Aku menatap langit-langit kamarku dengan pandangan kosong. Pikiranku masih penuh dengan Nauval, Nauval dan Nuaval. Rasanya tak rela jika kami harus kembali seperti dulu. Apa aku benar-benar semembosankan itu?
Atau
Ia marah karena aku tak menemaninya latihan basket seperti biasa?
Huh, kepalaku benar-benar pusing memikirkan titik temu dari masalah ini. Saat nonton tadi aku benar-benar dibuat resah dan tak nyaman karena pikiranku melalang buana kemana-mana. Nauval benar-benar berhasil membuat atensi orang orang yang berada di sekitarku teralihkan. Juga sosoknya yang tiba-tiba saja menjadi dominasi dan mencuri setiap perhatian.
Aku menghembuskan napas keras. Jika seperti ini aku tak akan bisa tidur sampai pagi. Dan berakhir dengan mata panda dan kantung sebesar kantung semar yang membuatku terlihat menyedihkan dan frustasi.
Aku mengambil cardigan tipis berwarna baby pink yang biasanya selalu kupakai jika ingin keluar dekat-dekat komplek rumah ini. Aku memutuskan untuk turun kebawah dan menemukan Mama yang sedang menonton televisi bersama Papa yang terlihat lelah sehabis pulang bekerja.
"Ma, ada yang perlu dianterin ke rumah Tante Ranti gak?" tanyaku sedikit ragu. Mama terlihat berpikir sejenak.
"Gak ada."
Aku menggaruk tengkukku bingung dan sedikit kikuk, kenapa disaat dibutuhkan seperti ini Mama malah tak mempermudah jalanku, "salad buah, cake atau apa gitu."
"Gak ada metana, kamu kenapa sih?" tanya Mama sembari manaikkan alisnya membuatku terdiam dan bingung harus menjawabnya seperti apa.
"Gak papa, Metana keluar bentar." Aku berjalan menjauhi kedua orang tuaku.
"Jangen malem-malem , Nak," teriak papa yang kubalas "ya" dengan malas.
Angin malam menerpa kulitku saat aku keluar dari rumah. Seperti biasa, komplek perumahanku memang selalu sepi dan sedikit seram. Tapi aku tak peduli, aku berjalan memutari tikungan jalan agar sampai di rumah Nauval.
Yah, aku memustuskan untuk meminta maaf saja meskipun aku belum tau pasti apa yang sedang terjadi saat ini. Tapi setidaknya ini lebih baik daripada harus dihantui rasa penasaran yang mencekikku semakin dalam.
Semakin mendekati rumahnya langkahku semakin ragu, aku belum mempersiapkan sesuatu yang bisa kukatakan di depannya. Tiba-tiba nyaliku ciut dan ingin kembali untuk pulang saja, toh mungkin Nauval sedang tidur atau belajar dan tak ingin diganggu. Namun, lagi-lagi aku dibuat dilema. Perasaan tak tenang membuatku kembali melangkahkan kaki menuju rumahnya. Tidak tau apa hasilnya nanti, setidaknya rasa penasaranku terpuaskan. Pikirku berusaha meyakinkan diri.
Langkahku kian mantap hingga sampai di depan rumahnya. Namun, dahiku mengeryit saat melihat Nauval yang tampak asik berbincang dengan perempuan yang sudah tak asing lagi kulihat
Untuk apa Lusi kemari? Batinku bertanya-tanya.
Bahkan penampilannya tidak seperti biasanya. Ia terlihat mengenakan Pouf dress tanpa lengan berwarna putih dengan aksen bunga sakura. Memperlihatkan paha mulusnya yang semakin terlihat apalagi sat ia duduk menyamping dan menumpukan salah satu kakinya pada kakinya yang lain. Ia juga sedikit berdandan dengan wajahnya yang dipoles make up tipis dan rambut yang dibiarkan tergerai.
Belum sempat berpikir terlalu lama. Kehadiranku sepertinya mulai disadari oleh kedua orang itu yang membuat perbincangan mereka terhenti. Nauval menatapku dengan aura permusuhan yang kental, padahal ia terlihat tak semarah itu siang tadi. Lusi tersenyum cerah dan kubalas dengan senyum yang kupaksakan untuk tersungging.
"Eh metana."
"Hai Lus, tumben lo kesini?" tembakku langsung tanpa basa-basi. Menanyakan apa yang sedari tadi bersarang dalam pikiranku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Vanilla Boy
Teen Fiction"Jangan bilang kalau gue berat," ucapku saat merasakan langkah kakinya berjalan dengan pelan. "Enggak, lo ringan banget kayak kapas," jawabnya enteng membuatku tersenyum. Padahal, aku sudah siap menjitak kepalanya jika ia mengataiku berat. "Trus ken...