Aku mengerjapkan mataku pelan. Merasakan cahaya temaram yang menyapa retina mata membuatku sedikit mengernyitkan dahi tak nyaman. Mataku menatap sekeliling. Aku masih berada di mobil milik Nauval saat ini. Kutolehkan kepalaku menatap liar kaca jendela, gelap. Sepertinya sudah malam. Kami berada tak jauh dari garasi rumahku sekarang
"Kenapa lo gak bangunin gue?" tanyaku tiba-tiba membuat Nauval yang tadinya menatap ponsel sedikit terkejut kemudian melihatku.
"Lo keliatan pules banget gak tega gue banguninnya. Pasti capek banget ya." Ia menatapku dengan pandangan teduh.
"Iya sih, tapi gue seneng thanks ya," ucapku seraya menurunkan jaket miliknya yang tersampir di depan bahuku tadi kemudian menyerahkan pada Nauval kembali.
"Gue juga seneng bisa jalan sama lo," jawabnya pelan namun masih dapat kudengar di dalam mobil yang saat ini sunyi tanpa suara.
"Oke kalau gitu, gue balik dulu ya," ucapku menampilkan senyum tulus, tanganku sudah bersiap keluar dan memegang pintu mobil. Namun, ia tiba-tiba memegang pergelangan tanganku membuat gerakanku terhenti dan menatapnya seraya mengerutkan kening.
"Gue sebenernya mau...," ia terlihat sedikit gugup dan menggaruk tengkuknya membuatku semakin mengerutkan kening karna ia tak kunjung bicara, "gue jemput besok berangkat sekolah."
"Gitu dong, gue kan jadi hemat ongkos," jawabku seraya tersenyum lebar dan menepuk bahunya cukup keras. Akhirnya setelah pergantian milenia yang cukup lama Nauval dapat terketuk hatinya untuk dapat memberikan tumpangan kepada tetangganya satu ini. Syukur-syukur jika ia mau memberiku tumpangan sampai kami berdua lulus sekolah nanti. Hahaha
"Oke gue masuk dulu ya, jangan lupa besok jemput gue oke?" ucapku cepat segera keluar dari mobil Nauval membiarkan ia yang menghembuskan napas dan mengacak-acak rambutnya.
***
Crap
Bola oranye itu kembali memasuki ring dan jatuh mulus tanpa celah. Membuat seseorang yang melemparnya mendapat 3 point langsung. Aku menatap Nauval yang kembali fokus berusaha merebut bola dari lawan. Hampir 2 mingguan ini aku selalu berangkat dan pulang bareng Nauval plus menunggunya yang sekarang harus latihan intensif basket karena sebulan lagi ia harus menghadapi pertandingan skala besar. Ralat, lebih tepatnya aku hampir menjadi asisten pribadinya.
Hampir selama menunggunya aku seperti ibu-ibu yang sedang menunggui anaknya bermain bersama teman-temannya di taman. Yang kulakukan seperti memberinya minum, menyiapkan handuk hingga mengingatkannya untuk makan dan minum vitamin di sekolah karena ia sangatlah pelupa, ditambah lagi Tante Ranti yang menyuruhnya. Jadilah aku asisten pribadi Nauval yang dibayar dengan antar jemput. Mirisnya nasib ku ini. Seandainya saja aku punya cowok, aku pasti akan menghabiskan waktu berdua dengannya keliling mall yang adem daripada harus duduk terus-terusan disini dengan sinar matahari yang sesekali menyapa kulitku
Ditambah, suara bising dari kumpulan anak cherrleader berpakaian seksi itu semakin membuatku benar-benar merasa jomblo yang sendirian disini.
"Lagi nungguin Nauval?" Sebuah suara mengejutkanku dari lamunan. Aku menoleh ke sumber suara dan menemukan Fajar yang berdiri dengan ransel yang disampirkan pada salah satu bahunya. Dasinya sudah tak lagi berbentuk dan seragamnya dikeluarkan tak rapi.
"Iya nih belum pulang lo?" tanyaku kembali. Ia berjalan mendekatiku dan duduk disamping kananku.
"Lagi ada urusan."
"Urusan apa? Berantem? Muka lo kisut gitu," jawabku yang dibalasnya dengan senyum tipis.
Emang ya! Cowok satu ini kerjaannya berantem mulu, padahal muka nya sudah berkali-kali bonyok tapi ia tak jera."Lo sama Nauval makin akrab ya," celetuknya tiba-tiba membuat kepalaku otomatis menoleh dan menatapnya bingung.
"Gimana-gimana?"
"Yah, lo makin akrab. Kemana-mana berdua padahal dulu dia cuek banget sama lo," jelasnya yang membuatku seketika paham. Memang sih, mungkin di mata orang lain hubunganku dan Nauval cukup baik, kami cukup sering menghabiskan waktu berdua kemana-mana.
"Yah syukur deh gak ada yang sinis lagi sama gue," kataku menatap kembali lapangan basket dan tersenyum tipis.
"Gue jadi gak ada celah buat gangguin lo lagi." Ia menatapku dengan senyum jahil yang seketika membuatku memberenggut.
"Yah, rese lo." Aku sedikit menarik rambutnya pelan membuatnya tertawa. "Kalau itu mah syukur. Hidup gue jadi tentram sekarang."
"Emang gue ganggu banget ya?" Ia menatapku seolah tanpa salah.
"Bangettt," jawabku mantap. Berusaha meyakinkan bahwa aku benar-benar tersiksa hingga gemas sendiri
"Hahaha, gak papa dong. Biar lo kepikiran gue terus. Sekarang pasti kangen kan lo gak gue kerjain lagi?" Ia tersenyum Jahil.
"Geer banget lo," jawabku dan mendorong bahunya sedikit kesal. Pandanganku kembali menatap lapangan basket. Aku melihat Nauval yang tengah berdiri sambil menatapku lurus dengan pandangan yang tak terbaca.
Kenapa dia liatin gue gtu? Batin ku bertanya-tanya.
Sudah pukul setengah lima sore. aku dan Fajar masih terus berbincang-bincang untuk membunuh waktu. Sampai-sampai tak sadar Permainan telah usai. Nauval menghampiri kemi berdua dengan peluh yang membanjiri tubuhnya hingga jerseynya basah seperti terkena hujan.
"Nih." Aku mengganggsurkan sebuah botol minum yang segelnya telah terbuka, ia menerimanya tanpa banyak kata dengan raut wajah datar. Tidak biasanya Nauval begini, selelah apapun biasanya ia datang padaku dengan senyum dan mengacak rambutku hingga berantakan.
"Ayo cabut." Ia mengucapkannya tanpa ekspresi dan mengambil tas yang berada di pangkuanku kemudian berlalu begitu saja, membuat dahiku memgernyit semakin dalam.
"Yaudah Jar, gue balik dulu ya." Aku berlari mengejar Nauval yang berjalan dengan langkahnya yang lebar. Sepertinya moodnya hari ini benar-benar buruk, mungkin ada masalah mengenai pertandingan basketnya. Tapi setahuku mainnya cukup baik tadi, ia berkali-kali mencetak poin dan bermain lebih terampil daripada saat awal pertama aku melihatnya.
Aku membuka pintu mobil dan masuk kedalam, Nauval sudah duduk rapi dan menyalakan mobil tanpa suara. Alisnya menyatu dengan dahi berkerut seperti menahan amarah, "lo ada masalah?" tanyaku sambil menyentuh lengannya pelan, namum ia malah mengelak dan membiarkan pertanyaan ku menggantung begitu saja.
Sepanjang perjalanan jadilah kami berdua diam. Tidak ada yang memulai percakapan, aku pun tak berniat membuka obrolan saat responnya saja tadi begitu saat kusentuh. Mungkin ia membutuhkan waktu sendiri, sesuatu hal yang memang seharusnya tak bisa kucampuri. Perjalanan terasa sangat lama karena kami berdua sibuk dengan pikiran masing-masing. Padahal biasanya kami berdua saling mengobrol, melontar candaan dan terkadang menyanyi lagu milik cosplay bersama. Tapi ia begitu dingin dan tak tersentuh.
Sampai di depan teras rumahku, Nauval pun masih bergeming, "makasi Val." ucapanku menggantung begitu saja saat Nauval melajukan kendaraannya dengan cepat meninggalkan pelataran rumahku. Membuatku semakin bertanya-tanya. Apakah aku melakukan kesalahan terhadapnya?
***
Heyyo, masih ada yang nungguin cerita ini gak ya?
KAMU SEDANG MEMBACA
Vanilla Boy
Teen Fiction"Jangan bilang kalau gue berat," ucapku saat merasakan langkah kakinya berjalan dengan pelan. "Enggak, lo ringan banget kayak kapas," jawabnya enteng membuatku tersenyum. Padahal, aku sudah siap menjitak kepalanya jika ia mengataiku berat. "Trus ken...