[ 28 ] Nightmare

48 9 3
                                    

Dalam hidup aku belum pernah menjumpai banyak menusia jahat yang ada di sekolah ini. Kecuali Si Medusa, yang bahkan namanya saja aku telah lupa sekarang. Hingga aku mengalaminya sendiri hari ini.

Mungkin memang aku tak pernah peduli dengan kebanyakan orang di luaran. Atau mungkin juga karena aku terlalu sibuk berjelajah di dunia film tempat cowok-cowok tampan dengan kisah pelik dan drama tangis. Sampai aku tak sadar bahwa bumi ini ternyata sangat mengerikan. Berisi manusia lebih jahat daripada penyihir pipiyot dalam cerita nirmala yang dulu pernah kubaca di majalah saat masih duduk di bangku sekolah dasar.

Lima belas menit yang lalu aku masih tertawa riang bersama Rere dan Davit. Seperti biasa, menyantap menu nasi kuning spesial dari mama dengan lahap. Bahkan, aku sempat berkomplot dengan David untuk saling menertawakan Rere yang sekarang terlihat sangat akrab dengan Aldo, terbukti saat aku diam-diam bertemu keduanya nonton di Grand Indonesia.

Sampai tiba-tiba seorang cowok yang kuketahui bernama Felix datang menghampiri meja kami dengan senyun mautnya. Dia memang sangat terkenal di sekolah ini, siapa yang tak tahu preman sekolah yang seringkali bolos dan menjadi langganan guru BP. Belum lagi baru-baru ini ia terlibat ikut balapan liar dan sering pergi ke diskotik. Pergaulannya juga tak kalah sangar. Biasanya ia terlihat bersama Alvin, Sang Pemain Perempuan. Makanya para pecun-pecun sekolah terlihat mengelilinginya, membentuk geng yang ditakuti banyak orang di sekolah ini.

Aku mengernyit tatkala ia meletakkan kedua tangan di atas meja. menampilkan senyum yang membuat perasaanku tiba-tiba tak enak karena tatapan matanya menghujamku dengan aneh.

Ini kali pertama aku melihatnya dari dekat. Mencari gara-gara dengan preman sekolah adalah hal terakhir yang akan kulakukan untuk menguji adrenalin. Rambutnya cukup panjang hampir menyentuh tengkuk. Bibirnya sedikit menghitam. Tak kaget sih, Ia memang terlihat merokok terang-terangan di pojok lapangan sepak bola. Telinganya berhiaskan anting bulat. Terdapat banyak bekas luka baik yang baru maupun yang lama tersebar di sepanjang pelipis dan hidungnya. Benar-benar figur yang mencerminkan definisi preman sekolah.

“Thanks ya sayang buat tadi malem,” ujarnya langsung. Menatapku dengan senyum manis dan kubalas dengan kenyitan dahi yang cukup dalam.

Bentar,

Apa ia salah orang kali ini?

“Sorry, maksud lo ... apa ya?” tanyaku tak paham. Menatapnya meminta penjelasan. Suaraku masih setenang telaga tanpa riak. Meskipun ia menatapku secara terang-terangan dan yakin. Aku berpikir mungkin ia sedang melantur atau efek mabuk karena alkohol.

“Lo gitu ya, kalau di sekolah malu-malu,” balasnya terkekeh ringan. Menjauhkan sedikit tubuhnya dan menatapku dengan senyum miring, “tadi malem aja ganas banget.”

“Sorry, gue bener-bener gak paham maksud lo apaan?” tanyaku sambil meringis. Aku mencoba berdiri dari tempatku duduk dan menatapnya meminta penjelasan.

“Lo amnesia?” tanyanya balik. Dengan lancang menderatkan punggung tangannya di dahiku yang langsung kutepis kasar tanpa ragu.

Felix menoleh dan membuat seringaian tipis dengan bibir bawah yang digigit. Tangannya dimasukkan kedalam saku celana sekolah. Aku semakin mengernyit saat melihat sapu tangan milikku yang tengah berada di genggamannya saat ini.

Buru-buru aku menarik sapu tangan bermotif ikan paus itu dengan cepat. “Ini punya gue. Kenapa bisa ada di lo?”

“Lo kan yang ninggalin ini tadi malem di hotel. Buru-buru sih pulangnya," ujarnya seraya terkekeh. Sengaja mendekatkan bibirnya ke telingaku dan berbisik, “takut ketahuan ya?”

Aku semakin melongo tak habis pikir setelah ia menjauhkan wajahnya. Hotel?

Rere yang sedari tadi diam akhirnya maju selangkah dan mendekatiku dengan tatapan menuntut penjelasan. “Lo tidur sama dia di hotel?”

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 04, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Vanilla BoyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang