyiksa Sehun. Ia harus kembali mengingat betapa sensitifnya pria itu ketika berurusan dengan segala hal yang menyangkut dirinya. Irene tidak ingin phobia Sehun menjadi semakin parah karena ini.

Cklek.

Suara handle pintu yang terputar tak ayal memaksa atensinya untuk beralih fokus. Seorang perawat ternyata datang membawakan makan siang untuknya.

“Selamat siang, Nyonya...”, sapa perawat itu ramah dengan mendorong sebuah rak stainless kecil tempat makanan untuk para pasien.

Senyum itu Irene balas tak kalah ramahnya, “Siang...”

“Waktunya makan siang, Nyonya. Apa anda perlu bantuan untuk menghabiskan makan siang?”, tawar perawat itu setelah memindahkan sepiring nasi, semangkuk sup dan segelas air putih keatas meja nakas.

Irene menggeleng pelan, “Tidak, aku bisa makan sendiri. Eum suster?”

“Ya, Nyonya?”

“Apa kau melihat suamiku? Ah mungkin sedang menunggu diluar?”, tanya Irene sedikit ragu mungkin saja perawat dihadapannya ini tidak tau bagaimana rupa Sehun.

Tampak perawat itu sedikit berpikir, “Ah pria yang menunggu diluar? Ya, saya melihatnya. Pria itu terus melihat kearah pintu tapi, tidak berniat masuk...”

Irene melipat bibirnya kedalam kemudian menggigit bagian bawahnya. Ia tersenyum tipis.
“Bisa tolong suruh dia masuk?”

“Tentu, Nyonya.”

Selang beberapa detik kemudian perawat itu sudah hengkang dari hadapannya, membawa serta makanan-makanan yang belum sempat diantar. Sepasang manik Irene tentunya tak lepas dari pintu. Berharap agar sosok pria tinggi yang ia cintai muncul dari sana.

Bukan Sehun, melainkan perawat tadi kembali masuk tanpa rak makanannya. Membuat Irene menjenjang sebelah alisnya.

“Nyonya, suami anda tidak ada diluar. Padahal tadi saya sangat yakin bahwa suami anda masih duduk menunggu disana...”

“Ah begitu? Mungkin dia sedang ke toilet. Terima kasih suster, tidak apa-apa.”, balas Irene sedikit merasa kecewa.

Perawat itu mengulas senyum untuk yang kepuluhan kalinya, “Sama-sama, Nyonya. Kalau begitu saya permisi...”

Irene mengangguk samar mengijinkan perawat itu undur diri. Sekarang hanya ia yang tersisa di kamar, bersama makan siang yang tak cukup menggugah selera. Yah, memangnya apa yang bisa diharapkan dari makanan rumah sakit? Beruntungnya Irene tak dipaksa untuk memakan bubur, wanita itu sekalipun tak menaruh minat pada makanan lembek seperti itu. Bukannya masuk kedalam kerongkongan dengan mudah yang ada Irene malah muntah.

Cklek.

Kembali telinganya menangkap suara handle pintu yang sengaja diputar dari arah luar. Kedua sudut bibirnya otomatis terangkat naik, pasti Sehun... Pasti Sehun...

𝙏𝙝𝙖𝙣𝙩𝙤𝙥𝙝𝙤𝙗𝙞𝙖Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang