[ 4 ] Habis Ketemu Setan, Pak!

96 41 17
                                    

“Heran deh! Punya tetangga gini amat.”

-Metana Jovanka-

***

Aku memutuskan untuk turun ke bawah setelah merasa tenggorokanku kering, masih membiarkan laptopku menyala dengan film drama Korea yang kupause dan beberapa camilan yang berserakan di lantai. Ah, jangan lupa! Tisu-tisu hasil dari air mata dan ingusku saat menangis tadi, berserakan dengan begitu joroknya di dekat tong sampah kecil yang kusediakan di samping meja belajar.

Aku mengurungkan niatku menuju dapur saat mendengar percakapan di ruang tamu. Ternyata ada mama dan Tante Ranti, Bundanya Nauval. Iya! Kalian gak salah denger! Nauval yang gayanya udah paling sok cool di sekolah. yang ketua kelas tapi nyatanya tak pernah membantuku saat dikerjai Fajar padahal kita tetanggaan.

Tapi, tumben Tante Ranti ke sini, terakhir kalinya beliau sering main ke rumah saat aku dan Nauval masih SMP. Saat kami berdua masih begitu polos, belajar bareng, main bareng. Dulu bahkan pernah suatu kali Nauval tiba-tiba datang ke rumah, gedor-gedor pintu pakai boxer sepaha takut dimarahin bundanya karena udah bikin nangis adiknya yang saat itu masih berumur 3 tahun. Ya ampun, kalau dipikir-pikir konyol juga sih dulu. Tapi, seiring berjalannya waktu dan kami berdua yang mulai tumbuh dewasa. Hal-hal kecil seperti itu sudah lenyap, terkikis bahkan hilang sampai sekarang. Sosoknya yang riang jadi dingin dan sok banget waktu di sekolah, seolah-olah dia tak pernah mengenaliku sebelumnya. Sialan! Apa dia malu ya punya tetangga macam aku.

"Eh Meta," seru Tante Ranti saat aku sendiri tak sadar kepalaku sudah nongol ada di dekat tembok.

"Duduk sini, Met," perintahnya sambil menepuk-nepuk sofa di sampingnya yang kosong. Sedang Mama duduk di single sofa dengan nyaman.

"Kamu sekarang udah gede yah, cantik begini," ucapnya seraya mengelus-ngelus rambutku yang panjangnya hanya sebahu.

"Ah bisa aja, Te," jawabku malu-malu dan menampilkan senyum tipis padahal dalam hati sudah berjingkat kegirangan. Ini yang kusukai dari Tante Ranti, beliau sangat ramah dan murah senyum. Baiknya natural banget kalau dibandingin sama Mama yang menakutkan saat marah-marah. Telat bangun marah, gak ngebersihin kamar tidur marah, sering keluar main marah apalagi kalau ngilangin botol tupperware kesayanganya. Bisa-bisa dijadikan dendeng tubuhku yang kurus ini.

"Eh tapi beneran loh, pasti disekolah banyak yang naksir." Boro-boro banyak yang naksir, Jomblo sih iya! Waktuku selama SMA banyak kuhabiskan bersama Fajar untuk bersitegang dan bertengkar. Haduh, benar-benar suram masa putih abu-abuku. Aku harus segera mengatur rencana agar bisa menggaet kakak kelas atau seminimalnya yang seangkatan. Oke semangat! Demi masa depan cerah!

"Haduh kecil-kecil gak boleh pacaran," serobot Mama merusak angan-anganku saat akan membayangakn klasifikasi cowok idaman yang nantinya bisa diajak kencan. Beliau benar-benar tak ingin aku bahagia memiliki seorang kekasih.

"Hahaha, eh gimana di sekolah? Nauval baik sama kamu kan?" Eghh ... ini dijawab jujur apa enggak ya?

"Baik kok, Te," jawabku sambil meringis. Memang betul kan Nauval tak pernah menjahiliku seperti Fajar. Ia cukup baik mendekati bodoamat.

"Oh iya Jeng gimana kabarnya Nauval?"

"Ah anak itu, semenjak aku hamil ini. Dia jadi makin overprotektif kayak papanya," ungkap Tante Ranti yang kudengarkan dengan seksama. Wah menarik, ini bisa jadi gosip buat akun-akun lambe nyinyir, "kemaren waktu aku mau check up ke rumah sakit gak boleh berangkat katanya 'bunda gak bakal gugurin kandungannya kan?'"

"Beneran, Jeng?" lontar mama spontan, mewakili apa yang ingin kukatakan.

"Iya, bahkan sekarang aku gak dibolehin ngapa-ngapain sama dia. Disuruh duduk aja, jadi anak itu sekarang yang kadang masak, beresin rumah."

Vanilla BoyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang