Vania datang ke kelas. Di Sana ia hanya menemukan Athaya yang asyik dengan novel dan mendengarkan lagu.
Akhir-akhir ini semenjak masalah yang dihadapi Athaya, Athaya semakin jadi orang yang tertutup. Istirahat saja Athaya lebih memilih diam dikelas atau ke perpustakaan.
"Tha." Panggil Vania ragu.
"Masalah waktu, itu? Gue mau denger dari mulut lo langsung cerita sama gue." Lanjutnya. Tapi ia hanya melihat Athaya disampingnya yang menghiraukannya seolah tidak mendengar omongannya.
Walau Athaya memakai earphone, tapi harusnya suaranya terdengar dalam jarak berdempetan begini. Tapi Athaya belum sedikitpun menoleh padanya. Vania pun menundukkan kepala dalam lipatan tangan dimeja. Kepalanya ia tolehkan ke kiri membelakangi Athaya.
Athaya melirik pada Vania, di putarnya lagu yang sebenarnya sedari tadi belum ia putar. Dan ia juga mendengar ucapan Vania, hanya saja ia malas membalas lagi tentang itu.
"Apa kalau gue cerita lo bakal langsung percaya sama gue? Setelah kalian lebih percaya sama orang lain yang sebenarnya salah." Gumam Athaya.
Vania menegakkan kembali duduknya, "maksudnya?"
Athaya memandang sendu, "yang ngelakuin itu bukan gue Van, Racun itu udah ada di sana saat gue masuk ke kelas,"
Athaya mulai menampung air mata lagi di matanya, "dan kalian percaya gitu aja dan ninggalin gue disaat gue mengharapkan kalian."
"Lo--lo, yakin?"
Athaya tersenyum miris. Sudah ia duga, gak mudah dirinya dipercaya walau ini yang sebenarnya. Sesuatu yang terlihat kotor akan selalu terpandang kotor.
"Udahlah. Gue juga males cerita kalo masih anggap gue ini, pembohong." Ujar Athaya dan langsung beranjak pergi.
Athaya mengunjungi perpustakaan untuk menyendiri. Namun, ruangannya masih dikunci pagi ini. Ia pun memilih taman tempat penyendiriannya saat ini.
Di tengah ia berjalan, ia berpapasan dengan Gio yang baru datang ke sekolah, terlihat ia masih menggendong tasnya. Dan Athaya melirik tangannya yang menenteng sweater pemberiannya saat Gio ulang tahun. Senyumnya terbit.
Gio melihat Athaya yang menatapnya. Ia melihat gadis itu tersenyum walau pasti hatinya masih terluka. Ia bisa buktikan dari mata Athaya yang memerah dan terlihat sembab. Dalam hati ia ingin menenangkan gadis itu, namun ego nya sudah terlanjur kecewa jika ingat racun itu memang ada di Athaya.
"Gio!" Gio menoleh Audrey di sampinya yang baru datang.
"Pulang bareng lagi ya. Mampir dulu juga kaya kemaren." Ucap Audrey.
Gio tersenyum tipis, "iya." Ia melirik Athaya yang masih diam di posisinya berdiri. Kemudian ia dan Audrey lanjut berjalan melewati Athaya yang memandangnya lemah.
:: :: :: :: ::
"Sekarang kalian buat materi dengan kelompoknya masing-masing. Besoknya kalian presentasikan didepan kelas." Perintah seorang wanita paruh baya yang merupakan guru biologi.
"Iya kenapa Ganis?" Tanyanya saat melihat seorang muridnya yang mengangkat tangan.
"Boleh pindah kelompok bu?"
Athaya merasa tersinggung mendengar pertanyaan Ganis. Seburuk itukah dia dimata sahabatnya? Hingga tidak mau untuk sekedar berkelompok saja.
"Tidak. Biar kelompoknya sama seperti kemarin-kemarin."
Ganis menghela nafas malas. Ia menumpukan dagunya pada tangan kanannya.
"Yaudah yuk, kita rangkum dulu materinya." Ajak Ailsha memecah kecanggungan diantara mereka berempat.
Vania dan Athaya membalikkan kursi mereka menjadi menghadap pada Ailsha dan Ganis agar memudahkan berdiskusi. Mereka pun membuka buku paket biologinya.
Ganis memandang malas sederetan kalimat yang ada di buku, "ah, gue gak mood belajar. Males." Ucapnya ketus.
Vania yang ada didepannya merasa tidak enak dengan suasana. Ia pun segera menendang kecil kaki Ganis di kolong meja untuk menyadarkan sahabatnya itu atas perkataannya yang mungkin dapat menyinggung Athaya. Ganis mendongak dengan kesal pada Vania.
Athaya tersenyum maklum melihat tingkah sahabat-sahabatnya yang terasa berbeda. Biasanya mereka langsung mengeluarkan pendapat, sekarang mereka diam dengan pikiran masing-masing. Hawa canggung terasa seperti saat mereka baru kenalan pertama kali.
Athaya tidak marah dan dendam dengan tingkah laku sahabatnya yang seakan menjauh. Ia hanya paham dengan situasi sekarang. Sahabatnya pasti masih tidak menyangka.
Saat ini ia cukup mengertikan dulu mereka yang beropini terhadapnya. Ganis yang akan memperlihatkan kebenciannya didepan orang yang ia benci.
Ailsha yang masih bisa menutupi kebenciannya didepan orangnya, walau dalam hatinya ia benci. Dan Vania, dia tertua diantara ketiga sahabatnnya yang berpikiran dewasa dan cukup bijak dalam menghadapi segala hal.
:: :: :: :: ::
Pulang sekolah, Ganis langsung beranjak keluar tanpa pamit pada ketiga sahabatnya. Mereka pun memperhatikan Ganis yang semakin menjauh.
Ailsha melenguh, "kalian paham kan sifat dia gimana?"
"Mungkin dia masih kesel aja. Tapi gue yakin dia sebenarnya gak mau kita kayak gini." Ujar Vania tenang.
"Maafin gue." Lirih Athaya.
"Yuk ah pulang. Pengen tidur gue." Ujar Ailsha yang menghiraukan maaf dari Athaya.
Athaya melirik sendu pada Vania, Vania tersenyum kecil serta mengangguk.
Usai Ailsha yang sudah pulang dengan ojol yang ia pesan, kini giliran Vania yang dijemput dengan seorang laki-laki seumuran yang memakai seragam sekolah dibalut jaket tebalnya.
"Gue duluan ya sama Teo. Gue-- gue percaya sama lo." Vania tersenyum.
"Bye!" Vania melambaikan tangannya sebelum menghampiri Teo diatas motornya.
Athaya memandang Vania menjauh dengan senyuman. Setidaknya sahabatnya ada yang percaya padanya.
Sedangkan di parkiran, dua remaja beda jenis ini bersiap pulang. Mereka menaiki motor sesuai perjanjian mereka untuk pulang bersama dan akan mengunjungi satu tempat dahulu.
"Udah." Ucap Audrey saat sudah nyaman duduk diatas motor. Gio pun melajukan motornya keluar gerbang utama.
Saat keluar gerbang, Audrey melihat Athaya yang sedang memakai helm sebelum menaiki motor. Beruntung baginya saat Athaya menyadari keberadaannya. Kesempatan ini ia lakukan untuk memeluk Gio.
Athaya melihat Audrey dengan hati mencelos. Mungkin ini memberi jawaban untuk Athaya agar sedikit demi sedikit menghapus perasaannya pada laki-laki yang sudah ia kenal dari masa SMP itu.
To be continue
Vote❤️
KAMU SEDANG MEMBACA
Love In Silence (Complete)
Fiksi RemajaSemua tak akan ada artinya jika hanya sebatas kata-kata belaka. Semua tak akan ada hasilnya jika hanya sebatas memendam rasa. Hanya bisa menutup luka. Menahan api cemburu. Memendam rasa kecewa. Meskipun tidak pernah pacaran, setidaknya aku juga p...