Kembali ke kampus untuk terakhir kalinya, Retha menunggu salah satu teman sekelasnya di pos satpam area fakultasnya. Totebag berwarna hitam tergantung di bahu kanannya sementara lengan kirinya menahan laptop putih berukuran 11, 6 inci. Setelah melewati mata kuliah paling menegangkan di semester ini, Retha akan segera pulang ke kota yang hanya berjarak dua puluh tiga kilometer dari Jatinangor.
Retha membuka ponselnya menayakan keberadaan Dinda mungkin sedang dalam perjalanan. Ujung matanya menangkap Wildan, teman sekelasnya yang lain, berjalan menuju gedung fakultas. Retha hanya menunduk karena yakin Wildan akan melewatinya begitu saja seperti yang sudah-sudah.
"Ga ke kelas?" tanpa diduga, ternyata Wildan bertanya dan berhenti di hadapan Retha.
Retha mendongakkan wajahnya karena Wildan lebih tinggi darinya, "Lo nanya ke gue?"
Wildan mengangguk, "Ga ada orang lain di sini selain lo."
"Gue masih nunggu Dinda. Lo duluan aja." balas Retha pada akhirnya.
"Udah, yuk. Ke kelas aja sekarang dari pada lo telat ga bisa ikut ujian." Wildan tau-tau sudah menarik lengan Retha yang memegang sedang ponsel.
"Heh! Temen gue mau diapain?!" Dinda datang dan langsung memukul kepala Wildan dengan map yang ia bawa.
Wildan melepas pergelangan tangan Retha untuk melindungi kepalanya, "Anjir, sakit, Din!"
Dinda memang cukup akrab dengan siapa pun. Di semester pertama ini, ia hampir mengikuti segala organisasi di fakultas. Maka dari itu ia bisa berbuat seenaknya pada Wildan yang tergabung bersamanya dalam sekolah kaderisasi. Tidak seperti Retha yang seperti menutup diri dari lingkungannya yang baru. Dinda adalah penyelamat hidup Retha ketika perempuan itu merasa dirinya sendirian. Dinda dengan sifat sok akrabnya tiba-tiba menghampiri Retha yang memiliki ketertarikan sama dengan dirinya, drama Korea.
Dinda langsung merangkul lengan Retha yang bebas, "Yuk, kita ke kelas."
Lelaki berambut gondrong yang Dinda dan Retha tinggalkan itu mendengus kasar kemudian menyusul.
"Sumpah males banget sumpah gue naik tangga!" celetuk perempuan berkerudung merah di samping Retha yang sedang mengatur napasnya itu.
"Udah nyampe juga, Din." balas Retha terkekeh.
Kelas basic grammar bertempat di lantai tiga gedung B merupakan laboratorium bahasa sehingga Retha, Dinda, dan Wildan langsung melepas sepatu saat sampai di pintu kelas supaya tidak mengotori karpet berwarna biru yang melapisi lantai ruangan itu. Mereka tergabung dalam kelas A yang berisi sebagian mahasiswa yang lolos melalui SNMPTN dan beberapa mahasiswa yang lolos melalui jalur SBMPTN. Jurusan Sastra Inggris memang kelasnya dipecah berdasarkan jalur masuknya. Untuk angkatan Retha, jumlah mahasiswa yang berhasil lolos lebih sedikit dari tahun-tahun sebelumnya dan terbagi menjadi tiga kelas.
Di kelas Retha sendiri, terbagi dua kubu. Kubu yang duduk di sisi kiri dan sisi kanan. Bisa dikatakan kubu kiri ini berisi anak-anak rajin dan kubu kanan berisi anak-anak gaul. Mereka bertemu seminggu dua kali, Senin dan Kamis. Hanya ada tiga mata kuliah yang mereka dapat dari jurusan, yaitu basic grammar, paragraph writing, dan reading for general interest. Lima mata kuliah lainnya yang mereka terima di semester ini adalah mata kuliah TPB (Tahap Persiapan Bersama), yaitu mata kuliah Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Agama, PKn, dan OKK.
Wildan sudah pasti duduk di barisan paling depan bersama Aldi, Salman, Dira, dan Cindy. Lima otak brilian di kelas basic grammar. Nilai latihan soal yang selalu diambil pada setiap pertemuan mereka selalu bisa di atas delapan puluh. Di belakang lima otak brilian itu ada Astri, Tiara, Saski, Afi, dan Sera. Di antara mereka, Tiara yang nilai hariannya paling baik. Di belakang mereka, barulah Retha dan Dinda duduk bersama Putri, Regita, dan Nayla. Jajaran mereka yang nilainya nggak jelek-jelek amat tapi juga nggak bagus-bagus amat. Standar.
"Lo semua belajar ga, sih?" tanya Nada, gadis berhijab asal Bekasi itu di tengah-tengah kelas.
"Kayaknya gue belajar aja ga bakal nolong nilai gue." celetuk Saski yang dibalas anggukan oleh beberapa kepala yang duduk di belakangnya.
Kelas akan di mulai pukul dua lebih dua puluh. Ada toleransi telat bagi mahasiswa dan dosen, lima belas menit. Jarum jam di pergelangan tangan Retha menunjukkan pukul dua lebih tiga puluh. Artinya jika lima menit lagi dosen mereka tidak juga datang, kelas akan dibubarkan. Semua yang ada di kelas itu berharap UAS kali ini diundur saja. Tapi semesta sepertinya tidak mendukung. Dua menit sebelum jarum jam yang lebih panjang berhenti di angka tujuh, dosen mereka memasuki kelas.
"Ok everyone, please do the same thing as the previous test before we start the UAS." pinta Pak Tian pada mahasiswanya.
Semua langsung bergerak berpindah tempat duduk supaya ada jarang di setiap tempat duduk. Ketua kelas, Dira, langsung membagikan lembar jawaban yang sudah ia gandakan sebelum kelas berlangsung. Ada dua tipe soal sehingga lembar jawaban yang dibagikan pun dipisah supaya meminimalisir kecurangan.
"Kalian udah dapet lembar jawaban semua?" pertanyaan Pak Tian langsung dibalas anggukan, "Kalian kerjakan nomor yang tertetera di lembar jawaban kalian saja." jelasnya.
Air conditioner di ruangan mereka tidak juga bisa membuat kedua tangan Retha berhenti berkeringat. Lampu barisan depan dimatikan supaya layar proyektor di hadapan mereka bisa terlihat jelas tanpa pantulan cahaya. Peraturan ujian sudah tertera. Hanya beberapa saat lagi soal akan segera muncul di layar.
Enjoy!
Love, Sha.

KAMU SEDANG MEMBACA
Make it Right
ChickLit[COMPLETED] Retha kembali dipertemukan dengan masa lalunya. Setelah banyak yang dilaluinya sendirian, Retha kembali bertemu Radyan. Di bagian kehidupan yang berbeda, ketika keduanya lebih dewasa dalam menghadapi persoalan, mereka kembali berjumpa. M...