18

2.3K 195 9
                                    

Retha bersiap untuk tidur. Layar laptop yang baru saja selesai dipakai untuk mengerjakan tugas masih menyala. Wajah Radyan pun ada di sana. Jika jam di sudut kanan layar laptop Retha menunjukkan pukul dua puluh dua lewat enam, di tempat Radyan masih pukul empat sore. Lelaki itu baru saja menyelesaikan kelasnya dan dalam perjalanan pulang menuju apartemen. Rambut Retha masih basah maka ia mau meladeni Radyan yang sedang berbagi pemandangan indah Kota Delft.

Retha menatap dirinya di pantulan cermin di hadapannya, menyisir rambut yang baru setengah kering. Tidak akan Retha tidur di atas kasurnya dengan keadaan rambut masih basah. Sesekali ia menyahuti suara Radyan. Sudah terbiasa seperti ini, Retha merasa bersyukur karena Radyan masih mengingat kehadirannya di dunia. Lelaki itu masih betah dengan kesendirannya. Walaupun sendiri, Radyan tidak pernah merasa sepi karena Retha.

"Kamu beneran mulai skripsi semester depan?" tanya Radyan yang memakai jaket jeans di luar hoodie hitamnya. Udara di Delft sedang berangin musim ini.

Retha kembali duduk di kursi meja belajarnya kembali bertatap muka dengan Radyan, "InsyaAllah kalo ga ada halangan apa-apa."

Radyan tersenyum melihat wajah Retha yang sangat ia rindukan, "Kamu pasti bisa, Reth."

"Thank you... Kamu masih lama, ya, di sana?" tanya Retha menyandarkan punggungnya di sandaran kursi.

"Ada beberapa mata kuliah yang perlu aku ulang. Mungkin dua tahun lagi aku baru pulang ke Indonesia." jelas Radyan, "Kamu masih sering dianter Wildan?" tanyanya.

Retha mengangguk dengan perasaan tidak enak di hatinya. Latar di belakang Radyan sudah berubah menjadi di dalam ruangan. Lelaki yang sedang memasuki bangunan apartemennya itu tersenyum kecil. Bisa dilihat Radyan sedang sibuk menaiki anak tangga. Lelaki itu seperti tak terpengaruh anggukkan Retha yang bisa menimbulkan kecewa.

"Kamu tahun depan pulang ga, Rad?" tanya Retha saat Radyan memasuki unit apartemennya.

Radyan menggeleng, "Aku kalah taruhan sama Rasya. Dia yang dapet jatah buat pulang." jelasnya.

"Eh, apa, tuh, nama gue disebut-sebut?!" suara perempuan yang Retha kenal dan tinggal satu atap dengan Radyan di Delft terdengar, "Eh... Halo, Reth!" seru Rasya saat wajahnya sudah memenuhi layar laptop Retha.

Retha tersenyum mendapati Rasya, "Halo, Rasya!" balasnya.

Walaupun keluarga Pratama bukanlah keluarga biasa, Radyan dan Rasya hanyalah mahasiswa rantau asal Indonesia yang mendapat jatah bulanan pas-pasan. Bahkan kedua saudara kembar itu harus bekerja paruh waktu pada malam harinya di sebuah kedai kopi yang tak jauh dari apartemen mereka. Kedua orang tua Radyan dan Rasya memang memanjakan mereka tapi tidak lagi ketika kedua saudara kembar itu memilih melanjutkan pendidikan di negeri orang.

Karena Radyan mau bersiap kembali pergi ke tempat kerjanya, Retha terpaksa mengakhiri sambungan mereka. Tak pernah ada kata puas bagi Retha untuk menghabiskan waktu berjam-jam bertatap muka melalui panggilan video. Lebaran tahun kemarin, Radyan pulang tapi tak sempat menemuinya. Tahun ini Radyan tidak pulang karena kesibukannya di kampus. Tahun depan Radyan juga tidak pulang karena Rasya yang berkesempatan pulang di awal tahun.

Retha harus lebih bersabar untuk bertemu dengan Radyan. Menutup laptopnya, perempuan dengan piyama Hello Kitty berwarna pink itu merebahkan tubuh lelahnya di atas kasur berwarna coklat mudanya. Memeluk guling sambil menatap langit-langit kamarnya, Retha menahan rindu. Apakah Radyan sama rindunya dengannya? Retha tidak tahu. Baik Retha maupun Radyan selalu menutupi rasa itu saat mengobrol melalui panggilan video.

Matanya terpejam, Radyan mampir ke dalam mimpinya malam ini. Dari malam-malam sebelumnya, ini pertama kalinya Radyan menjadi bagian dalam bunga tidurnya. Nyaman Retha rasakan dalam tidur lelapnya. Saking lelapnya, Retha bahkan tidak mendengar alarm yang berdering dari ponselnya sejak pukul empat subuh. Perempuan itu baru bangkit dari tidurnya saat sinar matahari pagi menyinari kamar remangnya.

Ketukan pintu kamarnya menambah kepanikan Retha, "Reth! Berangkat bareng ga, nih?" suara Dinda menyusul setelahnya.

Dengan tergese Retha bangkit dari kasurnya lalu membukakan pintu kamar untuk Dinda, "Lima belas menit. Gue minta lima belas menit." mohonnya pada Dinda.

Dinda menghela napas lelah. Tetangga sekaligus sahabatnya itu melenggang masuk ke kamarnya dan duduk di atas kasur yang belum sempat dirapihkan. Mengecek ponselnya yang sudah menunjukkan pukul setengah tujuh, Retha segera meluncur ke kamar mandi. Kelas pagi hari ini dimulai pukul setengah delapan dan Retha baru terbangun. Perempuan yang sedang membersihkan tubuhnya di kamar mandi itu merutuki kecerobohannya.

Lima belas menit kemudian, Retha keluar dari kamar mandi dengan pakaian lengkap. Hanya sunscreen dan liptint yang berhasil Retha poles di wajahnya. Beruntung Retha sudah menyiapkan perlengkapan kelas hari ini sejak semalam. Berhasil memakaikan sepatu hitam bertali di kedua kakinya, Retha menarik Dinda untuk segera berangkat. Dikuncinya pintu kamar berukuran 3m x 2.5m itu. Untuk mempersingkat waktu, keduanya memilih untuk sarapan di kampus. Setidaknya satu gelas air putih sudah berhasil melewati pencernaan Retha.

"Tumben lo bangun kesiangan. Biasanya sebelum adzan subuh juga lo udah grasak-grusuk." Dinda mencoba menyamai langkah Retha menelusuri gang kecil menuju kampus.

Retha menggeleng, "Gue ga denger alarm bunyi sumpah."

Akhirnya mereka melewati gerbang kecil dari gang kecil yang menembus ke area kampus. Melewati ilalang yang cukup tinggi, akhirnya kedua perempuan itu bisa menapak di jalan beraspal yang merupakan akses langsung menuju Fakultas Ilmu Budaya. Jam yang melingkar di pergelangan tangan Retha sudah menunjukkan pukul tujuh lewat sepuluh saat ia dan Dinda berhasil menginjakkan kaki di depan pos satpam.

"Bentar, Reth. Gue napas dulu." ucap Dinda membungkukkan tubuhnya. Kedua tangannya bertumpu pada kedua lututnya.

Dua puluh menit lagi kelas akan dimulai. Pak Adi sangat tidak toleran dengan mahasiswa yang terlambat. Sangat tidak memungkinkan keduanya untuk menikmati sarapan di waktu yang sempit ini. Lima menit Dinda butuhkan untuk mengatur kembali napasnya sebelum siap menaiki anak tangga sampai lantai tiga. Bagaikan pahlawan kesiangan, Wildan datang dengan membawa dua bungkus roti coklat dan satu botol air minum. Lelaki ber-sweater garis coklat-hitam-putih itu menyodorkannya pada Dinda dan Retha.

"Gue sayang banget sama lo, Wil!" celetuk Dinda langsung merebut satu bungkus roti dari tangan Wildan.

Mendapati Retha masih diam, Wildan mengangkat satu bungkus roti lainnya pada perempuan itu.

Retha tersenyum menerima bungkus roti itu, "Thank you, Wildan."

Tim Radyan mana suaranya?

Tim Wildan mana suaranya?

Buku ini akan selesai dalam hitungan hari. Semoga buku ini sudah bisa menjawab semua rasa penasaran pembaca sekalian di buku pertama. Dan jangan lupa mampir ke works baru aku yang judulnya Yournalistic. Thank you!

Enjoy!

Love, Sha.

Make it RightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang