"Setelah kau pergi, hutang kami dianggap lunas oleh para rentenir. Tapi desa ini masih tetap dilanda kemiskinan." ujar Tuan Malvin. Ia mengajak Ratu Lalisa untuk berjalan kaki--berkeliling desa Rothenbelle, dan tentunya tetap diikuti oleh Pangeran Jeisson serta para pengawal dibarisan belakang. "Para pedagang dipasar induk hanya mau membayar setengah harga karena kualitas sayuran dan buah yang kami jual masih jauh dibawah produk yang mereka ambil dari desa sebelah."
Ratu Lalisa diam-diam memasang senyum kecut. Apakah ini merupakan sebuah karma? Atau justru Tuhan telah mengutuk desa ini karena para rakyatnya tak memiliki rasa kemanusiaan? Iya, mungkin begitu. Sebab masih banyak hal yang tak diceritakan oleh sang Ratu pada siapapun, termasuk bagaimana cara warga desa ini memerlakukan kaum wanita dari kalangan terbawah.
Tak peduli secantik apapun parasmu, jika kau berasal dari kasta terendah maka jangan berharap kau bisa dihargai dimuka umum, terutama terhadap kaum yang berada diatasmu. Hal itu terbukti saat bagaimana Ratu Lalisa yang membiarkan tubuhnya berbalutkan tanah merah kering, menghirup debu hingga membuat sesak dan tak bisa melawan sama sekali saat ia ditendang berkali-kali karena dituduh sebagai pencuri roti.
Adakah yang bisa menolongnya? Tidak. Jawabannya adalah tidak. Ia bahkan harus berjalan tergopoh, memegangi perutnya yang terasa nyeri sembari menahan rasa sakit hampir disekujur tubuhnya.
Ah.. Mengingat hal itu benar-benar membuatnya ingin menghancurkan desa ini dalam sekejap saja. Sungguh. Dengan menaikkan jumlah pajak, misalnya? Tapi kendati niat jahat itu terus saja berputar didalam kepalanya, ia masih tetap memiliki sedikit hati nurani untuk tidak melakukannya.
"Lalu bagaimana? Apa kalian kembali berhutang kepada para rentenir itu?" tanya sang Ratu. Mereka menghentikan langkah tepat didepan halaman rumah gadis itu. Rumah lamanya, tempat dimana ia dilahirkan dua puluh dua tahun yang lalu.
Tuan Malvin mengangguk. Ia lantas mengambil jarak lebih dekat dan bersuara dengan volume pelan, "Kuharap kau bisa membantu kami, Lalisa. Kami sangat membutuhkan uang untuk membeli makanan dan bibit unggul. Bantuan dana yang disalurkan perbulan tidak cukup untuk kami."
Ratu Lalisa mendengus pelan seraya tersenyum miring. "Aku ini Ratumu. Bisakah kau berbicara sopan padaku, hm? Apa aku harus memerintahkanmu untuk mencium kakiku agar kau sadar bahwa aku ini sudah resmi menjadi istri dari pemimpin negeri ini?"
Tuan Malvin benar-benar terkejut. Perempuan yang berdiri anggun dihadapannya ini bukanlah Lalisa Amora yang dahulu ia kenal. Tak ada lagi gaun lusuh maupun wajah yang ternoda karena tanah merah diladang. Tak ada lagi kepolosan dan juga tundukan kepala patuh. Justru saat ini tuan Malvin yang menunduk hormat, tak lagi berani meski hanya untuk menatap bola mata hazel milik sang Ratu. Ratu Lalisa Cleon lebih tepatnya.
"Maafkan saya, Yang Mulia."
"Baiklah. Aku akan memberikan bantuan untuk kalian."
Ucapan Ratu Lalisa membuat Tuan Malvin berbinar seraya tersenyum cerah. Tapi sayangnya itu tak bertahan lama. Sebab pada detik berikutnya, sang Ratu kembali melanjutkan, "Tapi kau harus bersedia untuk menjadi pelayan di istanaku."
"A-apa?"
"Yaa, kurasa ucapanku sudah cukup jelas, Tuan Malvin." Ratu Lalisa menyilangkan kedua lengannya didada dan menatap pria itu tanpa ragu. "Kau harus berjuang untuk desamu, sama seperti aku yang kau jual untuk membebaskan desa ini dari lilitan hutang."
Ratu Lalisa hanya berpikir betapa beruntungnya ia saat itu, dimana ketika ia dijual dan dipertontonkan dimuka umum--Raja Sebastian menemukannya dan membawanya ke istana. Tapi apakah hal itu juga akan terjadi pada gadis lainnya? Jika kasus perdagangan wanita sampai terjadi lagi, gadis-gadis itu belum tentu akan bernasib sama seperti dirinya. Mungkin saja mereka akan terus-menerus berpakaian terbuka dan terpaksa melayani nafsu bejat para pria diluar sana.
