24

2.5K 176 0
                                    

Pukul tujuh pagi, Retha sudah sampai di sebuah kedai kopi bergaya minimalis milik pamannya itu. Kedai kopi yang tepat berada di tengah-tengah perkantoran itu terlihat sangat menjual. Apalagi yang Retha tahu, pamannya itu memang pecinta kopi. Walaupun masih bekerja di kantor, ternyata pamannya itu tidak main-main dengan usaha yang dirintisnya sejak dua tahun lalu. Melewati pintu kaca bersama Arief di sampingnya, ternyata sudah ada beberapa pegawai pamannya itu sedang mempersiapkan segala sesuatunya di dalam kedai yang akan buka satu jam lagi.

Retha yang mengenakan sweater tipis abu-abu dan rok flanel bermotif kotak-kotak berwarna coklat dan krem selututnya menarik perhatian seisi ruangan. Apalagi kedatangannya bersama Arief yang notabenenya adalah atasan mereka yang hanya seminggu sekali datang membuat empat orang yang tadinya sibuk dengan pekerjaannya itu mengehentikan kegiatan mereka. Keempat orang yang Retha duga usianya tak jauh dengan dirinya menghampiri dirinya atau lebih tepatnya pamannya, Arief, yang berada tepat di sampingnya.

"Pagi, semuanya." sapa Arief yang langsung mendapat balasan dari keempat pegawainya itu, "Ini keponakan saya. Namanya Retha. Dia akan ikut bekerja di sini untuk beberapa waktu ke depan." lanjutnya memperkenalkan Retha.

"Retha, yang ini namanya Dara. Salah satu waitress yang kebetulan dapet shift pagi ini. Nanti sore bakal digantiin sama Indah." jelas Arief.

Retha mengulurkan tangannya pada perempuan dengan rambut dikuncir dua yang berdiri tepat di hadapannya, "Retha."

Perempuan bernama Dara itu meraih uluran tangan Retha, "Dara, Kak."

"Yang ini Caca. Dia bagian kasir." lanjut Arief.

Retha mengulurkan tangannya pada perempuan berpotongan pendek di samping Dara, "Retha."

Caca menyambut uluran tangan Retha, "Caca."

"Yang ini Farrel. Dia barista di sini." lanjut Arief pada lelaki berkacamata di samping Caca.

Retha kembali mengulurkan tangannya, "Retha." ucapnya.

"Farrel." balasnya dingin.

"Yang terakhir Kintan. Dia bagian dapur. Oh, seharusnya ada satu lagi Pak Agus yang bantu Kintan di dapur. Kayaknya dia lagi belanja." jelas Arief lagi.

Retha lagi-lagi mengulurkan tangan kepada perempuan berambut sebahu yang diurai di sebelah lelaki bernama Farrel itu, "Retha."

"Kintan." balas Kintan ramah.

Setelah perkenalan singkat itu, lelaki paruh baya yang mengenakan kemeja kantor di samping Retha itu pamit. Arief harus segera berangkat ke kantornya yang memakan waktu lima menit dengan mobil dari kedai kopi ini. Selanjutnya, Arief meminta Kintan membawa Retha untuk berkeliling kedai sebelum kedai buka. Retha terjebak dalam percakapan seru dengan Kintan selama berkeliling kedai yang memiliki dua lantai itu. Ternyata Kintan seumuran dengannya.

"Lo, kan, lulusan S1, kenapa ga kerja kantoran yang gajinya lebih oke aja, Reth?" tanya Kintan yang Retha ketahui memang suka asal ceplos selama mereka mengobrol.

Retha bergumam, "Susah cari pekerjaan yang pas, Kin. Karena gue udah lama nganggur, ya, kenapa enggak gue coba dari pekerjaan kecil aja. Siapa tau aja, kan, gue kerja di sini malah buka jalan karir gue yang lebih besar."

Kintan mengangguk-angguk sembari menarik sebuah apron dari salah satu rak di ruang ganti, "Oh, iya. Ini ada apron buat lo. Mulai hari ini lo bantu Dara atau Caca. Kalo ada waktu kosong, sekalian belajar bikin latte sama Farrel."

"Oke. Makasih, Kin." balas Retha mulai memakaikan apron berwarna coklat itu setelah menaruh tasnya di kursi panjang yang ada di tengah ruang ganti.

Pak Agus yang dimaksud oleh pamannya berpapasan dengan dirinya yang baru saja keluar dari ruang ganti. Pria yang ia duga seusia dengan pamannya itu datang dengan beberapa kantung berisi bahan makanan. Setelah memperkenalkan diri karena rupanya pria berkumis itu terkejut dengan kehadirannya, Retha menawarkan bantuan pada Pak Agus dengan senang hati. Pria paruh baya di sampingnya itu ternyata sangat ramah.

"Betah kerja di sini, ya, Nak Retha." ucapnya sebelum Retha berlalu meninggalkan dapur dengan senyum.

Sedikit banyak tahu kalau kedai kopi milik pamannya yang lebih dikenal dengan Little J ternyata cukup ramai pada pagi hari sampai sore hari. Letaknya yang berada di tengah-tengah pusat perkantoran tentu menjadi sasaran empuk bagi para pegawai kantor untuk sekedar mengisi perut atau membeli kafein ketika mengalami suntuk. Menu yang ditawarkan di kedai ini juga cukup bervariasi. Mulai dari kue-kue yang ditata di sebuah rak di sebelah meja kasir sampai makanan berat seperti pasta pun ada.

"Retha, meja lima." ujar Farrel yang menggeser green tea latter di meja bar pada Retha yang siap dengan nampan lingkarannya untuk mengantar pesanan.

"Oke." balas Retha sebelum melesat menuju meja di pojok ruangan yang diisi oleh seorang wanita dengan laptop di mejanya.

Selesai mengantar pesanan ke meja nomor lima itu, Retha kembali bersandar di meja bar. Dara yang menuruni anak tangga dari lantai dua bersama gelas dan piring kotor menarik perhatiannya. Retha pun segera menghampiri perempuan itu. Dibantunya Dara dengan memindahkan beberapa gelas ke nampannya. Kemudian menahan pintu dapur yang supaya Dara bisa lewat terlebih dahulu.

"Makasih, ya, Kak." ucap Dara saat ia berhasil menaruh nampan berisi gelas dan piring kotor di pinggir bak pencuci piring.

"Sama-sama, Ra." balas Retha, "Gue balik ke depan dulu, ya." sambungnya sebelum meninggalkan dapur.

Ternyata bekerja di sebuah kedai kopi tidak seburuk yang ia pikir. Indah rasanya bagi Retha menemukan berbagai macam hal kecil dari para pelanggan yang datang untuk menghabiskan waktu di kedai. Ucapan terima kasih yang ia terima dari para pelanggan setelah ia mencatat dan mengantarkan pesanan membuatnya merasa dihargai. Interaksi yang ia lalukan dengan Kintan, Caca, Dara, Farrel, dan Pak Agus juga membuat hatinya menghangat. Ia akan merasa betah bekerja di sini.

Double!

Enjoy!

Love, Sha.

Make it RightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang