"lo kenapa sih daritadi melamun mulu," ujar Rere sambil menyenggol bahuku santai. Membuat tanganku yang tadinya menopang dagu terlepas. Kami berada di salah satu stand minuman saat ini, menunggu pemutaran film yang masih satu jam lagi ditayangkan.
Fajar jadi ikut kali ini, katanya ia bosan karena tak memiliki kesibukan lain selain adu jotos dengan musuh nya dari sekolah sebelah. Membuatku tentu saja senang-senang saja. Aku tak mau lagi menjadi suster pribadinya Fajar.
"Ada masalah lo sama Nauval? Eyke liat dia tadi pelototin kita waktu keluar kelas," imbuh David yang membuatku semakin yakin bahwa Nauval mungkin benar membenciku.
"Serius lo lagi ada masalah?" Fajar setengah terkejut dan menatapku penasaran.
"Gak tau deh, bingung." Aku menggelengkan kepala tak tahu harus menjawab apa. Toh jika memang Nauval kembali asing seperti dahulu aku harus bagaimana? Ia punya hak untuk melakukan apa yang ia mau.
"Lo beneran gak pacaran?" tanya Rere entah sudah keberapa kalinya, ia memang yang selalu paling tahu mengenai kedekatanku dengan Nauval. Dan orang nomor 1 yang paling tidak percaya bahwa aku dan Nauval betul-betul tak sedang menjalin hubungan.
"Serius enggak Re," jawabku gemas sendiri.
"Dia suka sama lo Met," ucap Fajar santai sambil mengaduk minuman green tea miliknya.
Aku menatapnya aneh, "enggak mungkin lah, ada ada aja lo," jawabku mengutarakan apa yang kupikirkan. Memang benar kan? Nauval tak mengatakan jika ia menyukaiku. Ia hanya pernah sekali mengklaim bahwa diriku adalah pacarnya, namun aku tau sebenarnya itu ia gunakan untuk menutupi dirinya dari kejaran banyak cewek-cewek di sekolah.
"Gue juga mikir gitu sih. Keliatan banget dari tatapan dia sama lo," tambah Rere. Bah tatapan bagaimana? Sekarang ia marah padaku dan aku bingung harus bagaimana.
"Udah ah, gajelas banget deh kalian. Gue lagi marahan sama dia," ucapku membuyarkan suasana, aku menatap arloji milikku yang menunjukkan sudah waktunya film dimulai, "film nya dimulai nih. Ayo buruan."
Aku berjalan mendahului mereka menuju bioskop theather satu tempat kami menonton film. Kami duduk di deretan kursi E yang berada di tengah tengah menghadap layar besar.
Sampai saat film diputar, pikiranku masih melalang buana entah kemana. Rasanya resah dan tak nyaman, meski berkali-kali Rere menarik lenganku cukup heboh karena hantu yang muncul tiba-tiba selama pemutaran film berlangsung. Juga David yang terus-terus an berteriak sampai membuat seluruh pengunjung bioskop menertawakannya.
Aku hanya menatap kosong layar besar itu tak minat, serasa bahwa jiwaku sedang tak berada di tempat saat ini. Padahal biasanya, saat menonton film horor aku yang paling heboh sendiri diantara mereka semua. Hingga film selesai diputar, kami keluar dari theater. David dan Rere asik berceloteh mengomentari film.
"Lo kenapa, Met?" tanya Fajar, menyentuh bahuku pelan. Membuatku tersadar dari kotak imajinasi yang kubuat sendiri dalam pikiranku.
"Eh, gak papa. Gue mau ke toilet dulu." Aku segera berjalan meninggalkan mereka menuju toilet diluar area bioskop. Aku melihat air mukaku dalam cermin, tak ada senyum disana. Mataku tak terlihat bersinar.
Aku kemudian berlalu, memilih untuk membeli Franchise Milk Tea pada salah satu gerai minuman. Kemudian berkeliling sebentar mengitari mall daripada harus kembali lagi disana.
"Lo di sini?" Aku menoleh ke belakang. Netraku langsung bertumbukan dengan milik Fajar yang saat ini juga sedang membawa minuman, "gue susulin lo ke toilet soalnya lama banget. Eh malah muter-muter kesini."
"Sorry," jawabku seraya meringis, merasa bersalah. Lagipula ngapain Fajar mencariku, toh aku sudah besar dan hafal jalan. Tidak mungkin kesasar kalau cuma mengitari mall segini.
"Loh lagi mikirin Nauval ya?" Aku menoleh padanya cukup kaget. Apakah kepalaku transparan sampai ia dapat membacanya dengan mudah?
"Hm, ya gitu," jawabku pelan seraya menyeruput Hazelnut Chocolate Milk Tea yang rasanya manis, padahal aku sudah meminta padanya untuk mengurangi gulanya. Tak apa lah, mungkin rasa manis dapat mengurangi pahit di hidupku saat ini, "rasanya sedih bikin Nauval marah gitu."
"Lo santai aja, dia gak benci sama lo kok."
"Beneran?" tanyaku penasaran.
"Dia cuman gak suka karna lo ninggalin dia buat nonton, apalagi nontonnya sama gue," jawabnya seraya tersenyum miring.
"Kenapa gitu?" Dahiku mengerut dalam, tak mengerti.
"Karna gue sama dia itu Rival."
"Saingan?" tanyaku semakin tak mengerti. Maksudku, apa kaitannya denganku?
Fajar mendekatkan wajahnya di telingaku, membuat jarak diantara kami terpangkas. Kemudian, membisikkan sesuatu, "saingan buat dapetin lo."
Kemudian dia kembali menjauhkan wajahnya. Membuat mataku sedikit membola dengan bibir yang terbuka sedikit, "Apaan sih!" Aku buru-buru mendorongnya pelan dan memberenggut kesal. Bisa-bisanya ia bercanda saat keadaanku seperti ini.
"Wajah lo jadi lucu banget," ucap Fajar tertawa, wajahku jadi memberenggut semakin kesal.
"Nyebelin!" decakku seraya mengerucutkan bibir. Sebal karena ia masih tertawa.
Drrt...drtt...
Teleponku yang berada di dalam sling bag bergetar, "bentar, lo bawain minum gue dulu."
Aku membuka tas dan mengambil ponselku dengan segera, kemudian menempelkannya pada telinga.
"Kemana aja lo!"
Aku sedikit meringis saat suara cempreng Rere memasuki gendang telingaku.
"Gue masih di mall," jawabku pendek.
"Gue kira udah ditelen kuntilanak bioskop, yaudah gue sama David mau balik nih."
"Yaudah, balik sana!"
"Idih, lo juga! Buruan pulang. Dimakan pocong baru tau rasa lo!"
"Berisik."
Kemudian kumatikan sambungan telepon secara sepihak. Rere sudah benar-benar jadi korban film horor. Apa-apa jadi disangkutpautin sama hantu. Aku kemudian berbalik setelah memunggungi Fajar. Menatapnya yang meminum Hazelnut Chocolate milk tea ku secara bersamaan dengan minuman yang dibawanya. Astaga! Benar-benar tak habis pikir aku dibuatnya.
"Kenapa jadi lo minum!" Pekikku sebal dengan alis menukik tajam.
"Lo sendiri yang nyodorin minuman lo ke gue," balasnya tanpa rasa bersalah sama sekali. Membuatku memutar bola mata lelah.
"Bodo amat!" jawabku kemudian berlalu. Lelah dengan hari ini. Terserah mau diapakan minumanku yang sekarang telah berbindah haluan di tangan Fajar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Vanilla Boy
Teen Fiction"Jangan bilang kalau gue berat," ucapku saat merasakan langkah kakinya berjalan dengan pelan. "Enggak, lo ringan banget kayak kapas," jawabnya enteng membuatku tersenyum. Padahal, aku sudah siap menjitak kepalanya jika ia mengataiku berat. "Trus ken...