Aku sampai di Grand Indonesia dan berdiri disamping counter donat sambil menghubungi Didit yang batang hidungnya tak terlihat. Keadaan Mall sangat ramai seperti biasanya, banyak orang yang datang bersama keluarga, teman sampai pacar maupun gebetan. Sedang aku disini berdiri sendirian seperti jomblo Jomblo.
"Sorry Met, lo nunggu lama ya." Suara seseorang mengintrupsiku dari kegiatanku menscrool postingan Instagram di ponsel, "gue kena macet tadi."
Serius? Ini Didit? Beneran?
Ia menaikkan kaca matanya yang sedikit melorot kebawah. Beda dengan tampilan biasanya di sekolah. Hari ini ia mengenakan jeans warna hitam dan kaos hitam yang dipadukan dengan flanel kotak-kotak berwarna hijau jade. Rambut yang biasanya diberi gel sampai klimis sekarang dibiarkan sedikit berantakan. Uh, bisa mimisan lama-lama merhatiin Didit yang kayak gini. Sayang banget dia udah punya pacar.
"Santai aja, gue juga baru sampai kok," dustaku sembari memberikan senyum manis, "lo mau ngasih dia kado apa?"
"Nah itu yang gue gak tahu."
"Karakter cewek lo gimana?"
"Uhm, dia cantik, rambutnya panjang, senyumnya manis—."
"Karakter Dit, karakter," gemasku yang sedari tadi melihatnya bercerita sambil tersenyum.
"Oh iya." Kubalas dengan senyum dipaksakan saat ia memberiku ringisan, "dia agak pemalu, cerdas, suka baca, suka melukis."
"Gimana kalau buku?" Cetusku. Adit dan pacarnya benar-benar setipe.
"Koleksinya bahkan udah lebih banyak daripada gue," jawabnya. Benar juga, Adit yang setiap harinya baca buku dengan judul berbeda kutebak memiliki perpustakaan sendiri di rumahnya. Mungkin saja pacarnya bisa membuat perpustakaan daerah untuk umum karena saking banyaknya.
"Yaudah peralatan lukis aja."
"Boleh deh," jawabnya dengan senyum. Kami memutuskan untuk berjalan menuju artline sejujurnya kami sendiri kurang mengerti mengenai peralatan lukis melukis. Jadinya Didit memutuskan untuk membeli satu set peralatan melulis dan cat air yang harganya membuatku menjerit. Kupikir-kupikir tugasku disini untuk membantu Didit benar-benar tak berguna. Aku hanya mencetuskan satu ide dan menemaninya memutari mall tanpa memberikan masukan apapun.
Setelah puas membeli peralatan lukis dan buku pelajaran serta dua buah Novel milikku yang dibayar Didit. Kami memutuskan untuk mampir di Foodcourt lantai lima Mall tersebut.
"Lo tunggu disini aja ya Met, gue yang pesen," perintah Didit sambil mendudukkanku pada salah satu kursi yang kosong. Belanjaan yang ada di tangannya itu diletakkannya diatas meja
"Oke," balasku seraya mengacungkan tangan dengan ibu jari dan jari telunjuk yang membentuk lingkaran. Aku menatap punggungnya yang ditelan antrian. Sebenarnya kalau dipikir-pikir Didit ini gentle banget. Dia tau bagaimana cara memperlakukan perempuan dengan baik dan sopan. Jauh banget kalau dibandingin sama Nauval yang kalakuannya sangat menyebalkan. Meskipun, akhir-akhir ini kami berdua telah berdamai.
Astaga!!!
Ngapain banget aku bandingin Didit sama Nauval. Kayaknya otakku habis dicuci deh sama Nauval sampai-sampai setiap malam aku kadang memikirkan tingkah absurdnya yang semakin hari semakin tak kumengerti. Ngomong-ngomong, aku merasakan seperti ada seseorang yang mengamatiku sedari tadi. Kupandang Didit yang masih berada pada baris kedua antrian. Aku mengedarkan pandanganku ke sekeliling. Tak menemukan siapapun yang terlihat mencurigakan dibalik banyaknya orang-orang yang terlihat menikmati makanan atau minuman mereka. Tapi sungguh, bukannya bermaksud geer tapi aku merasa seseorang mengawasi gerak-gerikku sedari tadi.
Aku memutuskan untuk ke toilet, berniat untuk membasuh wajah dengan air. Berharap dengan begitu, aku tak lagi merasa berhalusinasi seperti ini. Namun, saat aku melangkahkan kaki tiba tiba kurasakan seseorang sengaja meluruskan kakinya membuat langkahku sedikit membentur kaki tersebut dan tulang keringku terantuk kaki meja hingga mendarat diatas lantai.
"Ups Sorry." Rasa-rasanya aku tak lagi asing dengan suara ini. Kudongakkan kepalaku keatas menatap empu pemilik suara yang saat ini menatapku dengan rasa bersalah yang dibuat-buat. Si medusa! Aku sudah lupa nama perempuan yang tempo dulu pernah bertengkar denganku, dan saat ini di depan banyak orang, apakah harus ia mencari gara-gara?
"Lo sengaja ya?" Aku memicing seraya meringis karena kaki ku terasa sedikit sakit saat kucoba untuk berdiri.
"Lo aja kali yang jalan gak liat liat," jawabnya dengan memutar bola matanya kemudian meminum es boba miliknya dengan santai. Yang membuatku geram ia sama sekali tak ingin minta maaf dan membantuku untuk berdiri.
"Lo enggak papa, Met?" Tiba-tiba Didit datang dan berjongkok disampingku. ia menatapku dengan prihatin.
"Oh jadi lo udah ganti pacar, bagus deh. Gak nyangka ya lo ternyata Fakgirl," ujar Si Medusa dengan tawa yang bergemerincing. Aku menghembuskan napas tertahan. Ingin mencakar-cakar kembali wajahnya seperti saat itu kalau bisa kubuat rambutnya rontok sekalian sampai botak. Biar gak ada muka lagi mau ketemu orang, lagian jadi orang gak ada akhlak banget, ngomong gak pake otak.
"Diem lo," desisku tak memperdulikan ucapannya.
"Gue bantuin berdiri, Met." Didit memegang sikuku untuk berdiri. Baru saja pantatku terangkat dari lantai, sebuah bogeman mentah melayang mengenai pipi kanan Didit dengan keras, membuat keseimbangannya goyah dan membentur kursi kosong disebelahnya yang otomatis membuat pegangannya pada sikuku terlepas begitu saja, Pantatku mendarat kembali pada lantai dengan sempurna. Astaga! Ini bukan bemper mobil yang tahan bantai walau ditubrukin di pohon kelapa ya!
Pandanganku teralih pada cowok berhoodie hitam yang kini menghajar Didit tanpa perlawanan. Astaga dia Nauval! Aku bisa melihat figurnya dari samping.
Buru-buru aku bangkit dan menarik lengan Nauval agar segera menghentikan aksinya, "lo ngapain sih, Val?"
"Diem Jop, dia udah dorong lo tadi."
Aku kembali menarik tangannya yang akan melayang, padahal Didit sudah terlihat babak belur dan lebam di sudut bibirnya, "lo salah paham."
Nauval mengerutkan alisnya tanda tak mengerti, ia sepenuhnya menghadapku sekarang, "justru dia yang bantu gue waktu fans sialan lo yang udah buat gue jatuh."
"Lo gak bakal gini kalau dia gak ngajak lo keluar," balas Nauval masih kekeuh. Sejenak membuatku berpikir, bagaimana bisa ia tahu bahwa Didit mengajakku keluar, dan kenapa ia ada disini saat ini?
"Lo ngikutin gue?" Tanyaku seraya menatapnya tak habis pikir. Lama-lama tingkah Nauval terlihat sangat absurd, aku benar-benar tak bisa mentolelirnya jika ia berbuat seperti ini. Bagaimana bisa Nauval mengikutiku? Apakah tujuannya?
"Gue cuman mau mastiin lo baik-baik aja." Astaga Nauval! Cowok ini kesambet apa sih! Kenapa dia jadi sok perhatian kayak begini, dulu saja jika aku tercebur kolam pun mana pernah ia perduli.
"Lo malu-maluin gue tau gak," balasku sengit. Dengan tertatih aku meninggalkan foodcourt sendirian. Membiarkan Didit yang entah bagaimana keadaannya
Aku terus berjalan dengan cepat, tak memperdulikan langkah Nauval yang berusaha mengejarku. Aku benar-benat tak ingin melihat wajahnya saat ini. Kuberhentikan taksi yang kebetulan lewat
"Jalan, Pak," ucapku yang diangguki supir taksi mengabaikan Nauval yang memanggilku dengan cukup keras.
***
Beberapa hari ini ngerasa sedih banget karena gak ada yang baca cerita aku. Apa karena cerita ini gak layak baca ya?
Kasih kritik dan saran di kolom komentar ya temen-temen. Biar aku bisa lebih baik dari sebelumnya
KAMU SEDANG MEMBACA
Vanilla Boy
Teen Fiction"Jangan bilang kalau gue berat," ucapku saat merasakan langkah kakinya berjalan dengan pelan. "Enggak, lo ringan banget kayak kapas," jawabnya enteng membuatku tersenyum. Padahal, aku sudah siap menjitak kepalanya jika ia mengataiku berat. "Trus ken...