23

2.5K 179 0
                                    

Mencari pekerjaan itu gampang-gampang sulit yang banyak sulitnya bagi Retha. Lulus dengan predikat Pujian tak lantas membuatnya mudah mendapatkan pekerjaan. Ia juga sudah menyebar curriculum vitae-nya di sebuah portal pencarian lapangan kerja online. Terhitung sudah tiga bulan dari hari kelulusannya, perempuan asal Bandung itu masih menganggur karena tidak juga mendapat panggilan untuk wawancara. Bisa dikatakan Retha cukup menikmati hari tanpa beban setelah enam bulan terakhir kemarin ia sibuk dengan skripsinya. Tapi jika terlalu lama, ia juga jenuh di rumah.

Saat ini Retha sudah ada di titik mau bekerja apapun asal dirinya tak lagi menganggur di rumah dan menghabiskan duit orang tuanya. Sedikit tidak tahu diri rasanya kalau kedua orang tuanya masih membiayai hidupnya setelah menyelesaikan tanggungan kuliahnya. Karena putri kecilnya yang sudah beranjak dewasa itu kini merengek meminta pekerjaan, akhirnya Ferdi membantu putrinya mencari pekerjaan. Kebetulan sekali adiknya, Arief, yang memiliki kedai kopi di Jakarta sedang membutuhkan tenaga kerja baru.

Dan di sinilah Retha. Menginjakkan kaki pertama kalinya di kediaman bernuansa putih dan abu-abu itu setelah tiga tahun tak pernah berkunjung. Ia akan tinggal di sini selama bekerja di kedai kopi milik pamannya, Arief. Pintu terbuka setelah Retha memberi salam dan mengetuk pintu tiga kali. Pelukan hangat bibinya dirasakan perempuan berusia dua puluh dua tahun itu. Sementara pamannya langsung menarik koper berukuran sedang miliknya ke dalam rumah.

Pasangan suami-istri yang belum juga dikaruniai buah hati walaupun sudah lima belas tahun menikah itu terlihat bahagia dengan kedatangan Retha. Di usianya yang tak lagi muda, Artha masih terlihat sangat cantik untuk bersanding dengan pamannya yang tentunya masih sangat gagah itu. Walaupun Retha terakhir berkunjung tiga tahun yang lalu, ia langsung bisa merasakan aura rumah yang bisa ia jadikan tempat untuk pulang.

"Gimana kabar kamu, Retha? Ayah sama Ibu sehat?" tanya Artha saat mengantar Retha ke kamar yang akan ditinggalinya selama bekerja di Jakarta.

Retha tersenyum, "Alhamdulillah, Tante. Ayah sama Ibu juga sehat."

"Kamu istirahat dulu aja hari ini. Besok baru Om antar kamu ke kedainya." ucap Arief meletakkan koper milik Retha di salah satu sudut ruangan berukuran tiga kali dua meter itu.

"Anggap aja rumah sendiri, ya, Retha." tambah Artha mengelus pundak Retha yang terhalang rambut panjangnya.

"Iya, Om, Tante. Makasih banyak udah izinin Retha ikut tinggal di sini." balas Retha dengan senyum.

"Kalo gitu, Om sama Tante tinggal dulu, ya. Selamat istirahat." ucap Artha sebelum meninggalkan ruangan.

Retha melangkahkan kakinya yang masih terbalut kaus kaki berwarna putihnya itu untuk meneliti ruangan yang akan ia tempati selama bekerja di kedai pamannya itu. Begitu memasuki ruangan bercat putih itu, jendela besar yang langsung menghadap taman belakang ada di sisi kiri kanan ruangan. Kasur single dengan seprai berwarna coklat muda berada tepat di tengah ruangan dengan kepala kasur dipepetkan pada tembok. Furnitur yang ada di ruangan ini didominasi warna putih. Meja persegi panjang yang berada di sisi kiri ruangan bersebelahan dengan lemari pakaian.

Perempuan dengan rok berbahan flanel itu mengambil duduk di atas kasur dan menaruh sling bag biru mudanya di sampingnya. Mengambil ponsel dari dalam tasnya, Retha segera memberi kabar kepada orang tuanya dan Rakha bahwa dirinya sudah sampai di kediaman pamannya. Lalu jarinya berhenti pada nama yang ia rindukan kehadirannya selama tiga bulan terakhir ini. Retha menimbang untuk menelepon lelaki itu saat ini juga atau nanti. Percakapan terakhir yang ada di ruang obrol itu adalah satu minggu yang lalu.

Waktu menunjukkan pukul dua siang, artinya waktu dimana Radyan berada adalah pukul delapan pagi. Akhirnya Retha memilih untuk menelepon Radyan. Nada sambung melalui panggilan dalam jaringan itu terdengar setelah Retha mendekatkan benda pipih itu ke telinganya. Sambungan ke dua Retha bernapas lega karena akhirnya ia bisa mendengar suara Radyan dari seberang sana.

"Halo, Reth?" tanya lelaki itu.

"Halo, Rad. Kamu lagi sibuk ga?" tanya Retha.

"Ini lagi berangkat ke kampus bareng Rasya. Kenapa?" jelas Radyan.

"Halo, Reth!" seru suara lain yang Retha kenali adalah suara Rasya.

"Gapapa. Cuma mau kasih kabar aja kalo aku sekarang tinggal di rumah Om Arief di Jakarta. Aku mulai kerja besok di kedai kopinya." jelas Retha.

"Wah, bagus, dong. Akhirnya kamu ga nganggur lagi." ledek Radyan dari seberang sana.

Retha tertawa pelan, "Rad, cepet pulang, dong." celetuknya.

"Baru juga kemarin aku pulang. Sabar, ya, Sayang. Tahun depan." ucap Radyan yang kemudian mendumal pada Rasya di seberang sana.

Pipi Retha memerah tanpa Radyan ketahui.

"Aku kelas dulu, ya, Sayang. See you very very soon!" seru Radyan sebelum mengakhiri sambungan.

Satu tahun lagi. Retha menghela napas berat mengingat dirinya yang memilih jalan yang lebih rumit dibanding menerima label pacar dari Radyan. Perempuan yang belum juga mengganti pakaiannya itu memilih membaringkan tubuh lelahnya di atas kasur. Menatap langit-langit dengan berbagai pemikiran datang selepas percakapan singkatnya dengan Radyan.  Lelaki yang sedang sibuk dengan tugas akhirnya itu banyak berubah namun masih bisa ia kenali. Radyan membuat dirinya merasa ada di setiap perubahan lelaki itu.

Ketukan pintu membuyarkan lamunan Retha kemudian setelahnya terdengar suara Artha, "Retha, kalo kamu lapar, Tante udah siapin makanan buat kamu, ya."

Daripada berteriak, Retha membuka pintu kamarnya untuk menemui Artha, "Oh, iya, Tante, makasih. Retha mau mandi dulu kalo gitu." balasnya.

"Ya udah, kamu mandi dulu aja." balas Artha dengan senyum sebelum berlalu meninggalkan kamar yang ditempati Retha mulai hari ini.

Enjoy!

Love, Sha.

Make it RightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang