“Memahami rumus kimia ternyata susah, kalau memahami perasaanmu, bagaimana ya?”
-Metana Jovanka-
***
"Metana, kamu kerjakan soal ini," teriak Bu Puji membuatku kelabakan dan segera menutup novel yang tadinya kubaca. Sial, aku sendiri heran kenapa Ayah begitu ngotot memberiku nama Metana Jovanka, nama yang diambil dari salah satu gugus hidrokarbon itu membuatku sekarang ketiban sial karena harus mengerjakan soal yang sama. Padahal Ibu lebih setuju aku diberi nama Maulidya Casandra terdengan lebih modern dan berkelas, membayangkan di masa depan dengan nama Casandra aku menjadi model yang berjalan di panggung catwalk, memakai terusan mengkilap dengan belahan sepanjang paha dan menyilaukan kamera serta senyum maut yang membuat semua orang terpesona. Hahaha membayangkannya membuatku tertawa cekikikan sendiri.
"Metana! Ayo maju," teriak Bu Puji lebih keras membuyarkan lamunanku.
"Ngapain lo senyum-senyum sendiri, gila ya," hardik Fajar dengan tak sopannya, menendang kaki kursiku, mentang-mentang tempat duduknya strategis berada di belakangku membuatnya bisa melakukan hal seperti ini.
"Syiriq aja lo," dengusku jengkel. Nauval yang duduk di sebelahnya saja hanya menggeleng-gelengkan kepalanya tak habis pikir. Mungkin terlalu lelah melihat aku dan Fajar yang selalu saja sepeti tikus dan kucing saat bertemu. Aku segera melangkahkan kakiku menuju papan tulis, buru-buru mengambil spidol takut disemprot Bu Puji lagi karena terlalu lelet.
Kenapa diberi nama dengan ada unsur kimia di dalamnya tak membuatku lantas bisa menjawab rantai turunan alkana yang satu ini. Aku merutuki otakku yang mengkerut lebih kecil daripada otak simpanse saat dibutuhkan seperti ini. Tanganku masih menempel di papan tulis, membuat Bu Puji gemas hingga akhirnya bertanya kepada seluruh penghuni kelas yang juga hening.
"Ada yang bisa menjawab pertanyaan ini?"
Nauval mengangkat tangannya tanpa ragu, "empat metil dua butena."
"Terima Kasih Nauval, Metana kamu bisa duduk kembali."
Aku melangkahkan kakiku menuju bangkuku kembali. Merutuki Nauval yang tak memberiku jawaban ketika hendak maju tadi. Tau begitu aku tak akan terlihat bodoh bodoh amat di depan sana.
"Kalian kerjakan soal-soal di halaman 128, kumpulkan di atas meja saya besok." Sambil merapikan bukunya Bu Puji meninggalkan kelas disertai dengan bel istirahat yang berdering. Aku bernapas lega, perutku sudah benar-benar keroncongan menunggu panggilan untuk makan.
Dengan penuh semangat aku mengambil bekal makan yang telah disiapkan ibu dari rumah. "Anjir nasi goreng lagi." Bahuku langsung lunglai seketika, hampir 2 minggu ini aku selalu dibawakan nasi goreng, mati rasa lidahku memakan ini setiap hari. Kuambil sedikit dan kumasukkan ke dalam mulutku secara perlahan, "aduh pedes lagi."
"Kalau gak mau buat gue aja." Tiba-tiba Fajar mengambil bekal makan ku kemudian memakannya dengan santai, aku langsung melotot sebal, bisa-bisanya dia merebut makananku saat kotak bekalnya penuh berisi nugget ayam dan sosis yang terlihat menggiurkan.
"Ih mana siniin."
Tangannya dengan tangkas menghalauku agar tak mengambil nasi gorengnya kembali, "udah buat gue aja."
"Yaudah yang ini buat gue," putusku. Berniat mengambil bekal makananya tapi dengan jahatnya Fajar memukul punggung tanganku pelan.
"Jarr," rengekku yang terdengar menjijikkan. Mau bagaimana lagi aku tak kuat jika harus bertengkar dengan Fajar seperti biasanya di saat perutku kosong seperti ini.
"Yaudah sini Aaa Aaa," ujarnya hendak menyuapiku. Namun, segera kujauhkan kepalaku dengan dahi mengernyit jijik. Dua tahun bersama manusia aneh seperti Fajar tak membuatku lantas mewajari saat dia bertingkah seabsurd ini. Mungkin benar jika dia manusia gila dengan segudang tingkah anehnya yang membuatku jengkel dan mengelus dada. Bahkan, bisa dibilang mendekati psyco karna nampaknya dia begitu menikmati saat di mana aku terlihat menderita. Tapi, tidak dengan hal yang satu ini, tiba-tiba menyuapiku disaat kelas begitu ramai. Bisa-bisa aku viral dalam sekejap mata. Seantero sekolah bahkan nampak terbiasa saat kami berlari-larian di sepanjang koridor mengejar sepatuku yang hendak dibuangnya di belakang sekolah, tempat anjing galak berbulu coklat bernama Fluffy tidur. Sangat aneh jika tiba-tiba Fajar bertingkah manis lalu kemudian kami akur.
Tiba tiba Nauval yang kebetulan duduk disamping Fajar berdiri, "ngapain lo?" tanya Fajar heran.
"Ada panggilan," jawabnya singkat kemudian berlalu begitu saja membawa buku tulis serta bolpoin miliknya. Meninggalkanku yang lelah menghadapi cowok di depanku yang saat ini gila. Sebal rasanya melihatnya yang berlalu begitu saja tanpa berniat menolongku dari kekejaman temannya yang satu ini.
Kalau sudah ketua kelas tak membantuku begini, aku hanya bisa menghadap kembali ke depan, memutuskan untuk membeli makan di kantin dan meninggalkan Fajar yang makan dengan lahap dengan tampang tak berdosa miliknya.
***
"Jar, plis jangan disobek. Itu buku punya sekolah anjir," ujarku setengah berteriak, mati-matian menahan umpatan agar seluruh nama hewan yang ada di kebun binatang tak kuucapkan saat ini. Pria yang memiliki alis seperti ulat bulu dan sialnya cukup tampan ini tak ada habis-habisnya mengerjaiku terus-terusan.
Ia beralih mencoret-coret papan tulis yang telah kubersihkan dengan tanda tangan berukuran gigantis dan gambaran boneka santet yang mengerikan. Aku menatap punggungnya dengan kesal, berharap sekali ini saja mataku bisa mengeluarkan laser yang bisa melubangi punggungnya. Dia memang benar-benar penguasa malapetaka. Rajanya Iblis. Bahkan, status Pangeran Kegelapan rasanya kurang garang untuk dijadikan sebutannya.
Pada akhirnya aku hanya menghela napas lelah, kembali menyapu lantai dan membenarkan tatanan bangku yang juga baru saja diacak-acaknya. Benar kan? Selain Pangeran Kegelapan dia juga seperti Cheetah yang agresif dan mengacak-acak sesuatu. Lagipula kemana larinya petugas piket hari ini? seingatku ada tujuh orang disebutkan pada jadwal, tapi aku hanya menemukan Nauval dan Fajar setelah mengumpulkan buku tugas di ruang guru. Sial, teman-temanku benar-benar setan semua.
"Minggir lo, Val!" bentakku dengan kesal, menganggunya yang asik bermain game di ponsel dengan raut serius.
"Lo kok marah-marah sih," ucapnya dengan dahi berkerut, masih memakan permen susu.
"Lagian lo sih gak mau bantuin."
"Iya nanti elah," jawabnya enteng, kemudian fokus kembali pada game di ponselnya. Aku hanya memutar bola mata malas kemudian melanjutkan kembali menyapu lantai.
Kalau diingat-ingat lagi sebal juga melihat kelakuan Nauval begini. Dia satu-satunya tetanggaku sebelah komplek, kami pernah menghabiskan 2 tahun di kelas yang sama saat SMP, dan sialnya harus satu kelas kembali saat SMA. Aku tak membayangkan bagaimana masa putih abu-abuku akan dihabiskan bersama orang-orang yang suram seperti mereka. Yah, meskipun Nauval tak pernah menggangguku tapi ia tak pernah membantuku saat di sekolah. Benar-benar tak menguntungkan sekali menjadi tetangga.
Aku buru-buru memasukkan kotoran ke tong sampah dan mengambil ranselku dengan cepat, "gue pulang dulu, bye."
"Eh Met, jangan resek lo," teriak Fajar melengking, membuatku tertawa puas. Ia pasti kesal sekarang, mau tak mau ia harus membersihkan papan tulis dan merapikan beberapa bangku yang berantakan. Aku hanya berharap semoga saja ia tak berniat balas dendam padaku besok.
KAMU SEDANG MEMBACA
Vanilla Boy
Teen Fiction"Jangan bilang kalau gue berat," ucapku saat merasakan langkah kakinya berjalan dengan pelan. "Enggak, lo ringan banget kayak kapas," jawabnya enteng membuatku tersenyum. Padahal, aku sudah siap menjitak kepalanya jika ia mengataiku berat. "Trus ken...