Chapter : 13

9.2K 1K 279
                                    

Malam ini purnama, satu dari sekian fenomena langit yang menakjubkan. Bulan seolah tak malu-malu,cahanya bersinar hingga menembus ganteng-genteng rumah panti yang berlubang. Dibawah sana, Mereka tidur berlima. Siti lalu Anjani, disampingnya Adit kemudian Ibra, Arka memunggungi. Berkutat dengan segala pemikiran, Adit dan Anjani sudah mendengkur halus sedari tadi. Ibra terjaga, Siti seolah diam menyesapi malam.

Sesorean Ibra tak pulang posko, Arka menemani. Pergerakannya dipantau. Kordesnya itu sekarang menjadi bebal, Ibra tak mengerti namun juga tak mau menanggapi. Toh, keberadaan Arka membuatnya bisa menghabiskan waktu lebih lama dengan ketiga adiknya. Ibra tak bisa menetap jika sendirian, bagaimanapun orientasinya Ibra tetaplah Lelaki yang bisa menimbulkan fitnah jika berada bersama seorang gadis semalaman. Dan Ibra tak sebodoh itu!

" Kalian ngga akan pindah " suara Ibra memulai. Sedari tadi, pikirannya berkutat dengan projek laknat itu. Arka tak mau mendengarkan, melihat bagaimana lelaki manis itu meratap sungguh pukulan bagi hatinya.

" Aku baik-baik saja lho kak" Siti mengucap dengan senyum samar. Samar sekali hampir tak terlihat

Ibra mendengus tak suka, dia membalikan tubuh kearah Siti. " Kamu ngga baik-baik saja. Berhenti bilang kamu baik kalau nyatanya engga " kata-katanya sedikit tekanan, Siti serasa dibentak namun dengan cara yang halus.

" Lalu aku harus kudhu ngapain kak? Ini tanah desa. Suatu saat pasti ada gunanya " siti kekeh tak mau membalikan badan, ia setia menatap langit-langit atap disana. " Sejujurnya, Siti takut. Siti takut jauh dari adit dan jani. Mereka berdua satu-satunya keluarga yang siti punya " siti bergetar tak sanggup menahan bendungan tangisnya. Terisak dalam sunyi seperti ini sungguh menyiksa tapi siti harus apa, dia lemah dan satu-satunya yang ia bisa hanya menangis lagi dan lagi.

" Aku udah ngomong sama pak lurah. Dia pasti ngerti dan ngga akan membiarkan kalian pergi. Kamu tenang aja " tekad Ibra.

Ibra masih berlutut, tangisnya pecah. Beberapa saat termangu, Seno menangkap tubuh Ibra untuk dituntunnya berdiri lalu dengan gundah dipeluknya tubuh ringkih itu. Seno merasa sesuatu dihatinya terusik. 'tak tega' Seno tak pernah ikhlas melihat Ibranya menangis, perasaan marah tak rela bila melihat Ibra tersakiti. Meskipun ia tahu dialah salah satu lukanya. Luka yang menghantarkan pria itu pada banyak kesedihan.

" jangan menangis! "

" Aku bakal ngusahain " tutur seno menjanjikan.

Ibra masih menangis sesegukan dalam pelukan Seno. Mahasiswa pendidikan semester akhir itu merasakan sapuan hangat dipunggungnya secara teratur, posisi ini benar-benar membuncahkan rasa nyaman yang teramat. Ia tak mau munafik " Janji? " Tagih Ibra masih dengan nadar suara bergetar.

" Hm " Seno tak tahu tentang masa depan, namun saat dia bilang mengusahakan artinya ia bersungguh-sungguh.

Ibra melepaskan pelukan hangat mereka, ditatapnya mata yang beberapa hari ini ia rindukan. Rasa itu masih menjalar, sengatannya masih sama. Ibra sekuat apapun membenci toh akhirnya kembali luluh juga. seno adalah pikat.

" Nangis terus gini manisnya hilang " Seno menggoda, Hal yang tak pernah ia lakukan lagi beberapa waktu ini dan entah kenapa ia rindukan. Perseteruan diantara mereka selama ini seolah lenyap dibawa angin malam, rasa canggung yang tercipta memberikan jarak seolah menghambur. Seno menemukan Ibra lagi begitupula Ibrapun sama menemukan Seno-nya lagi.

" Jangan mancing! "

Seno terkekeh keberaniannya kembali mengusap surau Ibra. pria itu sadar, Ibra tetaplah Ibra sebelumnya hanya saja keduanya terjebak dalam keadaan yang semakin rumit. Seno pria dewasa, umurnya sudah hampir kepala tiga. Ia tak bisa kekanakan karena sebuah rasa. Harusnya Seno meminta Ibra untuk duduk berdua seperti ini mengutarakan segala hal. Mendiskusikan perasaan mereka yang semakin tak wajar. Menyatukan pemahaman agar tak ada pihak yang merasa tumpang tindih. Rasa sakit keduanya sama, sama-sama dalam.

KKNTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang