From: Fajar
Keluar Met, gue lagi ada di depan rumah lo sekarang
Aku mengernyitkan dahiku dalam saat membaca pesan yang dikirimkan fajar 2 menit yang lalu. Aku melirik jam dinding bergambar ice bear yang terletak di atas meja belajar. Pukul 22.45, mau ngapain malam-malam cowok itu kemari?
Aku membuka gorden jendela yang menghadap pada area depan rumah. Sedikit memicing saat mendapati postur tinggi yang sedang mengenakan jaket kulit hitam duduk diatas motor yang biasanya digunakan Fajar untuk berangkat ke sekolah.
Aku mengikat rambutku asal-asalan dan mendumel dalam hati. Mungkin terlihat berantakan, tapi siapa yang peduli? Ia menggangguku yang sedang marathon drama cina yang tersedia di YouTube.
"Ngapain lo kemari?" Tanyaku dengan nada jutek. Ia pun mendongak hingga aku bisa melihat pipinya terdapat sapuan keunguan yang tampak jelas, juga sudut bibirnya sedikit robek mengeluarkan darah.
"Astaga lo kenapa, Jar?" Panikku dan mendekatinya yang masih setia berdiri mematung.
Aku menatapnya yang terlihat berantakan seperti habis berkelahi dengan banyak orang. Astaga cowok ini! Aku sampai tak habis pikir dan kehabisan kata.
Fajar mendekatiku dengan lunglai. Jarak kami semakin dekat. Aku tak tau apa yang akan ia lakukan. Namun, aku masih bergeming di tempat dan tak menghindar.
"Jar, awas aja kalau lo macem-macem gue bakal ter—," kata-kata yang kuucapkan cepat seperti petasan itu terpotong saat Fajar meletakkan kepalanya tepat di bahu kananku.
Aku mengerjapkan mataku berkali-kali, cowok ini gak pingsan kan?
Aku mencekal kedua bahunya yang lunglai, bermaksud mendorong nya karena kupikir ia mabuk dan ingin berbuat macam-macam, "biarin gini aja bentar."
Aku mengurungkan niat mendorongnya saat mendengar nada putus asa dalam suaranya itu, kubiarkan kepalanya diletakkan pada bahuku. Cukup lama membuatku menggigit bibir dan memainkan jemari-jemari kaki.
"Lo gak nyaman ya?" Ia mengangkat kepalanya dan tersenyum meski sudut bibirnya terlihat sulit digerakkan.
"Enggak sih, tapi capek," aduku jujur. Entah karena kepalanya yang benar-benar berat atau karena aku terlalu berdiri lama dan bingung karena tak melakukan apapun.
Ia terkekeh pelan, aku kembali menatap wajahnya dengan sebal, "lo abis berantem ya?"
"Abis sirkus," jawabnya santai dan kembali duduk diatas motor.
"Ih gue serius," kataku sebal dan cemberut. Meskipun ia sering membuatku naik pitam, tapi kuakui aku cukup khawatir melihatnya bonyok seperti ini. Lebih baik melihat Fajar yang biasanya hiperaktif mengerjaiku dibanding melihatnya penuh luka seperti zombie.
"Gue dikeroyok anak Garuda," aku sedikit melongo. Pasalnya setahuku disana adalah sekolah yang sering terjadi tawuran, pasti murid-muridnya kebanyakan berandal dan bermasalah.
"Makanya punya temen jangan nyari yang bandel."
"Lo bandel dong, kan lo temen gue." Ih masih sempat-sempatnya bercanda sih. Apa ia tak memiliki satu teman pun yang lurus? Ah ya ia memiliki Nauval, sang ketua kelas yang pandai.
"Gue serius."
"Jangan serius-serius, entar suka." Aku mengernyit jijik menatapnya yang masih sempat-sempatnya tersenyum jahil. Ini Fajar kepentok apa gimana sih? Kenapa bisa ngelawak garing begini?
Aku curiga kepalanya mendapat pukulan keras dan menjadi amnesia hingga bisa berubah seaneh ini.
"Lo bukan Fajar ya!" Tudingku sambil memicingkan mata kepadanya, menelisik jika sat ini ia kerasukan setan yang biasanya nangkring di pohon asem deket gerbang perumahan.
"Iya gue bukan Fajar, gue pangeran dari kerajaan turki," jawabnya enteng.
Oke fix! Dia masih Fajar. Pedenya selangit.
"Yaudah masuk, gue obatin luka lo," putusku pada akhirnya memasuki halaman diikuti Fajar yang duduk pada salah satu kursi di ruang tamu, "lo diem disini, jangan berisik. Orang rumah pada tidur."
Aku berjalan meninggalkankanya dan mengambil kotak P3K yang berada di dekat dapur. Saat kembali aku melihatnya masih berada pada posisi semula. Bagus! Dia bisa diajak bekerja sama. Aku tak ingin sampai ketahuan oleh Ayah, bisa-bisa aku diberi wejangan tujuh hari tujuh malam tiada henti dan Fajar bakal pulang dengan kepala yang tak lagi utuh.
"Aww," ia memekik pelan saat aku sedikit menekan luka pada sudut bibirnya dengan kapas yang telah diberi alkohol.
Aku melotot padanya, "jangan berisik," desisku pelan.
"Lo neken lukanya keras banget," ia berbisik dan meringis kesakitan.
"Udah tau sakit, masih aja berantem." Aku terus meracau namun tangannku tetap dengan cekatan mengobati lukanya. Lebih cepat lebih baik, jadi Fajar tak perlu berlama-lama disini dan membuatku ketahuan.
"Lo ngomel mulu, malah makin sakit," ia cemberut dan melipat tangannya sebal, uh anak ini! bisa sok imut juga ternyata. Jadi pengen jambakin rambutnya biat makin kesakitan. Hahaha.
"Bodoamat, udah sana lo pulang." Aku mengusirnya sembari merapikan peralatan obat pada kotak P3K.
Ia berdiri dengan enggan dan berjalan menjauhiku, namun belum sampai mencapai pintu ia kembali lagi, membuatku mengernyitkan dahi heran dan menatapnya dengan pandangan bertanya-tanya, "ngapain lo balik lagi?"
"Gue lupa, gue mau minta maaf kejadian kemarin waktu tangan lo jadi berdarah karena hamster, serius gue awalnya bercanda gak nyangka kalau sampai terluka gitu."
"Gue gak mau maafin lo," jawabku seraya memalingkan muka, sebal karena mengingat kejadian tempo hari.
"Gue traktir lo makan dikantin 3 hari."
"2 minggu." Jawabku cepat.
"4 hari."
"Sebulan," jawabku kembali menaikkan jumlah harinya.
"Seminggu."
"Deal," jawabku cepat dan menggenggam tangannya puas. Ia hanya melirikku sinis kemudian mendengus.
"Yaudah sana pulang," usirku sambil bersedekap, "eh seragam lo belum gue cuci, gua balikin senin."
"Udah santai, gue balik dulu."
"Jangan ngebut lo, entar nyusahin gue lagi," aku mengucapkannya pelan di bibir pintu membuatnya monoyorku pelan dan kubalas dengan kekehan ringan.
Aku menatap motornya yang semakin lama semakin menjauhi halaman rumah. Aku menutup pintu pelan kemudian berbalik.
"Astaga Dek, lo buat gue jantungan." Aku mengelus dadaku pelan karena melihat Rendi yang tiba-tiba berdiri dengan senyum jahil yang menghiasi sudut-sudut bibirnya.
"Pacar lo ya? Gue bilangin Mama lo entar."
"Apaan sih, kecil-kecil udah tau pacaran, sana tidur lo." Aku berlalu dan meninggalkannya yang mengekoriku sambil terus melontarkan kalimat yang membuatku geram.
"Ganteh tuh, tapi masih cakepan Kak Nauval sih."
Kanapa jadi banding-bandingin Fajar sama Nauval sih.
"Iya mereka pada cakep, lo aja yang jelek," jawabku kejam dan menutup pintu kamar tepat di depan wajahnya. Aku yakin ia pasti sudah jengkel sendiri diluar.
***
Makin kesini kok aku makin prefer sama Fajar-Metana ya. Hahaha.
KAMU SEDANG MEMBACA
Vanilla Boy
Teen Fiction"Jangan bilang kalau gue berat," ucapku saat merasakan langkah kakinya berjalan dengan pelan. "Enggak, lo ringan banget kayak kapas," jawabnya enteng membuatku tersenyum. Padahal, aku sudah siap menjitak kepalanya jika ia mengataiku berat. "Trus ken...