17

1.2K 169 15
                                    

Jennie duduk merenung di taman hotel. Disampingnya ada Jeongyeon yang selalu menemani. Akibat kejadian itu, Jeongyeon semakin dekat dengan Jennie. Dia takut jika Jennie akan kembali berbuat bodoh dengan membunuh dirinya lagi. Jennie menatap lurus ke depan. Ke arah danau buatan yang begitu indah. Air mata Jennie kembali mengalir. Entah kenapa, akhir-akhir ini Jennie sering menangis saat memikirkan Jisoo.

Mendengar isakan dari Jennie, Jeongyeon pun menarik Jennie ke dalam pelukannya. Menenangkan Jennie yang semakin terisak. Jeongyeon mengerti perasaan Jennie. Jeongyeon tidak tahu harus berkata apa. Mulutnya tercekat dan tidak bisa mengeluarkan sepatah katapun. Yang bisa dilakukannya sekarang hanya memeluk Jennie.

"Kenapa rasanya sakit sekali, Jeongyeon-ah?" Tanya Jennie di sela isakannya.

"Kau tidak bisa memaksakan seseorang untuk jatuh cinta padamu, Jennie-ah."

Jennie melepaskan dirinya dari pelukan Jeongyeon, "Sudah terlalu lama aku memendam perasaan ini."

Jeongyeon tersenyum tipis, dan mengusap air mata Jennie, "Mungkin sudah saatnya kau melupakan perasaanmu padanya."

Jennie menggeleng, "Tidak bisa kulakukan, Jeongyeon-ah."

Jeongyeon mendengus, "Kau jangan menjadi orang bodoh, Jennie-ah!"

Jennie terkejut dengan bentakan dari Jeongyeon. Tak pernah Jeongyeon membentaknya seperti ini. Ini pertama kalinya dia dibentak oleh manajernya itu.

"Hanya karena cinta, kau menjadi orang bodoh!" Jeongyeon menjeda kalimatnya sejenak, "Tanpa kau sadari, ada orang lain yang mencintaimu."

Jennie tersenyum, "Kalau kau bilang orang lain yang cinta padaku itu kau, maaf, aku tidak bisa Jeongyeon-ah."

Jeongyeon berdiri, dan melemparkan tatapan tajamnya, "Apa kekuranganku hah?!"

"Ya, Yoo Jeongyeon! Kenapa kau tiba-tiba begini?!"

"Aku begini juga karena kau, Jennie-ah!"

"Kau yang bilang sendiri kan kalau tidak bisa memaksa seseorang untuk jatuh cinta?"

"Paling tidak, hargai perjuanganku!" Suara Jeongyeon mulai terdengar lirih, "Aku sudah berjuang selama 2 tahun."

Jennie terdiam saat dia melihat air mata yang mengalir di pipi Jeongyeon. Untuk pertama kalinya juga dia melihat manajernya itu menangis. Hati Jennie sedikit tersentuh dengan kejujuran dari Jeongyeon.

Jeongyeon mengusap air matanya, lalu beranjak dari taman. Namun langkahnya terhenti saat dia mendengar, "Jeongyeon-ah, kau mau kemana?"

"Kemana saja asalkan bukan disini." Jawab Jeongyeon tanpa menatap Jennie.

Lalu, Jeongyeon kembali melanjutkan langkahnya. Jennie tidak berusaha mengejar Jeongyeon. Dia masih setia duduk di taman hotel dan memandangi danau buatan. Banyak burung yang sekedar hinggap di tanaman sekeliling danau. Jennie tersenyum saat melihat dua ekor angsa yang sedang berenang di danau. Kedua angsa itu tampak serasi. Sungguh berbanding terbalik dengan dirinya yang saat ini sedang patah hati.

"Seorang putri raja akan tampak sangat jelek ketika sedang menangis." Jennie tersentak dan langsung mengalihkan tatapannya pada pemilik suara tersebut.

"Kau,"

"Annyeong, Jennie-ah. Lama kita tidak jumpa."

***

Rosé baru saja menginjakkan kakinya di John F. Kennedy International Airport, New York. Rosé menghela sejenak nafasnya saat melihat jam tangannya. Dirinya belum sarapan dari Korea tadi. Dan sekarang sudah siang hari di New York. Jadi, mau tidak mau dia akan mencari sarapan sekaligus makan siang di restoran.

Never Forget(Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang