Bilang
Enggak
Bilang
Enggak
Haduh, bilang aja deh
Eh tapi, gue takut dia beneran marah
Duh bodoamat ah!
Aku terus menggigit bibir bawahku gemas. Menimang-nimang apakah seharusnya aku berbicara atau meminta maaf kepada Nauval.
Aku melirik pria itu sekilas. Tampaknya ia masih serius menghapus papan tulis. Aku berjalan pelan, mendekati punggungnya yang menghadap papan dan otomatis memunggungiku. Aku memilin tanganku dengan gugup, panas dingin mendera. Langkah kakiku masih terlihat gamang untuk menuju Nauval. Namun aku terus bertekad hingga tak terasa aku sudah sampai di dekatnya. Mataku memutari pandangan apapun yang sekiranya dapat kugunakan untuk mengalihkan perhatianku pada atensi punggung Nauval yang terlihat bidang.
Ugh, i miss him
So much
Hiks
Tanganku terulur untuk memegang bahunya ragu-ragu. Namun kuurungkan kembali. Terulur kembali dan pada akhirnya kembali kuurungkan. Aku mengutuk diriku yang benar-benar menyedihkan sekarang. Mengucapkan sepatah kata saja tak bisa apalagi jika nanti berbicara padanya. Bisa-bisa aku gagap dan berakhir menjadi bahan tertawaan. Aku menengadah, menggigit bibirku frustasi sampai cemberut.
Ayo Metana, lo kudu berani!
Semangat!!!
Aku menghembuskan napas keras-keras. Tiba-tiba 180 derajat berubah menjadi pelari yang siap marathon mengitari Bundaran HI. Aku menatap pungggung Nauval sekilas. Tanganku terulur untuk menyentuhnya.
Namun, belum sampai apa yang kulakukan terwujud. Suara Lusi mengintrupsi kegiatan yang akan kulakukan. Membuatku buru-buru memasang secarik senyum yang kupaksakan. Tak lupa menurunkan tanganku kembali
"Hai, Val," sapa Lusi yang membuat pria itu menoleh. Sekilas bahunya hampir menabrak lenganku. Namun Nauval buru-buru kembali menoleh menatap Lusi dengan menampilkan senyum.
Aku merasakan sesuatu yang retak-retak di dalam sana. Barangkali terpukul karena Nauval tak repot-repot untuk menanyakan perihal keberadaanku di sini. Namun, terlihat begitu antusias dan senang jika di hadapan Lusi.
"Ada apa, Lus?" Ia bahkan tak pernah memanggilku dengan nada halus seperti itu.
Apakah aku yang selama ini terlalu berharap? Apakah aku salah karena menginginkan dia memiliki perasaan sama seperti yang kurasakan saat ini.
Yah, kuakui aku Mencintainya.
Ew, it's weird.
I think, aku sedikit menyukainya
Bukan-bukan.
Ugh! Aku tak bisa menggambarkan perasaan dengan jelas. Sesuatu yang membuatku senang jika menghabiskan waktu dengannya. Sesuatu yang membuatku rasanya ingin menjungkir balikkan dunia saat melihat Nauval terlihat cukup dekat dengan Lusi. Sesuatu yang membuatku merasakan sedih yang berkepanjangan karena ia ternyata marah padaku hingga membuatku tak bisa menatapnya dengan bebas.
Perasaan dimana setiap kali berdekatan dengan Nauval membuat darahku berdesir serta jantung yang ketar-ketir, persis seperti yang kurasakan saat lima menit sebelum naik wahana tornado. Ditambah dengan tatapan matanya yang seakan membuat pipiku memanas dengan alasan yang tak kuketahui kenapa.
Aku...
Aku tak bisa menggambarkan perasaanku dengan jelas. Ini pertama kalinya bagiku meraskan jatuh cinta kepada seorang pria...
KAMU SEDANG MEMBACA
Vanilla Boy
Teen Fiction"Jangan bilang kalau gue berat," ucapku saat merasakan langkah kakinya berjalan dengan pelan. "Enggak, lo ringan banget kayak kapas," jawabnya enteng membuatku tersenyum. Padahal, aku sudah siap menjitak kepalanya jika ia mengataiku berat. "Trus ken...