Aku merapikan peralatan tulisku di meja yang sangat berantakan, memang Fisika rajanya sang pembuat angin topan yang bisa melululantahkan duniaku. Aku memijat kepalaku pelan, rasanya berdenyut-denyut membuatku ingin tidur saja. Ditambahkan lagi masih ada jam pelajaran Matematika yang harus kulalui sebelum istirahat berbunyi. Perutku sudah kruyuk-kruyuk meminta jatah makan sedari tadi tapi aku hanya bisa menahannya dengan minum banyak air putih hingga setengah botol.Lusi tidak masuk hari ini, katanya diare. Membuatku bertambah kesulitan untuk mengerjakan soal-soal. Nauval yang sedari tadi kumintai jawaban soal pun hanya melengos, dasar pelit! Jadilah aku mengandalkan soal sulit pada google secara diam-diam yang entah jawabannya benar atau salah.
Saat asik-asiknya memijat kepala aku melihat teman kelasku Didit yang berdiri disampingku dengan gugup sambil memilin tangannya. Ia terlihat ingin mengatakan sesuatu tapi ditahan-tahan seperti orang menahan pup.
"Ngapain, Dit?" Tanyaku. Mungkin ia memiliki masalah yang bisa kubantu. Pasalnya Didit ini termasuk orang yang cukup pendiam di kelas, ia memang berkaca mata dengan rambut rapi yang diberi gel rambut. Tap serius, dia gak nerd kok. Didit ini sekretaris dikelas, dia humble dan terkadang tegas disaat yang diperlukan.
"Nghh...ngh anu gue," ia terlihat menggaruk kepalanya bingung membuatku semakin penasaran, gue mau—,"
"Lo mending duduk dulu deh," potong ku menyuruhnya duduk dibangku sebelahku yang kosong. Lagian capek juga mendengar apa yang ia ucapkan dengan mendongak secara lama, leherku bisa bisa sakit.
Didit berniat menuruti perintahku, dengan patuh ia beranjak untuk duduk di kursi sebelahku yang kosong. Namun, kalah cepat dengan Nauval yang tiba-tiba menyerobotnya seperti angin, "lo katanya mau ngomong sama gue." Potong Nauval.
"Nah, mumpung lo disini, gue mau ngomong. Bentar." Aku mengalihkan perhatianku pada Didit yang masih setia berdiri dengan kikuk, "lo ngomong dulu deh Dit mau ngapain?"
"Ngh... gak jadi deh nanti aja," jawabnya cepat kemudian berlalu. Aku jadi penasaran apa yang ia ingin bicarakan.
Nauval disebelahku malah tersenyum miring dengan santainya, "maksud lo apa kemarin?" tembakku langsung membuat perhatiannya teralihkan padaku.
"Kemarin apa sih?" Ih bisa-bisanya dia pura-pura gak ngerti.
"Maksud lo apa bikin snap muka gue?" tanyaku pelan, sedikit mengecilkan volume suara.
"Oh yang itu," ia merubah posisi duduknya menjadi menghadap ke depan, "muka lo konyol sih, elah buat iseng-iseng aja."
"Iseng-iseng pala lo peyang," aku menimpuk kepalanya dengan buku paket matematika yang sedikit tebal, membuatnya mengaduh kesakitan, "lo gak inget gimana kelakuan fans-fans lo yang bar bar itu. Sekarang direct mesaages gue banyak hujatan, jadi males gue buka Instagram," punkasku kemudian menghempaskan punggungku pada bangku, bersedekap sambil cemberut.
"Yaelah kan bercanda, Jop," ucapnya santai sambil menjawil hidungku yang segera kutepis kasar
"Awas aja lo! Gue bawa boneka Ping Ping lo kesekolah," desisku kemudian berjalan keluar kelas. Pelajaran Matematika sepertinya kosong hari ini, jadi kuputuskan untuk pergi ke kantin karena bosan dengan bekal yang lagi-lagi nasi goreng.
Setelah keluar toilet untuk buang pipis yang sedari tadi kutahan-kutahan aku segera melarikan langkahku menuju kantin. Bel istirahat baru saja berbunyi, tapi sudah banyak orang yang sudah menempati setiap stand-stand makanan.
Aku memilih untuk membeli gado-gado, stand nya cukup sepi, membuatku tak perlu saling menyikut dan berebut untuk antri.
Setelah mendapatkan sepiring gado-gado dengan ekstra kerupuk dam es teh manis aku duduk disebuah meja yang untungnya masih kosong.
Aku merasakan cairan dingin mengalir di kerongkonganku dengan lancar, terasa segar hingga membuat kepalaku yang tadinya penuh terang plong sekarang. Apalagi rasa manis seperti memanjakan lidahku yang tadinya telah mendengar omongan pahit Nauval.
Itu bukan sih pacarnya Nauval?
Oh jadi itu pacarnya Nauval, biasa banget sih cantikan gue kemana-mana.
Idih, mabok kali ya Nauval bisa suka sama cewek kayak gitu.
Pasti ceweknya nih yang ganjen
Bisik-bisik yang hampir menyerupai teriakan itu terdengar sangat mengganggu di telingaku. Rasa-rasanya aku ingin menyiram kepala mereka dengan es teh yang dingin ini. Tapi itu akan terlihat sangat konyol, jadi yang kulakukan hanya bisa bersabar dan mencoba menulikan telinga dari omongan mereka yang semakin lama-semakin berdengung seperti lebah.
Meskipun kehilangan selera, nasib perutku masih meronta-ronta sedari tadi. Jadi, kupuskan untuk melanjutkan melahap gado-gado, merasakan sebuah bumbu kacang yang halus dan dipadukan dengan lontong yang empuk.
"Met, boleh gue duduk disini?" Aku mendongak menemukan Didit yang membawa nampan berisi semangkuk bakso dan jus jeruk yang terlihat menyegarkan.
"Boleh, duduk aja," jawabku santai. Ia kemudian mengucapkan terima kasih dan duduk pada kursi kosong didepan mejaku. Kedua tanganku sibuk mengaduk bakso dengan saos.
"Lo tadi mau nanya apa?" tanyaku mengintrupsikan kegiatannya yang akan meminum jus jeruk. Ia kemudian menatap ku lurus, meletakkan kembali gelas miliknya dan berdehem singkat
"Sebenarnya gue mau minta tolong," ucapnya pada akhirnya. Suaranya sedikit dipelankan dengan kepala yang menoleh ke kanan dan ke kiri.
"Minta tolong?" Beoku seraya mengangkat satu alis dan mendekatkan wajah
"Pacar gue dari Palembang minggu depan mau kesini."
"Lo punya pacar?" Pekikku antusias. Aku baru tahu orang yang tiap hari doyan baca buku ternyata bisa pacaran juga, hahaha.
"Sttt, jangan keras-keras gue malu," ujarnya dengan telunjuk yang mengarah pada bibir menyuruhku untuk tak bersuara keras-keras.
"Oke oke, trus?" Tanyaku yang masih penasaran.
"Gue mau kasih dia hadiah, tapi gue bingung. Gue gak ngerti soal cewek. Kita pacaran aja LDR-an," jelas sambil menunduk malu, "lo bisa bantuin gue kan?"
"Oke Lo tenang aja, gue bakal bantuin lo kita ketemu besok di GI," putusku, menghempaskan punggung pada kursi dan tersenyum puas.
"Thanks ya Met."
"Udah santai aja," jawabku dengan mengibaskan tangan, kemudian melanjutkan untuk memakan gado-gado yang tinggal setengah. Begitu pula dengan Didit yang memakan baksonya tanpa suara.
"Btw Nauval suka sama lo ya?
"Uhuk...uhuk," Sialan aku tersedak sampai-sampai rasanya susah bernapas, wajahku mungkin saja merah sekarang. Lagian Didit kenapa melontarkan pertanyaan yang ngaco begitu sih? Aneh-aneh aja, "enggaklah, yakali Dit."
"Dia liaten lo terus sekarang, kayak pengen nelen gue idup-idup." Didit mengucapkannya santai sambil memakan lagi baksonya. Aku menoleh kebelakang menemukan Nauval yang tak berjarak jauh dari tempatku duduk Sekarang, ia menatapku tajam dengan susu kotak rasa vanilla ditangannya. Tubuhku tiba-tiba jadi merinding dibuatnya, tatapannya benar-benar seperti ingin mengulitiku hidup-hidup padahal aku yakin 100% aku tak pernah membuat Masalah dengannya, justru ia yang mendatangkan bencana.
"Gue balik dulu deh, Dit," pamitku kemudian ngacir menjahui kantin yang auranya tiba-tiba berubah jadi seram.
KAMU SEDANG MEMBACA
Vanilla Boy
Teen Fiction"Jangan bilang kalau gue berat," ucapku saat merasakan langkah kakinya berjalan dengan pelan. "Enggak, lo ringan banget kayak kapas," jawabnya enteng membuatku tersenyum. Padahal, aku sudah siap menjitak kepalanya jika ia mengataiku berat. "Trus ken...