Tadinya aku berniat untuk pulang setelah membersihkan wajahku yang merah-merah karena lipstik. Tapi langkahku terhenti saat melihat pintu kamar milik Nauval yang sedikit terbuka, rasa penasaran menuntunku untuk masuk ke dalam. Mungkin saja aku bisa menemukan sesuatu yang bisa untuk difoto dan dikirim ke grub kelas, hahaha!
Tidak seperti kamar cowok kebanyakan. Kamar milik Nauval cukup bersih dan rapi. Terdapat ranjang king size berwarna biru turqoiz dan selimut Navy. Juga bantal berwarna-warni navy yang disampingnya terdapat boneka paling legendarisnya, Ping Ping. Disampingnya terdapat nakas minimalis berwarna cream, juga sebuah rak buku yang cukup banyak isinya. Wajar saja sih Nauval suka membaca, ia termasuk jajaran lima besar dikelas. Ketua kelas pula.
"Ngapain lo?"
"Astaga!" jeritku sambil memegangi dada, terkejut mendapati Nauval yang baru masuk kamarnya dengan wajahnya yang masih terdapat sisa-sisa air yang menetes, "gue cuman liat-liat sumpah," ujarku seraya mengangkat dua jari tangan membentuk peace. Aku hanya takut jika ia berpikir bahwa aku telah lancang masuk ke kamarnya dan mencuri sesuatu.
"Santai aja kali," balasnya sambil terkekeh ringan, melangkah menuju lemari besar yang ternyata menyatu dengan tembok. Mengambil sebuah handuk kecil disana dan digunakannya untuk mengeringkan wajah.
"Sorry gue lancang, gue mau keluar aja deh," ujarku buru-buru kemudian mulai melangkah untuk keluar dari kamarnya. Apalagi sedikit canggung rasanya jika berdua saja di ruangan tertutup tanpa pengawasan. Namun, langkahku terhenti saat melihat sebuah pigura foto yang menggantung di atas meja belajar
Aku mendekati figura tersebut kemudian mengambilnya. Terlihat sebuah cetak beku kami berdua yang sedang memegangi sebuah Clay yang diletakkan disebuah wadah. Wajahku terlihat tersenyum senang di sana sedangkan Nauval setia dengan wajah datar yang menyebalkan. Aku ingat sekarang, itu foto kami berdua saat SMP dulu, kami pernah diberi tugas oleh guru prakarya untuk membuat sesuatu yang bagus dari sabun dan tepung yang dicampur dengan air panas.
"Ini gue sama lo?" Tanyaku tampak tak percaya. Ia bahkan menyimpan foto kami berdua di kamarnya yang bahkan aku sendiri lupa telah berfoto seperti ini.
"Siapa lagi kalau bukan lo," jawabnya ringan. Kudengar langkah kakinya semakin berjalan mendekat kearahku.
"Liat, lo inget gak? Kepala boneka salju lo ini sebenarnya putus kayak hantu jeruk purut. Tapi gue sambung lagi pake tusuk gigi." Ia menunjuk sebuah Clay berbentuk boneka salju berwarna putih dengan tangan dan hidung dari ranting yang kubawa di foto tersebut.
"Gue juga inget, keroppi lo warnanya hijau kebiruan kayak habis ditonjok, hahaha." Aku tertawa ringan melihat mukanya yang masam.
"Kenapa ada di kamar lo?" tanyaku penasaran.
"Bunda yang naro," jawabnya enteng kemudian diletakkannya lagi figura foto tersebut ditempatnya dengan hati-hati.
"Bunda apa lo, nih?" godaku sambil menyenggol lengannya dengan bahu, tak lupa memberikan senyum menyebalkan sambil melihat wajahnya dari samping yang terlihat salah tingkah.
"Bunda beneran, lo mah gak percayaan amat," ucapnya sambil mendorong dahiku jauh-jauh. Ia membalikkan tubuhnya kemudian dengan santai duduk ditepi kasur.
"Santai dong," ucapku sambil tersenyum jahil, mendekatinya. Tanganku dengan jahil mengambil boneka babi pink miliknya, "gue mau bawa pulang Ping-ping ah."
"Heh! Kembaliin gak lo!" kesalnya sambil berusaha mengambil lagi miliknya. Namun, segera kularikan Ping-Ping ke belakang tubuhku
"Mau gue bawa ke sekolah besok," ucapku kemudian memeletkan lidah, segera berlari keluar dari kamarnya.
"Awas aja lo kalo berani," ancamnya kemudian berlari mengikutiku.
Aku sudah sampai di ruang tamu, masih berputar-putar mengelilingi sofa. Kami berdua terus saja berkejaran seperti Tom & Jerry. Namun langkahku yang tak seimbang membuat tulang keringku terantuk meja.
"Aww." Tanganku buru-buru melepaskan Ping-Ping dan terduduk ditengah sofa. Sedangkan Nauval yang buru-buru berlari tersebut akhirnya jatuh kearahku dengan posisi kedua tangannya yang menyangga tubuhnya sendiri sehingga hidung kami berdekatan.
Napasnya berhembus menerpa kulit wajahku, sedang matanya menatapku dalam. Tak dapat ku pungkiri aku selalu saja terjebak dalam kedua retina matanya yang hitam pekat itu. Sesuatu yang membuatku ingin menelusurinya lebih jauh, sehingga membuatku betah untuk berlama-lama menatapnya tanpa berpaling.
"Ngapain lo berdua." Aku hampir saja jantungan saat suara Bang Kevin mengalun di telingaku. Bersamaaan dengan sosoknya yang berdiri di ambang pintu masuk membawa banyak kresek yang kuduga berisi buah-buahan. Di sampingnya Bunda juga tampak sedang mengelus perutnya yang sudah cukup membesar.
Nauval buru-buru menjauhkan wajahnya. Ia terlihat salah tingkah. Tangannya dengan kikuk menggaruk tengkuknya yang tak gatal, sedang wajahnya saat ini berhiaskan warna merah hingga ke telinga.
"Sumpah Bang, kita gak ngapain-ngapain. Nauval jatoh tadi," terangku dengan serius. Alamak jangan sampai kalau calon future salah paham. Apalagi ada Bunda juga yang melihatnya. Bisa-bisa disangka ngapa-ngapain anaknya lagi.
"Iya Bun, Nauval jatuh tadi," katanya pelan meski rona pipinya masih memerah saat ini.
"Yaudah, Nauval kamu bantu Bunda bawa buahnya ini," ucap Bunda kemudian berlalu. Aku merutuki nasibku yang sial dalam hati. Kenapa Nauval pake acara jatoh sih? Kan malu diliatin Bunda sama Bang Kevin kayak begitu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Vanilla Boy
Teen Fiction"Jangan bilang kalau gue berat," ucapku saat merasakan langkah kakinya berjalan dengan pelan. "Enggak, lo ringan banget kayak kapas," jawabnya enteng membuatku tersenyum. Padahal, aku sudah siap menjitak kepalanya jika ia mengataiku berat. "Trus ken...