[ 2 ] Rajanya Mimpi Buruk

147 55 42
                                    

"Liat cewek marah-marah, ternyata asik juga ya."

-Fajar Raviski-

***

"Lus, lo liat baju punya gue gak?" tanyaku dengan gelisah, masih mengobrak-abrik isi dalam ransel untuk mencari setelan olahraga berwarna abu-abu putih yang kumiliki. Dahiku berkernyit sembari menelusuri ruang-ruang kosong dalam ransel, mengangkat buku-buku yang berjejer berangkali mungkin terselip di sana.

"Gatau tuh, emang kenapa?"

"Ilang, padahal gue taro disini waktu pagi," ujarku gusar. Mencari kedalam laci meja. Barangkali aku lupa, meninggalkan kaos dan celana olah ragaku disana.

Namun nihil, yang kudapatkan adalah buku-buku yang bertumpuk. Mata pelajaran olahraga akan berlangsung lima belas menit lagi. Teman-teman di kelasku sudah beranjak pergi untuk ke kamar mandi berganti pakaian. Sedang aku disini masih kelimpungan panik karna tak kunjung menemukan apa yang kucari.

"Gue buang ke atas pohon deket lapangan," celetuk seseorang yang otomatis membuatku mendongak, menatapnya dengan tatapan membunuh. Sang pelaku hanya bersiul santai dan mengenakan kaus olah raganya di depanku.

IYA!!!

Benar-benar di depanku kawan-kawan!

Dengan santai ia melepaskan dasi, membuka satu persatu seragam sekolahnya kemudian menanggalkannya begitu saja.
Memperlihatkan otot-otot liatnya yang tak terbalut apapun serta abs yang membuat tatapanku berhenti di sana cukup lama. Aku buru-buru menggelengkan kepala, mengusir pikiran-pikiran jahat yang bersemayam dalam otakku. Kemudian menatap kembali manik mata sang pelaku dengan tatapan menghunus, berharap bisa mengeluarkan pedang dan menyayat tubuhnya itu.

"Sialan lo!" umpatku kemudian buru-buru berlari menuju lapangan yang ia maksud. Di sana berdiri pohon angsana yang tinggi menjulang. Terdapat kaus olah raga ku yang menggantung pada salah satu ranting yang cukup rendah. Namun, tak cukup untuk bisa kuambil. Kuedarkan pandanganku ke sekeliling mencari-cari sesuatu yang dapat kugunakan untuk mengambil kaus. Namun, tak ada yang bisa ketemukan.

"Val, bantuin gue dong," ujarku setengah memelas menatap Nauval yang kebetulan lewat di depanku. Untung sekali cowok itu datang, kalau tidak aku harus merasakan bagaimana rasanya di hukum dengan latihan fisik.

Ia terlihat menatap pohon itu sebentar, berkedip sekali kemudian menatapku dengan wajah datarnya, "lo ambil aja sendiri."

Kemudian berlalu.

Meninggalkanku yang cengo dan tak habis pikir.

Hell!

Dimana sisi kemanusiaannya? Ia tak mempertimbangkan untuk menolongku sebagai tetangga.

Aku menghembuskan napas kasar, menahan makian yang ingin kulayangkan pada Fajar. pelaku utama yang membuatku sengsara kali ini. Ia pasti ingin balas dendam perihal kemarin. Benar-benar setan tak tau diri. Awas saja! Aku akan membalasnya lebih parah dari ini.

"Mau gue ambilin gak?" Aku menoleh kaget menatap sang pelaku kriminal yang saat ini berdiri dengan santainya sambil memakan permen bulat berwarna merah dengan santai.

"Ambilin cepet, abis ini udah mulai pemanasan," perintahku menahan geram, mati-matian menahan tangan-tangan nakal yang rasanya ingin melayang dan menjambak rambutnya agar rontok semua.

"Lo sebutin dulu 20 hal hal yang baik tentang gue."

"Najis," jawabku cepat. Bisa-bisa bibir suciku terinveksi jika harus mengatakan dusta. Pasalnya tak ada hal baik dari sosok pangeran kegelapan seperti Fajar ini. Hidupnya bermuram durja dan bermandikan lumpur dosa. Jika disuruh untuk menyebutkan keburukannya, 100 kalimat pun aku bisa lancar mengucapkannya.

"Yaudah gue tinggal, lo ambil aja sendiri. Gue mau pemanasan dulu, Pak Wisnu udah nunggu tuh di lapangan."

Aku menatap lapangan, terlihat Pak Wisnu di sana yang sedang berdiri seraya memberikan sebuah instruksi yang tak dapat kudengarkan dari sini. Seluruh teman-teman kelasku sudah berjejer rapi, termasuk tetanggaku Si Nauval yang bahkan dengan tega meninggalkanku bersama Si Tengil satu ini.

"Yaudah ambilin," jawabku pasrah. Lebih cepat lebih baik daripada harus mendapatkan nilai kosong karena absen.

"Sebutin dulu dong."

Sial!

Dia benar-benar menguji kesabaranku yang sudah berada di ambang batas.

Aku menghembuskan napas pelan, kemudian memasang senyum manis yang sengaja kubuat-buat, "satu, Fajar itu ganteng, gantenggggg banget," ujarku dengan nada yang melebihkan-lebihkan. Selepas mengatakannya kepalaku menoleh ke sanping, menahan mual.

"Dua, lo itu manis. Tiga, lo keliatan seksi kalau ganti baju."

"Jadi lo sekarang ngakuin kan?" tanyanya dengan senyum percaya diri dan kubalas dengan senyum mengiyakan yang palsu meski separuhnya apa yang kukatakan memang benar.

"Empat, lo paling pinter di kelas. Lima, lo bener-bener bagus waktu make sepatu olahraga itu. Enam, lo baik. Tujuh, lo bener-bener baik...." dan banyak kalimat-kalimat lainnya yang tentunya benar-benar kubuat semeyakinkan mungkin. Ia hanya mengangguk-angguk kepalanya seraya tersenyum lebar penuh kebanggaan. Aku tak mengerti bahwa dengan kebohongan ia bisa tersenyum seperti orang gila seperti ini. Aku harus cepat-cepat berkumur sebanyak tujuh kali setelah ini.

"Udah, sekarang ambilin," perintahku seraya bersedekap.

"Gue tau yang lo omongin bener semua, tapi gue gak bisa manjat." Aku melotot penuh, sampai rasanya bola mataku ingin keluar karenanya.

"Lo mau gue bunuh," desisku tajam, menarik ujung pakaiannya yang beranjak ingin kabur. Sebenarnya aku ingin menarik kerah pakaiannya hingga tercekik. Namun, kuurungkan karna tinggiku bahkan tak bisa mencapai dagunya.

"Lepasin Met, gue gak bisa manjat," ujarnya tanpa merasa bersalah dengan senyum yang masih tersungging. Membuatku semakin geram dan mencengkram bajunya semakin erat.

"KALIAN BERDUA, KEMARI!," teriakan melengkik dari sudut lapangan membuatku dan Fajar menoleh kaget, mendapati Pak Wisnu yang berkacak pinggang dari jauh dengan peluit andalannya yang dikalungkan pada leher.

Aku menghembuskan napas lelah, Fajar benar-benar rajanya mimpi buruk!

Vanilla BoyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang