“Bunuh orang yang gak punya akhlak halal gak sih? Mau mutilasi Fajar soalnya.”
-Metana Jovanka-
***
Terik matahari yang menyengat membuat mataku menyipit. Aku terus berlari mengitari lapangan dengan Fajar di sampingku yang terus-terusan tersenyum seperti orang kesurupan. Masih tiga putaran, kurang dua putaran lagi yang seharusnya kulalui, tapi bulir-bulir keringat terus membasahi dahi serta tubuhku, membuat bajuku sedikit basah dan lengket, serta menahan rasa gatal karena memakai baju yang telah diambil dari pohon.
"Ini semua gara-gara lo!" kataku masih terus berlari. Namun, mengurangi kecepatan karena betisku rasanya benar-benar butuh diistirahatkan.
"Santai aja kali, kapan lagi lo bisa dihukum bareng cowok ganteng kayak gue," ucapnya penuh percaya diri. Tubuhnya juga terlihat berkeringat sepertiku. Namun, ia terlihat tetap fit dan tak kelelahan sama sekali.
"Gue tarik omongan gue, lo jelekkk!" Jeritku sambil menekankan kata terakhir tepat di depan wajahnya. Kemudian lari lebih cepat agar tak menyamai langkah kaki Fajar. Namun, ia tetap mengikuti, membuatku rasanya dilingkupi hawa panas karena berdekatan dengan salah satu penghuni neraka yang kesasar di bumi ini.
"Gue kan mirip Zayn Malik."
Aku menoleh padanya secepat yang ku bisa, menatapnya horor, "lo ngaca sana ke danau," balasku kejam. Namun, ia tak terlihat ambil pusing dan tetap berlari sambil memamerkan senyum.
Prittt
Bunyi peluit yang baru saja terdengar membuat langkahku terhenti. Pak Wisnu tampak melambaikan tangannya pada kami, menyuruh untuk mendekat.
Aku bersorak dalam hati, terhindar dari hukuman lari yang membuat dadaku naik turun tak teratur. Juga, terhindar dari Pangeran kegelapan yang membuat hari-hariku suram apabila terlalu lama berdekatan dengannya.
Aku melangkah mendekati barisan teman-teman kelasku yang sudah berpasangan dua orang. Dahiku mengernyit dalam, tak memahami situasi yang saat ini terjadi.
"Bersama-sama kalian sit up selama satu menit sebanyak yang bisa kalian lakukan. Bergantian dengan pasangan kalian. Jangan lupa, hasilnya laporkan pada saya."
Aku melongo, "Pak, saya sama siapa dong?"
"Sama cowok di samping kamu." Aku menoleh pada pria di sampingku dengan pandangan tak rela, seperti mendapat amukan badai di siang bolong. Duniaku porak-poranda karena Fajar.
"Sama Lusi aja ya, Pak?" pintaku memelas. Sudah cukup aku berlari mengitari lapangan bersama Fajar. Jangan sampai kesialanku bertambah satu lagi hari ini.
"Gue udah ada pasangan, Met," ucap Lusi sambil menunjuk Diva di sampingnya.
Aku memasang tampang sedih, menatap satu persatu teman-temanku yang telah mendapatkan pasangan dan tak keberatan sama sekali, andai saja ada seseorang yang mau menukarkan pasangannya denganku. Pak Wisnu pun tampak tak peduli dengan aksi protesku, beliau berjalan menuju pinggir lapangan dan siap dengan kertas penilaiannya.
Aku menghembuskan napas pasrah, menatap Fajar dengan malas.
"Gue duluan," ujarku bersiap berbaring telentang dengan kedua lutut tertekuk pada lapangan. Kedua tanganku kutumpukan pada belakang kepala membuat pergelangan tanganku menempel pada belakang telinga.
Dengan seringaian Fajar duduk di depanku, kedua tangannya memegang kakiku agar aku bisa mengangkat bagian atas tubuh dengan mudah.
"Satu," ujarku saat mulai melakukan Sit up, cukup mudah saat aku menaikkan punggung untuk bangkit terduduk, "jangan deket-deket muka lo."
Aku mengatakannya dengan desisan saat wajahnya hanya berjarak beberapa centi dari wajahku ketika aku melakukan gerakan sit up. Namun, dengan jahil ia malah tak peduli, justru melonggarkan cekalannya pada pergelangan kakiku hingga membuatku kesulitan untuk bangkit. Benar-benar rese!
Aku terus-terusan melakukan gerakan Sit up dengan serius, meskipun Fajar dengan jahil melontarkan ucapan yang membuatku menahan geram dan fokusku terganggu.
Priittttt
Peluit dibunyikan, tanda bahwa waktu satu menit telah berlalu. Pas Wisnu menanyakan skor hasil sit up dengan cara memanggil satu persatu nama, hingga giliranku.
"Metana Jovanka?"
"15."
"Heh! Gue gak segitu dikitnya ya!" hardikku pada Fajar dengan sebal. Padahal aku telah bersusah payah mengeluarkan tenaga yang kupunya.
"Emang segitu, lo mah emang dasar lemah."
Sialan! Awas saja! aku akan memanipulasi skor miliknya nanti. Jelas-jelas aku telah melakukan gerakan cukup banyak tadi.
***
Selepas olahraga aku memutuskan untuk kembali ke kelas, berjalan bersama dengan Rere dan David menyusuri koridor, aku berceloteh panjang lebar dengan menggebu-gebu atas kekesalanku pada Fajar. Berharap ia musnah saja hingga hariku bisa cerah seperti dulu-dulu.
Saat sampai di kelas, keadaan cukup sepi. Mungkin teman-teman yang lain lebih memilih untuk pergi ke kantin, duduk sebentar di sana dan memesan beberapa makanan atau minuman. Aku mendekati tempat dudukku, mengambil botol tumbler yang berada di dalam ransel. Aku memang selalu membawa botol berwarna biru ini saat di sekolah, lebih murah dan praktis daripada harus berdesakan di kantin untuk sebotol minuman. Lagipula, setiap hari mama memang selalu membawakanku bekal.
Ini bermula ketika ketua kelas kami, Nauval, membawa bekal mekanan di sekolah. Ia jadi pencetus yang menyarankan untuk seluruh anggota kelas ini agar membawa bekal makanan dari rumah daripada harus ke kantin. Awalnya semua nampak tak peduli sampai Karin—salah satu cewek yang doyan makan di kelasku—terkena diare entah karena salah makan atau keracunan jajanan di kantin. Jadilah, banyak yang mulai membawa bekal makan dan menjadi suatu kebiasaan hingga sekarang. Sungguh teladan sekali ketua kelasku itu.
Rasa haus sedari tadi telah menggeringkan kerongkonganku, membuatku meneguk banyak-banyak air putih yang berada di dalam botol tumbler. Tapi tunggu ...
SHIT!
Aku buru-buru berlari keluar kelas. memuntahkan minuman yang rasanya asin. Iya! Benar-benar asin! Ini pasti kelakuan ...
FAJARRR!!!
Awas saja sampai aku bertemu dengannya nanti, aku akan mencincang tubuhnya jadi bagian yang kecil-kecil lalu kuberikan pada anjing galak di belakang sekolah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Vanilla Boy
Teen Fiction"Jangan bilang kalau gue berat," ucapku saat merasakan langkah kakinya berjalan dengan pelan. "Enggak, lo ringan banget kayak kapas," jawabnya enteng membuatku tersenyum. Padahal, aku sudah siap menjitak kepalanya jika ia mengataiku berat. "Trus ken...