Mungkin benar aku berbuat salah. Hari ini aku tak bisa pulang bersama Nauval karena David dan Rere ingin mengajakku menonton film terbaru bergenre horor. Lagipula masih begitu canggung kemarin, aku tak bisa semobil dengannya dalam keadaan ia yang seperti itu, membuatku merasa bersalah dan bingung memberikan respon.
"Lo pergi nonton sama siapa aja?" tanyanya setelah bell istirahat telah berdering. Kelas cukup sepi karena kebanyakan teman-teman kelas pergi ke kantin.
"David, Rere trus Fajar katanya mau ikut tapi gak tau lagi sih," jawabku setengah tak yakin. Sumpah aku melihat dengan jelas perubahan raut wajahnya yang tiba-tiba keruh setelah aku menyebutkan nama Fajar. Sebenarnya ada masalah apa sih dua orang ini?
Nauval tampak menghela napasnya dengan berat, takut-takut aku menatapnya, ia seperti tokoh dalam film-film yang menahan amarah dan siap untuk diledakkan begitu saja jika seseorang membuatnya terusik.
"Lo gak ngajak gue?"
"Kan lo latihan, habis ini ada pertandingan," jawabku mengingatkannya jika saja ia lupa. Lagipula ini hanya nonton film. Hellow! Aku, David dan Rere sudah jarang sekali Quality time semenjak semakin lengket dengan Nauval. Lagipula ia tak perlu kemana-mana mengikutiku kan, yah meskipun beberapa hari ini kami selalu kemana-mana berdua bukan berarti kami harus menjadi surat dan pranko yang terus-terusan menempel.
"Lo bisa gak Jop, gak ikut mereka dan nemenin gue aja latihan hari ini?" pintanya menatapku lurus. Ada harap dibalik matanya yang kelam itu. Tapi justru permintaan tersebut membuatku semakin tak mengerti, kenapa?
"Maksud lo?" tanyaku, mematikan. Otakku benar-benar tak bisa mencerna kalimat yang baru saja diucapkannya dengan egois. Kenapa sekarang ia membatasiku dengan orang lain.
"Lupain," jawabnya kemudian berdiri dan meninggalkanku sendirian yang terbingung. Aku perlahan-lahan mencerna ucapannya, namun aku tak kunjung menemukan sumber dari benang kusut yang dibuat Nauval akhir-akhir ini. Ia tampak sangat baik pada suatu saat, ia begitu memperlakukanku dengan spesial, bahkan tak ada seorang pun medusa-medusa di sekolah ini yang berani membicarakanku lagi. Tapi mengapa ia berubah menjadi sedikit pemarah dan egois, apa aku yang salah disini? Apakah aku kurang baik untuk menjadi temannya.
Pertanyaan-pertanyaan yang tak kunjung menemukan jawaban itu berputar-putar dikepalaku. Aku benar-benar tak ahli dalam urusan pria, pengalamanku berpacaran saja nol persen. Serius kalian harus percaya kalau aku belum pernah pacaran dan berdekatan dengan banyak pria. Memang ada beberapa cowok yang kenalan dan mengakrabkan diri. Namun, aku merasakan tak nyaman berdekatan dengan mereka, seperti memaksakan diri. Tak ada debar-debar aneh dan sengatan semacam listrik saat berdekatan. Berbeda dengan yang kurasakan saat bersama Nauval, ia seperti penyihir yang menciptakan perasaan nano-nano yang tak bisa kujelaskan melalui kata-kata pula dengan rumus eksak.
Astaga!
Jangan-jangan aku sudah jatuh cinta sama Nauval!
Buru-buru aku menggelengkan kepala, tidak mungkin!
"Lo kenapa?" Aku menoleh dan menemukan Lusi yang menatapku dengan pandangan horor. Mungkin tingkahku sedikit membuatnya tercengang tadi. Ia berdiri tak jauh dari kursi dan membawa susu kotak rasa vanila yang lagi-lagi membuatku mengingat Nauval
"Gak papa kok," jawabku segera menormalkan wajah seraya memaksakan senyum.
"Beneran nih? Gak ada masalah?" tanyanya memastikan. Kemudian duduk di kursinya yang berada disampingku. Aku diam sejenak. Ingin bercerita dan meminta saran dari seseorang, mungkin Lusi dan pengalamannya bisa menjawab segala pertanyaan yang ada di otakku.
"Ada sih," jawabku ragu-ragu, "gue bingung sama Nauval akhir-akhir." Aku menatapnya lurus. Kuedarkan kepalaku menatap sekeliling. Masih sepi, tak banyak orang hanya ada Mita and the Genk yang duduk bergerombol dan asik dengan dunia mereka masing-masing.
"Emang Nauval kenapa?" tanyanya penuh minat. Ia menatapku seolah-olah menuntutku untuk segera bercerita.
"Dia keliatan marah waktu gue bilang gak bisa pulang bareng hari ini."
"Serius?" tanyanya tak percaya, matanya sedikit membola. Sedang nadanya yang naik satu oktav membuat gerombolan Mita and the genk menatap kami terusik.
"Kemaren waktu nemenin dia latihan basket, dia tiba-tiba ninggalin gue gitu aja," lanjutku kemudian dengan suara yang sedikit pelan, berusaha agar tak terdengar siapapun. Rasanya aneh jika ketahuan membicaran teman kelas sendiri.
"Pasti ada alasan kenapa dia ngelakuin itu, coba lo inget-inget."
Aku berpikir kembali kejadian kemarin. Setahuku aku tak melakukan kesalahan apapun. Bahkan kami belum bicara sejak ia usai latihan basket. Ia juga tak menjelaskan sesuatu hal padaku. Bukannya tak ingin bertanya dan tak peduli tapi sepertinya Nauval butuh waktu sendiri.
"Perasaan gak ada deh, beneran. Gue cuman ngobrol sama Fajar sambil liatin dia main basket," ujarku bersunggung-sungguh. Aku benar-benar yakin jika tak berbuat kesalahan yang membuat Nauval marah.
Lusi mengerjapkan matanya kembali, ia tampak berpikir kemudian berucap, "kayaknya Dia udah bosen sama lo deh, mending lo jauhin dia aja daripada sakit hati."
Deg
Perkataan Lusi seketika membuatku tersadar. Aku seperti terlalu terbuai nyaman dengan perlakuan Nauval selama ini. Kami terlalu asik bersama hingga aku tak sadar bahwa ia mungkin saja bisa kembali seperti semula. Kami yang lagi-lagi asing dan Dia yang berubah menjadi sinis seperti dahulu.
Kenapa aku tak berpikir sampai kesana?
KAMU SEDANG MEMBACA
Vanilla Boy
Teen Fiction"Jangan bilang kalau gue berat," ucapku saat merasakan langkah kakinya berjalan dengan pelan. "Enggak, lo ringan banget kayak kapas," jawabnya enteng membuatku tersenyum. Padahal, aku sudah siap menjitak kepalanya jika ia mengataiku berat. "Trus ken...