Itu sebabnya ia ingin memberikan bantuan sekaligus sedikit hukuman untuk si kepala desa itu.
Kemudian sang Ratu berjalan melewati Tuan Malvin dan memasuki pekarangan rumahnya, dimana kedua orang tuanya sudah menunggu diambang pintu dengan harap-harap cemas dan raut wajah penuh haru.
"Lalisa..." sang Ibu segera memeluknya. Perempuan paruh baya itu menitikkan air mata, merengkuh putrinya penuh rindu. Tak berbeda jauh dengan ayahnya yang mengusap punggungnya dengan bangga dan memasang senyum haru, seolah anak gadisnya itu baru saja memenangkan sebuah perlombaan.
Lalisa menggigit kecil bibir bagian dalamnya, menahannya agar tidak bergetar sementara bola matanya mulai terasa panas. Ia tahu betul kalau kedua orang tuanya ini memiliki kasih sayang yang sama seperti kebanyakan orang tua pada umumnya. Ia juga mengerti kalau mereka terpaksa harus menjualnya demi memenuhi kebutuhan hidup.
Terkadang hidup ini memang penuh dengan pilihan, bukan? Jadi Ratu Lalisa mencoba memaklumi alasan mengapa mereka tega melepaskannya saat itu.
Namun sebagai manusia biasa, hatinya juga cukup tergores bila mengingat hal tersebut. Pikiran-pikiran negatif terkadang menghampirinya tanpa permisi, mendadak berpikir seperti, 'Mengapa kita tidak mati bertiga saja dari pada harus mengorbankan aku untuk dijual dan terperangkap didalam kandang agar kalian tetap hidup?'
Jadi disana, Ratu Lalisa sama sekali tak mampu untuk memasang senyumnya. Isi kepala dan hatinya memberontak. Amarah dan juga kerinduan itu bergumul menjadi satu. Ia hanya menatap datar hingga sang Ibu melepaskan pelukannya tanpa berniat untuk membalas dekapan itu sama sekali.
"Nak.. Kau cantik sekali.." ujar sang Ibu. Air matanya masih berlinang. Ia membelai pipi putrinya dengan lembut dan hati-hati.
Namun Ratu Lalisa sama sekali tak memberikan respon yang berarti. Ia menurunkan tangan sang Ibu. Tidak kasar, namun seperti tidak ingin disentuh sama sekali. "Aku hanya ingin memastikan kalau kalian berdua baik-baik saja."
Setelahnya, gadis itu kembali berbalik dan berjalan pergi untuk masuk ke dalam kereta kuda. Ia segera memerintahkan rombongannya untuk membawanya kembali ke istana.
Secepat itu? Iya. Ratu Lalisa tak peduli meski harus menempuh perjalanan panjang selama lima jam dan hanya mampir selama kurang lebih dua puluh menit di desa ini. Ia sudah tidak sanggup lagi. Dadanya terasa nyeri. Tempat ini memiliki kenangan indah sekaligus kenangan terburuk selama hidupnya.
Gadis itu memandang lurus, melihat bagaimana dua ekor kuda itu mulai membawanya menjauh dari sana. Air matanya terus mendesak ingin tumpah, namun ia sudah terlanjur berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak menangis lagi. Jadi yang dilakukannya hanya menahan sekuat tenaga sembari melawan rasa sakit yang meremas jantung.
Dibelakang sana, ayah dan ibunya memandang kepergiannya dengan air mata berlinang. Mereka bukan terluka karena sang putri enggan menatap presensi mereka seperti dulu, melainkan karena meski mereka sudah membuatnya tersiksa--gadis itu sama sekali tak menaruh dendam. Hal itu bisa dilihat dari bagaimana sang Ratu yang menitipkan satu kantung emas dan juga beberapa gepok uang melalui James, yang kemudian diberikan kepada mereka secara diam-diam.
Mereka menyesal, menyalahi diri sebesar-besarnya. Sebab meski terlihat dingin dan bengis, Ratu Lalisa tetaplah memiliki hati nurani dan kepedulian yang tinggi untuk kedua orang tuanya.
°°
KAMU SEDANG MEMBACA
Queen of Almeta | lizkook [DINOVELKAN]✔
Fanfic[M] Lalisa Amora sudah hidup menderita sejak ia dilahirkan ke dunia. Terjebak dalam kemiskinan dan lilitan hutang, dikhianati oleh orang terkasih, bahkan dijual untuk dipertontonkan kepada khalayak umum. Namun kau tahu bahwa roda kehidupan akan sela...